Kamis, April 18, 2024

Kontroversi Valentine dan Cinta yang Frustasi

Murdianto An Nawie
Murdianto An Nawie
Dosen Program Pascasarjana IAI Sunan Giri (INSURI) Ponorogo

14 Februari telah tiba. Dan kita disuguhkan kembali tentang kontroversi tentang hari Valentine. Kontroversi yang telah lama menghiasi dinding media sosial, dan diskusi sosial keagamaan dibanyak tempat.

Meme, status yang mengecam perayaan Valentine banyak diposting, mulai yang mendukung sampai kecaman yang bernada sinis bahkan kebencian. Ada pihak yang mengecam hari Valentine sebagai tindakan yang menggambarkan ekspresi agama tertentu, sampai pada hari dimana ekpresi peringatan dianggap melahirkan tindakan melawan norma sosial, norma agama bahkan norma budaya kita.

Ya, hari dimana ‘cinta’ dikampanyekan. Terlepas dari perdebatan tentang hari Valentine, rupanya jarang yang mencoba menyelami apakah sesungguhnya fenomena ‘cinta’ yang dirayakan sebagian kalangan di tanggal 14 Februari ini.

Bukankah kesalahan memahami ‘cinta’, membuat banyak orang tersesat dan terperangkap dalam tindakan kriminal dan melawan norma dengan mengatasnamakan ‘cinta’? Bahkan terjadi dihari ketika ‘cinta’ itu dirayakan. Ya, pada posisi ini, penting kiranya mendalami fenomena ‘cinta’ ini, agar kita tak jatuh dalam kesalahpahaman yang menyesatkan

Cinta seringkali sulit didefinisikan secara konseptual karena memang adalah satu nomenklatur yang merujuk pada kondisi perasaan yang kompleks. Teramat banyak yang berbicara tentang cinta dan atas nama cinta, mulai filsuf, penyair, sastrawan bahkah scientist bicara tentang cinta.

Dalam Ensiklopedi Wikipedia, cinta sering diidentikan dengan berbagai karakteristik, yakni perasaan terhadap keluarga, Perasaan terhadap teman-teman (philia), perasaan yang romantis atau juga disebut asmara, perasaan yang hanya merupakan kemauan (desire), keinginan hawa nafsu (eros), perasaan sesama atau juga disebut kasih sayang atau agape, perasaan tentang atau terhadap dirinya sendiri (narsisme), perasaan terhadap sebuah konsep tertentu, perasaan terhadap negaranya (patriotisme), perasaan terhadap bangsa (nasionalisme).

Nomenklatur cinta dalam bahasa kita sering di sejajarkan maknanya dengan love dalam bahasa Inggris, tresno atau katresnan dalam bahasa jawa. Kata ini digunakan dalam semua amalan dan arti untuk eros, philia, dan agape.

Plato dalam sebuah karyanya Symposium, menggambarkan cinta adalah sebuah istilah yang dipakai untuk menyebut sebuah relasi yang sangat afektif, tetapi di mana unsur-unsur rasa ketertarikan secara seksual tidak terdapat didalamnya. Plato menyebut cinta akan ide daripada kebaikan adalah dasar dari semua kebajikan dan kebenaran (Lewis, 2009:50).

Erich Fromm menyebut cinta adalah perasaan simpati yang melibatkan emosi yang mendalam. Menurut Erich Fromm, ada empat syarat untuk mewujudkan cinta kasih, yaitu: pengenalan, tanggung jawab, perhatian dan saling menghormati. Erich Fromm dalam buku yang telah klasik the Art of Loving (1952) menyatakan bahwa ke empat gejala: peduli, bertanggung-jawab, Care, Responsibility, Respect, Knowledge, muncul semua secara seimbang dalam pribadi yang mencintai.

Sangat tidak tepat jika seseorang mengatakan mencintai anak, tetapi tak pernah mengasuh dan tak ada tanggungjawab pada si anak. Sementara tanggungjawab dan pengasuhan tanpa rasa hormat sesungguhnya dan tanpa rasa ingin mengenal lebih dalam akan menjerumuskan para orang tua, guru, rohaniwan dan lainnya pada sikap otoriter.

Cinta memang fenomena misteri. Namun bukan berarti cinta tidak dapat dicerap sebagai fakta inderawi. Dimana ilmu pengetahuan dapat menjamahnya. Sebagai fakta realitas psikologis manusia tentu cinta memiliki gejala yang dapat diamati. Gejala cinta terwujud dalam ekspresi perhatian dan kasih sayang yang amat mendalam disertai tanggungjawab dalam relasi dua manusia, misalnya ibu dan anak, guru dan murid, dua pasangan kekasih dan sebagainya.

Gejala-gejala cinta terwujud dari makna dan perilaku yang menunjukkan pengorbanan yang mengandung dimensi psikologis seperti perhatian (respect), cepat tanggap (responbility), pengetahuan yang kuat (knowledge), memelihara (care)demikian kata psikolog kritis Erich Fromm.

Cinta adalah hubungan relasi yang seimbang dimana antara terdapat hubungan ‘simbiotik’ yang saling memberi dan menerima. Terdapat fenomena tukar menukar perasaan perhatian, cepat tanggap, pengetahuan yang kuat terhadap ‘yang dicintai’, dan peduli yang ditunjukkan melalui sikap, perilaku, cara berkomunikasi antar manusia.

Cinta adalah salah satu dari tujuh sumber kekuatan dalam kehidupan manusia: keseimbangan, hasrat, kontrol, komunikasi, kasih-sayang, informasi dan transendensi. Seseorang rela mati kedinginan agar kekasihnya tetap hidup dalam sebuah kecelakaan kapal, atau kita pernah mengetahui seorang ayah dan ibu rela berkorban nyawa demi keselamatan anak tercintanya. Apa sumber tindakan ini kalau bukan ‘cinta’.

Kekuatan emosi cinta yang teramat kuat, dapat membuat  seorang ayah akan bertindak mendahulukan keselamatan anaknya, daripada hasrat mengalahkan keselamatan dirinya sendiri. Jika ditinjau dari secara logika jelas tindakan ini kurang rasional bahkan tidak rasional. Hubungan cinta yang memberikan keamanan ini adalah basis pembentukan kehidupan sosial dan perkembangan mental yang menyertainya. Cinta sebagai dari fenomena mental, merupakan memiliki ekspresi yang khas.

Ekspresi cinta terwujud dalam proses sosial, meskipun bisa jadi melayani kepentingan individu, ekspresi juga membangun hubungan yang menyenangkan terhadap pihak diluar dirinya. Seorang pelukis menciptakan karya untuk kepuasan dirinya, namun hasilnya dapat membahagiakan orang lain pula.

Ekspresi cinta bukanlah sekedar fenomena biologis. Ekspresi marah, berupa tangisan misalnya lebih merupakan alat komunikasi individu terhadap dunia sosial diluarnya. Cinta membutuhkan ekspresi, dan secara intuitif bisa dipahami bersama-sama sebagai kata yang berarti. Cinta memberi tanda ‘pikiran’, bukan sekedar berarti kesenangan jasmaniah, namun lebih sebagai perasaan aman dan persahabatan yang terasa menyenangkan dalam diri dan manusia sekitarnya.

Jika kini layar televisi, dinding media sosial, pembicaraan di warung-warung kopi berisi kabar tentang tindak agresif, kekerasan makin tak terkendali, perang dan kriminalitas, tindakan bunuh diri itulah ekpresi dari cinta yang frustasi.

Cinta yang terdistorsi, yang tak mendapat tempat dalam diri dan hubungan antar manusia. Cinta yang terlempar jauh di pojok-pojok kehidupan, dan tak lagi menghias hidup kita. Meskipun ‘cinta’ diperingati dengan suka cita dan kemeriahan, namun cinta yang sesungguhnya telah lama pergi.

Daftar Pustaka: 

Fromm, E. (1956). The Art of Loving. New York: Bantam Books.

Fromm, Erich. C S Lewis, et all. In Krisch, Aron M (ed). 2009  Anatomy of Love, Oxford: The Caledron Press

Murdianto An Nawie
Murdianto An Nawie
Dosen Program Pascasarjana IAI Sunan Giri (INSURI) Ponorogo
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.