Kerap orang berkata “ini sudah diteliti” atau “itu sudah ada penelitiannya” dengan maksud memberi argumen bahwa hal yang sudah diteliti tersebut pasti benar atau dapat disebut “ilmiah.” Argumen semacam ini kita temui misalnya dalam kontroversi Dr. Terawan akhir-akhir ini.
Sebagian pihak pendukung Dr. Terawan mendasarkan keilmiahan metode pengobatan baru sang dokter pada fakta bahwa metode tersebut sudah pernah diteliti. Kurangnya pemahaman tentang bagaimana posisi penelitian dalam produksi pengetahuan rasa-rasanya punya andil dalam menimbulkan kontroversi yang menyebabkan IDI menangguhkan sanksi pencabutan sementara izin sang dokter.
Masalah etika dalam kasus Dr. Terawan atau masalah bagaimana tahapan uji klinis untuk terapi atau metode pengobatan baru di bidang medis sudah dibahas oleh mereka yang lebih ahli di bidang itu. Di sini saya hendak menambahkan satu poin sederhana di bidang yang lebih umum: posisi riset dalam produksi pengetahuan.
Meski buah dari ilmu pengetahuan modern atau sains ada di sekeliling kita, misalnya dalam bentuk gawai yang kita genggam, film yang kita tonton, kendaraan yang kita gunakan, tak banyak yang benar-benar memahami bangunan pengetahuan yang melandasinya, apalagi kekhasan metode yang digunakan untuk menghasilkan bangunan pengetahuan tersebut.
Metode ilmiah memiliki mekanisme kerja dan pengambilan kesimpulan yang berbeda dengan yang umumnya digunakan orang dalam memecahkan masalah sehari-hari. Sebagai contoh, metode ilmiah selalu meminta landasan bukti empiris untuk suatu argumen, bukan testimoni orang yang kita kenal, bukan pula nasihat orang yang kita anggap pakar atau kita hormati.
Metode ilmiah yang mengantarkan kita pada kemajuan teknologi saat ini juga berbeda dengan metode manusia zaman pra-modern dalam mengumpulkan pengetahuan dan memaknai alam semesta yang hasilnya sebagian masih bertahan hingga saat ini dalam bentuk mitos atau legenda, atau dalam bentuk “ilmu” pra modern semacam astrologi.
Salah satu bedanya adalah prioritas menemukan kejelasan hubungan sebab akibat, suatu prioritas yang membuat desain riset berbentuk randomized controlled trial menjadi standar emas dalam bidang medis dan beberapa bidang lain.
Ciri lain dari metode ilmiah yang perlu dipahami adalah seperti yang tersirat dalam judul tulisan ini: kerja bersama, upaya kolektif. Satu penelitian tak banyak berarti ketika ia tak direspons oleh penelitian-penelitian lain. Entah respons itu berupa replikasi yang meneguhkan atau membantah temuan awal atau berupa penelitian lain dengan tema sama yang memberi dukungan pada aspek lain dari suatu temuan.
Itulah sebabnya dalam sains atau pengetahuan modern, interaksi antar ilmuwan atau peneliti (terutama dalam bentuk tulisan atau publikasi riset) merupakan syarat mutlak. Peneliti membangun gagasan atau rencana penelitian dari gagasan dan riset peneliti-peneliti lain sebelumnya. Proses ini berlangsung terus menerus dan tak terbatas pada masa hidup seorang peneliti.
Semua ilmuwan, termasuk para ilmuwan besar nan legendaris, berdiri di atas bangunan pengetahuan yang disusun oleh para ilmuwan lain sebelumnya. Ketika dipuji mengenai temuannya, dengan rendah hati Isaac Newton mengatakan bahwa dia bisa menghasilkan temuan itu karena dia berdiri di atas pundak para raksasa.
“If I have seen further it is by standing on the shoulders of giants.” Yang dimaksud Newton dengan raksasa adalah para ilmuwan lain sebelum dia. Memang demikianlah, tak ada satu individu, tak ada satu riset yang berhak mengklaim sebagai penguasa pengetahuan. Semua peneliti dan penemu berutang pada peneliti dan penemu sebelumnya.
Konsensus teranyar dalam psikologi kognitif mengenai kemampuan berpikir manusia juga meneguhkan pentingnya proses interaksi antar ilmuwan ini. Otak manusia menurut konsensus tersebut, penuh dengan keterbatasan. Rangkaian penelitian Kahneman yang membuatnya diganjar anugerah nobel menegaskan bahwa manusia pada dasarnya tidak rasional.
Kemajuan ilmu dan teknologi kita saat ini bukanlah bukti dari keunggulan otak manusia dalam hal berpikir rasional, melainkan keunggulan manusia dalam hal berkomunikasi. Dalam hal ini, terutama komunikasi tertulis.
Itulah sebabnya peradaban manusia maju pesat setelah kita menemukan cara-cara merekam ilmu pengetahuan dengan teknologi tulisan dan lantas cetakan (ctt,: untuk topik ini, buku “Kelisanan dan Keaksaraan” karya Walter J. Ong, sangat saya rekomendasikan).
Tak ada manusia di dunia ini memiliki kemampuan kognitif yang memadai untuk dapat menyusun keseluruhan teori relativitas, misalnya. Teori tersebut bisa diformulasikan oleh Einstein berkat kerja ilmuwan-ilmuwan sebelumnya. Kemajuan ilmu dan teknologi adalah berkah kemampuan kita mengomunikasikan ilmu dan pengetahuan dari satu peneliti ke peneliti berikutnya dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Lagipula, manusia paling cerdas sekalipun tak lepas dari bias kognitif. Individu cenderung tak mampu melihat lubang dan kelemahan dalam pemikirannya sendiri. Karena itulah, dibutuhkan orang lain, peneliti lain, untuk mengevaluasi, memberi sudut pandang yang berbeda, memberi argumentasi kontra, guna menyempurnakan bangunan pengetahuan yang tengah disusun.
Pengetahuan modern sangat bersandar pada pengujian oleh berbagai pihak guna memastikan bahwa ia berada pada jalur yang benar. Itu sebabnya, fakta bahwa sesuatu sudah pernah diteliti tidak berarti banyak, tidak membuat sesuatu seketika menjadi ilmiah. Perlu waktu lebih lama untuk itu.
Masih harus dilihat bagaimana posisi temuan penelitian tersebut di antara penelitian-penelitian yang lain seiring waktu berlalu. Para ilmuwan masih harus diberi kesempatan untuk bertukar-tangkap gagasan dan temuan hingga mencapai suatu konsensus baru. Makan waktu memang, tetapi itulah cara yang telah berhasil membawa umat manusia pada titik pencapaian teknologi sekarang ini.