Jumat, April 26, 2024

Kontroversi Pansus DPR Peristiwa Trisakti, Semanggi I dan II

Firdiansyah
Firdiansyah
sebagai pemerhati HAM dan pernah menjadi penyelidik HAM. sekarang aktif dalam lembaga Perlindungan Saksi dan Korban

Jaksa Agung ST  Burhanudin baru-baru ini menyampaikan sesuatu yang mengejutkkan pada saat rapat kerja bersama Komisi III DPR RI pada Kamis, 16 Januari 2020. Alih-alih menyampaikan perkembangan penanganan pelanggaran HAM berat, Jaksa Agung malah menyampaikan bahwa peristiwa Semanggi 1 dan Semanggi II bukan peristiwa pelanggaran HAM yang berat.

Jaksa Agung menyampaikan hal tersebut berdasarkan dokumen rekomendasi Panitia Khusus (Pansus) DPR RI tentang kasus Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II. Rekomendasi DPR RI sesuai dengan laporan Pansus DPR RI pada rapat Bamus tanggal 28 Juni 2001 yang memutuskan bahwa kasus Trisakti, Semanggi 1 dan Semanggi 2 direkomendasikan untuk ditangani oleh Pengadilan Umum/Militer.

Pernyataan Jaksa Agung tersebut kembali membangun keraguan korban dan keluarga korban pelanggaran HAM yang berat, bahwa komitmen Presiden Jokowi untuk menyelesaikan peristiwa pelanggaran HAM yang berat masih rendah.

Rekomendasi Pansus DPR RI

Peristiwa pelanggaran Ham yang berat yang terjadi sebelum adanya UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, disidang pada pengadilan HAM Ad Hoc yang dibentuk atas usus DPR dengan keputusan Presiden.

Pasal 43 ayat (2) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM pada penjelasannya disebutkan bahwa dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat mengusulkan dibentuknya Pengadilan HAM Ad Hoc, Dewan Perwakilan Rakyat mendasarkan pada dugaan telah terjadinya pelanggaran HAM yang berat yang dibatasi pada locus dan tempos delicti tertentu yang terjadi sebelum diundangkannya UU No. 26 Tahun 2000.

Berdasarkan hal tersebut, DPR RI pada tahun 2001 membentuk Pansus Peristiwa Trisakti, Semanggi 1 dan Semanggi 2, yang hasilnya peristiwa tersebut bukan pelanggaran HAM yang berat dan dapat disidang di Pengadilan Umum/Pengadilan Militer.

Terkait dengan ketentuan tersebut, Eurico Guterres telah mengajukan uji materi kepada Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2007. Dalil yang disampaikan dalam permohonannya adalah DPR sebagai lembaga politik yang hanya mempunyai kewenangan Budgeting, Legislasi dan pengawasan tidak mempunyai kewenangan untuk memberikan rekomedasi pembentukan pengadilan HAM Ad Hoc Pelanggaran HAM berat.

DPR sebagai lembaga politik tidak mempunyai kewenangan untuk mengintervensi Criminal Justice System. Penjelasan pasal 43 ayat (2) yang menyebutkan bahwa DPR dalam memberikan rekomendasi pembentukan pelanggaran AHm yang berat didasarkan pada dugaan, tanpa disebutkan lebih lanjut dasar pengambilan keputusan DPR tersebut.

Pendapat MK terkait dengan hal tersebut salah satunya adalah untuk menentukan perlu tidaknya pembentukan Pengadilan HAM ad hoc atas suatu kasus tertentu menurut locus dan tempus delicti memang memerlukan keterlibatan institusi politik yang mencerminkan representasi rakyat yaitu DPR.

Akan tetapi, DPR dalam merekomendasikan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc harus memperhatikan hasil penyelidikan dan penyidikan dari institusi yang memang berwenang untuk itu. Oleh karena itu, DPR tidak akan serta merta menduga sendiri tanpa memperoleh hasil penyelidikan dan penyidikan terlebih dahulu dari institusi yang berwenang, dalam hal ini Komnas HAM sebagai penyelidik dan Kejaksaan Agung sebagai penyidik sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.

Harus dipahami bahwa kata ”dugaan” dalam Penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM dapat menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) sebagai akibat dapat ditafsirkannya kata ”dugaan” berbeda dengan mekanisme sebagaimana diuraikan di atas. Dengan demikian, sebagian permohonan Pemohon yang terkait dengan Penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM sepanjang mengenai kata ”dugaan” beralasan.

Putusan MK atas permohonan uji materi Eurico Guterres No. 18/PUU-V/2007,  permohonan dikabulkan sepanjang mengenai kata “dugaan” beralasan. Putusan tersebut tidak bulat, terdapat satu hakim MK yang menyampaiakn desenting opinion, yaitu I Dewa Gede Palguna.

Pada dissenting opinion-nya disampaikan bahwa permohonan menyangkut Penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM harus dinyatakan ditolak dengan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional).

Dalam pengertian, penjelasan itu harus ditafsirkan bahwa keputusan DPR untuk mengusulkan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc kepada Presiden diambil setelah terlebih dahulu ada hasil penyelidikan yang dilakukan oleh suatu institusi independen, yang khusus dibentuk dan diberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan terhadap dugaan telah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Sebelum berlakunya UU Pengadilan HAM yang locus delicti maupun tempus delicti-nya ditentukan secara jelas.

Pada saat pengajuan permohonan uji materi, Eurico Guiterres telah divonis oleh pengadilan HAM ad hoc Jakarta Pusat terbukti bersalah dan harus menjalani hukuman 10 (sepuluh tahun) penjara. Walaupun pada akhirnya di tingkat Peninjauan Kembali (PK), Eurico Guterres dinyatakan tidak bersalah dan dibebaskan.salah satu bukti (novum) yang diajukan untuk PK adalah putusan MK No. 18/PUU-V/2007.

Penyelidian Komnas HAM vs Pansus DPR RI

Komnas HAM memulai proses penyelidikan pelanggaran HAM yang berat pada tanggal 27 Agustus 2001, dengan pertimbangan bahwa diduga telah terjadi peristiwa pelanggaran HAM yang berat pada peristiwa Trisakti 12 Mei 1998, Semanggi 1 13 -14 November 1998, dan Semanggi II 23 – 24 September 1999. Penyelidikan dilakukan kurang dari satu tahun, yaitu pada 22 Maret 2002 Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM (KPP) menyampaikan hasil penyelidikannya.

Salah satu rekomendasi dari KPP HAM TSS adalah meminta kepada Komnas HAM untuk melimpahkan hasil penyelidikan atas peristiwa TSS untuk ditindaklanjuti oleh Jaksa AGung RI dengan langkah penyidikan sebagaimana yang ditentukan dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Melihat proses penyelidikan yang dilakukan KPP HAM dan dibandingkan dengan rekomendasi Pansus DPR tentang TSS, maka dapat dikatakan bahwa rekomendasi Pansus DPR tidak didasarkan pada hasil penyelidan KPP HAM yang dikeluarkan pada tahun 2002. Rekomendasi pansus lebih didasarkan apda proses politik, tidak pada proses pro justisia, karena DPR RI tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan proses Justisia.

Oleh karenaitu, karena rekomendasi DPR tersebut bukan sebuah hasil pro justisia, maka hasilnya bukan sebuah produk hukum yang harus dijalan dan mempunyai kekuatan mengikat.. Tetapi bisa dibatalkan melalui proses politik kembali di DPR RI.

Oleh karena itu, dengan adanya putusan MK No. 18/PUU-V/2007 dan laporan KPP HAM tentang penyelidikan pelanggaran HAM yang berat, bukanlah suatu hambatan bagi penyelesaian pelanggaran HAM yang berat.

Firdiansyah
Firdiansyah
sebagai pemerhati HAM dan pernah menjadi penyelidik HAM. sekarang aktif dalam lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.