Kamis, April 18, 2024

Kontestasi Politik di Tengah Kekhawatiran Nasional

Alrdi Samsa
Alrdi Samsa
Magister Politik Pemerintahan UGM. Penulis Lepas.

Senin, 7 Desember 2020 angka Covid-19 di Tanah Air kembali meledak. 581.550 dinyatakan Positif Covid-19, angka tersebut membawa Indonesia menempati posisi ke 4 di Asia terkait tingkat penyebaran kasus Covid-19.

Tentunya, angka tersebut juga membawa perasaan khawatir bagi masyarakat di Indonesia, tidak ada kata yang tepat selain kata mengkhawatirkan yang dapat menggambarkan kondisi pandemi di Indonesia.

Kerumunan tidak dapat dihindarkan, rentetan peristiwa telah terjadi dengan berbagai kepentingan sosial yang ada. Bahkan di tengah pandemi saja, Menteri Sosial telah dinyatakan korupsi dalam kasus bantuan sosial untuk Covid-19. Tidak ada yang lebih mengaduk-aduk emosi selain dari hal tersebut, disaat banyak sekali korban yang dinyatakan positif Covid-19, pejabat negara setingkat Menteri dengan leluasa dapat memanfaatkan celah untuk melakukan korupsi.

Dalam rentetan situasi yang sangat mengkhawatirkan inilah, konstelasi politik hadir. Pemerintah telah menetapkan tanggal 9 Desember 2020, menjadi hari libur nasional dikarenakan akan digelar pesta demokrasi Serentak di 270 Wilayah, yakni di 9 provinsi, 224 Kabupaten, dan 37 kota.

Lebih dari 100 juta orang dapat menggunakan haknya untuk berpartisipasi secara langsung untuk memilih calon wakilnya yang akan duduk di eksekutif. Sorotan utama, akhirnya berada pada kasus covid yang terus menanjak, sementara pilkada harus terus dan tetap dijalankan.

Dugaan saya, Rabu 9 Desember 2020 angka Covid-19 akan semakin mendekati angka 600.000 bahkan lebih, melihat trafic yang sekarang terus menerus naik tajam.

Beragam ekspersi publik muncul, yang menyatakan akan golput sebagai aksi solidaritas dari para korban Covid-19 yang wafat. Bahkan ada juga yang memilih tetap untuk memilih karena ingin menggunakan haknya untuk memilih.

Dari para intermediary actor pun bergeming serupa. Misalnya PP Muhammadiyah, menyuarakan keselamatan rakyat lebih penting dibandingkan dengan penyelenggaraan pilkada serentak. Sejalur dengan itu, Nahdlatul Ulama juga menyatakan sikap yang serupa. Dimana lebih baik menunda pelaksanaan pilkada daripada korban Covid-19 akan terus berkembang dan bertambah.

Indonesia tidak sendirian dalam hal penyelenggaraan pilkada tesebut, sebelumnya Amerika pun telah menjalankan konstelasi politik tersebut. Berkaca pada Singapura, Jerman, Korea Selatan yang telah menggelar pilkada dengan protokol kesehatan yang ketat. Fadjroel Rachman yakin akan dapat menggelar pilkada 2020 dengan tetap memperhatikan keselamatan nasional di tengah pandemi.

Kesiapan Komisi Pemilihan Umum (KPU) pun dipertanyakan, banyak yang berharap bahwa KPU tidak ikut bersuara terkait dengan tetap atau ditundanya kontestasi politik 2020.

Namun KPU ternyata tetap bergeming untuk tetap melaksanakan pemilihan umum 2020. Uniknya, merjuk pada Harian Kompas, kesiapan tersebut belum 100 persen, dimana alat pengukur suhu tubuh dari sekian ratus daerah yang akan menyelenggarakan belum memilikinya.

Pertarungan Dua Wacana 

Secara garis besar, pada dasarnya memang pilkada serentak merupakan bagian dari kehendak politik yang bagaimana pun harus tetap diselenggarakan. Berkaca terhadap hal tersebut, sebenarnya masyarakat memiliki dua hak yang masing-masing dapat dijungjung tinggi, hal tersebut juga bergantung pada karakter dan kemauan masyarakat itu sendiri.

Mengutip Cicero, keseleamatan rakyat adalah hukum tertinggi. Maka wacana yang muncul berkaitan dengan hak manusia adalah hak untuk hidup. Pemerintah wajib dengan tegas menjamin hak untuk hidup bagi warga negaranya. Bagaimana pun wacana yang kemudian dibangun dengan dasar tersebut adalah, hak untuk hidup lebih penting dan utama dibandingkan hak untuk dipilih dan memilih.

Sementara, wacana selanjutnya yang muncul bagi yang tetap harus dan terus menjalankan pilkada serentak ini adalah dengan menggaungkan bahwa masyarakat dalam konstelasi politik tetap harus memegang teguh hak untuk dipilih dan memilih. Hak tersebut merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia yang harus terus diperjuangkan.

Sementara dua wacana tersebut berkembang, elite politik dan pejabat tinggi negara telah memutuskan untuk tetap menggelar pilkada serentak dengan juga mempertimbangkan pilihan untuk memperjuangkan hak hidup. Maka tidak ada salahnya, ketika masyarakat menggunakan hak untuk hidup dibandingkan hak untuk memilih.

Kata terserah menjadi sebuah kunci bagi pemilih, akan menggunakan haknya atau tidak. Memilih adalah hak, bukan menjadi kewajiban. Sementara Kehidupan, adalah hak bukan merupakan sesuatu yang tidak mutlak.

Golput dan Partisipasi Politik

Tidak dipungkiri, indikator penilaian berjalan dengan lancar atau tidaknya sebuah pilkada di ukur dari tingkat partisipasi politik. Ketika partisipasi politik rendah, maka sewajarnya pilkada tersebut memiliki nilai reputasi yang rendah. Begitu pun sebaliknya, ketika partisipasi politik sangat aktif, maka hal tersebut menjadkan pilkada tersebut reputasinya tinggi.

Tentunya indikator penilaian tersebut, telah lama dilakukan baik oleh peneliti atau bahkan masyarakat awam sekalipun. Akhirnya, yang terjadi adalah di tengah kondisi serta gejolak peningkatan covid-19 ini, KPU –dan seharusnya ditemani partai politik– harus melakukan edukasi bagi masyarakat agar menggunakan hak pilihnya.

Kampanye tersebut tidak terlihat begitu rutin dilakukan hari ini oleh KPU, mengingat bagaimana pun sadar atau tidak sadar pastinya KPU akan juga menghargai masyarakat yang memilih untuk tidak memilih dalam percaturan konstelasi pilkada 2020 ini.

Karena masyarakat pun akan memegang teguh hak mereka untuk hidup, hak untuk diberikan keselamatan. Mereka mengabaikan hak untuk memilih karena alasan yang logis, akhirnya tidak ada lagi yang bisa mencerca siapapun yang tidak memilih karena ada alasan logis yang diberikan.

Bagaimana pun yang menjadi harapan utama adalah, pemimpin daerah yang dilahirkan dari kondisi di tengah pandemi ini, semoga menjadi pemimpin daerah yang bisa amanah dan merasakan serta memberikan solusi untuk permasalahan pandemi ini.

Visi misi harus menjadi rujukan bagi para pemilih, dan kesiapan serta tanggapnya calon para kepala daerah juga harus menjad indikator bagi pemilih untuk memilih. Pesta demokrasi memang mau tidak mau harus dilalui di tengah kondisi pandemi, dan kekhawatiran nasional.

Alrdi Samsa
Alrdi Samsa
Magister Politik Pemerintahan UGM. Penulis Lepas.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.