Kamis, April 25, 2024

Kontestasi Marketing Identitas Simbolik dalam Pilgub Jatim

Dian Dwi Jayanto
Dian Dwi Jayanto
Penulis Lepas, alumni Ilmu Politik FISIP UNAIR serta pernah nyantri di Pondok Pesantren Tambaberas Jombang.

Meskipun kerap dikatakan bahwa mayoritas warga Jawa Timur adalah Nahdliyin, yang sekaligus menjadi basis suara politik terbesar. Namun dua kali pengalaman pilkada dilaksanakan secara langsung, tidak membuat masyarakat Jawa Timur mempunyai gubernur sebagai representatif dari NU.

Bahkan Soekarwo (Pakde Karwo) yang menjabat sebagai Gubernur Jawa Timur dua periode terakhir ini tercatat sebagai kader Muhammadiyah. Orang NU harus puas dengan posisi Saifullah Yusuf (Gus Ipul) sebagai tokoh mereka hanya menjadi wakil gubernur dari seorang kader Muhammadiyah.

Spesial untuk tahun ini, masyarakat NU Jawa Timur akan memiliki gubernur yang tidak lagi diragukan latar belakang ke-NU-annya, yakni Khofifah yang hingga hari ini masih menjabat sebagai Ketua Muslimat NU, dan Gus Ipul yang merupakan mantan ketua GP Ansor. Ini belum menghitung Emil Dardak, calon wakil gubernur Jawa Timur yang mendampingi Khofifah, yang juga merupakan mantan Ketua NU Cabang Istimewa Jepang. Seandainya Azwar Anas yang juga merupakan aktifis NU tidak jadi mengundurkan diri sebagai pendamping Gus Ipul, lengkap sudah komposisi tokoh NU di Pilgub Jatim mendatang.

Namun semata-mata ini takdir, meminjam ungkapan Gus Ipul, posisi Azwar Anas sebagai Cawagub harus digantikan sosok yang mungkin cukup asing bagi sebagian besar masyarakat Jawa Timur, yakni Puti Guntur Soekarno. Namun dari namanya kita sudah bisa menebak bahwa dia adalah putri dari Guntur anak tertua dari presiden pertama Indonesia.

Isu yang kemudian senantiasa digembor-gemborkan adalah perjumpaan cucu pendiri NU yang berpasangan dengan cucu pendiri republik. Narasi yang kemudian dapat terbaca melalui pesan politik tersebut adalah pembingkaian representatif simbolik yang mewakili identitas religious-nasionalis.

Di sisi lain, Khofifah-Emil semenjak jauh-jauh hari sudah mengidentifikasikan atau diidentifikasian sebagai pasangan calon yang mewakili pasangan dengan cita rasa penyatuan sosok yang mewakili religious dan nasionalis.

Fenomena persaingan politik dengan meneguhkan identifikasi diri sebagai representatif dari segmentasi kelompok sosial dominan tertentu dalam pertarungan Pilgub Jatim kali ini, dan mungkin sebagaimana Pilkada-pilkada sebelumnya,  dapat dibaca baik dalam pemaknaan positif maupun negatif.

Dalam kaca mata positif misalnya, penulis sebagai warga Jawa Timur bangga melihat realitas faktual bahwa solidaritas yang berdasarkan ikatan-ikatan sosio-kultural di dalam kehidupan masyarakat Jawa Timur masih dipegang erat. Artinya, orang Jawa Timur masih lekat dengan atribut-atribut kebudayaan yang belakangan di dalam percaturan politik mulai ditinggalkan, sebagaimana ideologi, aliran pemikiran dan sebagainya.

Salah satu penyebab kekaburan identifikasi sosial, agama dan kebudayaan dalam dunia politik adalah hegemoni dari penerapan prinsip demokrasi universal yang menekankan pemaknaan kesetaraan warga negara yang buta pada perbedaan heterogentitas kultural. Implikasinya, hilangnya identifikasi kebudayaan yang bersifat partikular untuk mengartikulasikan kepentingannya dalam saluran politik.

Kembali pada soal masyarakat Jawa Timur, jika penduduk Jawa Timur katakanlah mayoritas adalah nahdliyin, maka wajar kemudian mereka menghendaki pemimpin yang mewakili identitas simbolik warga NU. Ini bukan persoalan toleran dan tidak terhadap kelompok lain selama persaingan tersebut melalui saluran politik yang benar. Bagaimanapun pemilihan umum demokrasi adalah persoalan kalkulasi suara secara kuantitas.

Jadi, pembingkaian identifikasi simbolik yang kini dipergunakan para kandidat pastinya sudah melalui perhitungan matang bahwa masyarakat Jawa Timur melibatkan faktor sosio-kultural di dalam prefensi pilihan politik mereka. Dalam analisis perilaku memilih disebut sebagai perilaku pemilih berdasarkan tipe psikologis dan sosiologis.

Jika pemetaan lebih mendetail lagi tentang pemilahan nilai-nilai kebudayaan yang ada di Jawa Timur, sah saja setiap kandidat menyasar setiap sub kebudayaan yang ada di Jawa Timur melalui berbagai pembingkaian identitas simbolik, baik Budaya Arek, Mataram, Madura, Tapal Kuda dan seterusnya. Begitu juga menyasar masyarakat berdasarkan tingkat religiusitasnya, baik yang sangat taat, taat, cukup taat, tidak terlalu taat.

Selanjutnya, yang kemudian menjadikan marketing identitas simbolik oleh para kandidat yang ingin menkonversi realitas sosio-kultural menjadi realitas politik menyisahkan tiga persoalan mendasar. Pertama, tidak semua masyarakat Jawa Timur merasa perlu identitas kebudayaannya diwakili.

Atau mungkin bisa saja kebutuhan artikulasi identitas kebudayaan sebagian masyarakat di Jawa Timur merupakan dampak dari pengkotakkan-kontakan yang diciptakan oleh para kandidat tersebut. Akhirnya yang terjadi bukan kebudayaan yang ingin diwakili melalui calon pemimpin politik, tapi sebagai instrument kosong representatif.

Kedua, marketing identitas simbolik sebuah kebudayaan mayoritas akan merisauhkan kelompok kebudayaan lainnya yang merasa tidak punya rujukan untuk mewakili kebudayaan mereka. Apakah identifikasi religious (NU khususnya) dan nasionalisme sudah cukup mumpuni menampung berbagai identitas lain masyarakat Jawa Timur? Bagaimana dengan Muhammadiyah, Syiah (yang sebagian masih diungsikan dan belum bisa pulang ke kampung halamannya di Madura) dan seterusnya.

Ketiga, yang paling mengkhawatirkan, para kandidat yang mengeksploitasi identitas simbolik berlebihan akan menghilangkan fungsi pemilihan umum sebagai media kontrak politik melalui tawaran gagasan calon pejabat publik dengan konstituen. Sebagai bahan dagangan utama untuk meraup suara, marketing simbolik yang menyerang perasaan sentimen ikatan kultural, ideologi maupun identitas golongan tertentu akan menenggelamkan rasionalitas pemilih terhadap gagasan yang ditawarkan para kandidat.

Catatan ketiga tersebut tidak lagi punya arti kalau memang yang dikehendaki oleh masyarakat Jawa Timur, seperti yang disinggung di awal, hanya berorientasi pada apakah hanya memperhitungan seberapa kadar religiusitas dan nasionalisme para kandidat sebagai representatif simbolik yang kini sedang diperdagangkan. Dan hal itu dianggap sudah lebih dari cukup.

Dian Dwi Jayanto
Dian Dwi Jayanto
Penulis Lepas, alumni Ilmu Politik FISIP UNAIR serta pernah nyantri di Pondok Pesantren Tambaberas Jombang.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.