Sabtu, April 27, 2024

Kontestasi Meme Jomblo

Husnul Athiya
Husnul Athiya
Husnul Athiya merupakan alumni Jurusan Linguistik, Universitas Gadjah Mada. Gadis kelahiran 21 Oktober 1994 ini berdomisili di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Gemar menulis essay dalam berbagai topik. Pecinta hujan dan aroma buku baru, Bisa ditemui di instagram @yaya_athiya

Bagaimana kondisi hati anda saat membaca kalimat tersebut? Perihkah? Sakitkah? Atau mungkin biasa saja? Ya sudah, tak perlu dijawab. Biarlah menjadi rahasia anda dan Tuhan.

Agar umur kita semua lebih bermanfaat, mari membahas yang lebih ‘berfaedah’. Hal yang mungkin pernah memosisikan anda sebagai pelaku atau bahkan korbannya. Apa itu? Ya, ‘dirundung karena jomblo’. Saya terheran-heran dengan kenyataan ini. Memangnya mengapa kalau jadi jomblo?

Di era media sosial saat ini, komunikasi tidak lagi hanya terbatas pada tatap muka. Komunikasi virtual menjadi hal yang lebih digandrungi karena ia tidak terbatas pada ruang dan waktu. Dalam komunikasi virtual inilah sering terjadi ajang untuk merundung satu sama lain.

Banyak topik yang biasa dijadikan sebagai bahan rundungan, seperti pilihan dalam politik, gaya hidup, cinta, dan yang paling sering adalah status jomblo. Rundungan tentang status jomblo ini marak disuarakan. Topik-topik tentang jomblo menjadi sajian hangat dalam esai, film pendek berupa vlog (video blog) serta konten-konten meme.

Berdasarkan hasil penelusuran sederhana yang saya lakukan, terlihat bahwa kata ‘jomblo’ telah mengalami pergumulan yang panjang. Pemaknaan terhadap kata ini mengalami banyak perubahan dari waktu ke waktu.

Dalam ilmu Semantik, perubahan makna yang mengalami perluasan ini disebut dengan generalisasi. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mencatat kata ‘jomlo’ tanpa huruf ‘b’ yang berarti ‘gadis tua’. Kata itu kemudian dipakai oleh masyarakat dan diperluas maknanya, dari segi referen gender (bukan hanya wanita tetapi juga pria) dan usia (bukan hanya usia gadis tetapi usia dewasa dan bahkan remaja).

Selain aspek di atas, aspek perluasan citra tidak bisa dilepaskan dari pembahasan mengenai kata ‘jomblo’. Nampak jelas bahwa jomblo selama ini diasosiasikan dengan hal-hal yang negatif dan memprihatinkan.

Raditya Dika adalah salah satu seniman di Indonesia yang menurut versi mojok.co (7 Mei 2018) menjadi pelopor perundung jomblo di akun twitter miliknya. Ia juga merupakan stand up comedian dan pembuat film. Serial ‘Malam Minggu Miko’– nya yang sempat jaya di masanya juga sering mengusung topik jomblo. Kevokalan Raditya Dika dalam ‘mencemarkan nama baik’ jomblo akhirnya membuatnya mendapatkan predikat Presiden Jomblo Indonesia, sebelum akhirnya ‘lengser’ pada bulan April 2018 lalu, setelah mempersunting seorang gadis.

Disadari atau tidak, pemaknaan kata jomblo yang diusung Raditya Dika diamini oleh banyak anak muda. Arkian, kata jomblo mengandung makna yang sangat negatif. Jomblo diidentikkan dengan seseorang yang memprihatinkan, lemah, tidak laku, dan memalukan sehingga layak untuk direndahkan.

Citra negatif versi ini juga marak menghiasi meme di media sosial. Ungkapan meme seperti: Yang jomblo angkat tangan. Kalian kadaluwarsa!, Jomblo membuat gue strong – stress tak tertolong, atau Jomblo itu free, freehatin- tentu bukanlah kalimat asing di mata kita.

Dari ungkapan-ungkapan ini, nampak bahwa kata jomblo disandingkan dengan sejumlah kata atau frasa yang memiliki makna negatif. Sosok jomblo disamakan dengan sesuatu yang kedaluarsa (alias bujang lapuk) dan tidak laku-laku karena jarang ada yang memilih. Menjomblo dapat menimbulkan seseorang menjadi stress. Keadaannya pun memprihatinkan (free-freehatin). Seorang jomblo menjadi sasaran empuk untuk dirundung dan dihina.

Islamisme Jomblo

Sejak 2016, lahir satu gerakan yang menamai diri mereka ‘Indonesia Tanpa Pacaran’ yang diusung oleh La Ode Munafar. Pemaknaan negatif terhadap kata jomblo serta-merta menemukan penyeimbangnya. Sesuai dengan namanya, gerakan ini mengusung kampanye anti pacaran, sehingga orang-orang yang berstatus jomblo menjadi terselamatkan.

Gerakan ini secara masif menyuarakan misinya di media sosial, khususnya instagram tentang bahaya pacaran serta terhormatnya status jomblo dibanding yang memiliki pacar. Kehadiran sebuah akun di Instagram bernama @indonesiatanpapacaran  mampu membersihkan citra buruk status jomblo. Dengan kata lain, gerakan ‘Indonesia Tanpa Pacaran’ sangat berperan besar dalam membersihkan nama baik – atau paling tidak- memberikan pemaknaaan yang positif terhadap kata jomblo.

Dari kalimat-kalimat yang dituangkan ke dalam meme, jomblo dari perspektif ini dimaknai sebagai seseorang yang terhormat dan kuat. Status jomblo tidak lagi dipandang sebagai nasib yang harus diratapi, melainkan sesuatu yang harus dibanggakan.

Mari teroka kalimat-kalimat yang tertuang dalam meme berikut:  Kepedihan menjadi jomblo tak seberapa dengan kepedihan di neraka karena zina, Yang pacaran punya pacar; yang jomblo punya Allah; Keren mana kira-kira?, Sedih itu bukan karena jomblo. Sedih itu karena hari bertambah tetapi gak bisa nambah amal sholeh serta Jomblo qolqolah: jomblo yang terus gigih berjuang untuk memiliki pasangan halal, tetapi hasilnya selalu saja mantul – mantap betul.

Kata jomblo disandingkan dengan kata-kata yang memiliki asosiasi atau konotasi yang positif. Kalimat pertama misalnya, mendeskripsikan bahwa menjomblo jauh lebih baik (meskipun tetap pedih), dibandingkan dengan pacaran (yang mendekati zina) karena ganjarannya adalah neraka. Selain itu, status jomblo juga dianggap jauh lebih mulia karena dekat dengan Allah. Mereka menjaga dirinya tetap sendiri, memperbanyak amal sholeh, sembari berjuang untuk memiliki pasangan yang halal karena Allah.

Agak berbeda dengan pemaknaan ‘pasangan’ sebelumnya, dalam konteks perluasan citra positif ini, kata ‘pasangan’ bukan merujuk kepada ‘pacar’, melainkan pada ‘pasangan halal’ yang diikat oleh pernikahan yang sah. Citra negatif tentang jomblo serta-merta diubah menjadi positif ketika ia diasosiasikan dengan unsur-unsur keagamaan dan ketuhanan.

Perluasan pemaknaan terhadap kata ‘jomblo’ mengindikasikan bahwa kata ini sering bersentuhan dan dipakai oleh masyarakat, khususnya anak muda. Penggunaannya sebagai topik dalam berbagai karya juga mengindikasikan urgensi maknanya dalam kehidupan anak muda. Kata ini seakan menjadi pemantik untuk menghidupkan kreativitas mereka.

Kreativitas ini terwujud dalam perang meme di media sosial yang diciptakan. Kubu perundung jomblo seakan tak kehabisan ide untuk menciptakan konten meme yang menggigit dan bahkan pedas untuk ‘dikonsumsi’. Begitu pula dengan kubu pemuji jomblo. Mereka terus berjuang ‘membersihkan’ nama baik jomblo dengan merangkai kata-kata optimis dan manis untuk ‘dinikmati’ anak muda. Perang antar dua kubu ini semakin menarik dan memanas setiap harinya.

Sifat bahasa yang dinamis membuatnya mudah untuk mengalami perubahan makna dari waktu ke waktu.  Perubahan makna sebuah kata akan sejalan dengan perubahan pola pikir penggunanya. Ragam pola pikir pengguna bahasa akan menghasilkan beberapa kubu yang tak jarang saling ‘berperang’ dengan kata-kata guna menunjukkan eksistensinya. Jika anda yang tidak termasuk dalam dua kubu di atas, jangan khawatir. Anda masih memiliki kesempatan seluas samudera untuk melahirkan pemaknaan yang baru, atau sekadar memperluas pemaknaan yang ada. Barangkali, ada pemaknaan yang jauh lebih cocok dengan keadaan anda sekarang, Mblo. 

Husnul Athiya
Husnul Athiya
Husnul Athiya merupakan alumni Jurusan Linguistik, Universitas Gadjah Mada. Gadis kelahiran 21 Oktober 1994 ini berdomisili di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Gemar menulis essay dalam berbagai topik. Pecinta hujan dan aroma buku baru, Bisa ditemui di instagram @yaya_athiya
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.