Pada 22 Mei 2017 Sidratahta Mukhtar (SM) menulis di koran sindo dengan judul Kebijakan Politik di Tengah Perang Tembakau. Dalam tulisan itu, SM menyinggung tarik menarik kepentingan dalam pembahasan RUU Pertembakauan antara DPR dan Presiden Jokowi. Di satu sisi DPR ingin menuntaskan RUU tersebut untuk melindungi petani tembakau, sementara Presiden Joko Widodo menolak melanjutkan pembahasan karena rokok menyebabkan kemiskinan dan beban biaya ekonomi terhadap Negara dan masyarakat.
Dalam tulisan tersebut SM menyitir, tarik menarik ini terjadi karena pertarungan antara kepentingan petani tembakau melawan perusahaan farmasi multinasional yang berkedok gerakan anti rokok. SM menyatakan regulasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC)-WHO didukung Gates Foundation dan Bloomberg Philantrophy untuk memuluskan kepentingan industri rokok asing menguasai pasar rokok dan tembakau Indonesia. Tulisan ini mencoba memberikan perspektif lain dan alternatif pemahaman dari argumentasi yang disampaikan dalam tulisan tersebut.
Teori Konspirasi dan Upaya ‘Killing The Messenger’
Industri rokok adalah bisnis ratusan triliyunan yang menempatkan para pemilikinya di jajaran orang-orang terkaya. Namun fakta ilmiah, bahwa produk tembakau menyebabkan sakit dan berbagai gangguan kesehatan berat menempatkannya sebagai bisnis yang tidak normal, dan harus dikendalikan seketat mungkin.
Untuk melawan citra buruk itu, industri rokok selalu mengalihkan perdebatan ke isu lain. Disebutlah berbagai mitos keuntungan ekonomi dari industri berikut dampak bagi petani tembakau dan pekerja industri rokok jika rokok dikendalikan. Tidak cukup hingga di sana, industri rokok juga selalu berupaya untuk mengangkat teori konspirasi bahwa ada kepentingan industri farmasi multinasional yang ingin memasarkan tembakau sintetis dalam tuntutan kelompok anti rokok.
Mereka selalu mengkampanyekan bahwa rokok bukan hanya soal kesehatan tapi juga soal kedaulatan negara menghadapi intervensi asing. Karya yang selalu dijadikan rujukan industri adalah buku Nicotine War karya Wanda Hamilton yang merupakan aktifis Forces Internasional, sebuah kelompok pro rokok yang merupakan underbow perusahaan-perusahaan rokok di Amerika Serikat.
Berbagai dokumen dan memo internal industri rokok yang dibuka oleh pengadilan Amerika Serikat menunjukkan upaya ini juga digunakan untuk mendiskreditkan lembaga-lembaga yang melakukan kampanye pengendalian tembakau. Maka kemudian dimunculkan frame bahwa para aktifis anti rokok adalah kepanjangan tangan Gates Foundation dan Bloomberg untuk memuluskan bisnis terapi nikotin. Setiap lembaga dan tokoh yang mendukung perjuangan kesehatan masyarakat kemudian dituduh sebagai antek asing bahkan dicap sebagai setan gundul musuh para petani tembakau.
Isu Ekonomi dan Petani sebagai Pengalihan Isu
Industri rokok juga mendalilkan besarnya sumbangan ekonomi industri rokok terhadap perekonomian nasional di tanah air. Pendapatan cukai rokok yang saat ini sudah lebih dari 170 triliun dianggap sebagai bukti besarnya sumbangan industri kepada Negara.
Klaim ini tentu tidak tepat jika kita lihat filosopi cukai yang dikenakan bagi barang-barang yang membahayakan masyarakat seperti rokok, tembakau, alkohol dan produk yang mengandung alkohol. Cukai adalah instrumen pengendalian konsumsi bukan alat untuk menambah pendapatan Negara. Sehingga keberhasilan cukai tidak diukur dari besarnya pendapatan cukai namun dari efektifitasnya dalam mengendalikan konsumsi produk tersebut.
Pun begitu tuduhan bahwa FCTC akan melarang menanam tembakau berisi regulasi yang menguntungkan industri rokok asing dan mematikan industri rokok nasional adalah tidak berdasar dan jauh dari bukti. Faktanya FCTC berisi paket kebijakan untuk membantu Negara pihak mengendalikan konsumsi rokok baik dari sisi supply maupun permintaan. Tidak ada satu pasal pun yang melarang petani menanam tembakau. Pun begitu berbagai pasal di dalam FCTC menyampakan bahwa setiap peraturan yang direkomendasikan harus sesuai dengan regulasi dan kebijakan nasional masing-masing. Artinya, FCTC justru sangat menghormati kedaulatan dan keputusan masing-masing Negara yang menjadi pihak dalam FCTC.
Bahkan dalam pasal 17 dan 18, FCTC memberikan penekanan bahwa setiap negara pihak harus memikirkan kesejahteraan petani tembakau dan pekerja industri rokok yang dalam jangka panjang akan terdampak penurunan konsumsi rokok. Dalam konteks ini FCTC justru memberikan perhatian dan memikirikan masa depan petani tembakau dan pekerja industri rokok.
Fakta lain adalah bahwa FCTC merupakan konvensi internasional pertama yang mengatur kesehatan. Hingga saat ini sudah 180 negara yang menjadi Negara pihak FCTC dan tercatat sebagai hukum internasional yang paling cepat diratifikasi oleh banyak negara. Fakta yang selalu disembunyikan adalah bahwa pengusul FCTC adalah negara-negara berkembang yang ingin melindungi rakyatnya seperti Indonesia, Thailand, Brasil dan beberapa negara lain. Indonesia bahkan menjadi tuan rumah pembahasan FCTC pada tahun 2001.
Begitu pula dengan RUU Pertembakauan yang saat ini sedang dibahas di DPR sarat dengan agenda terselubung kepentingan industri rokok. Selain urgensinya yang dipertanyakan banyak pihak, RUU juga tumpang tindih dengan 17 undang-undang yang sudah disahkan. Bahkan dalam konteks perlindungan petani, UU Perlindungan, dan Pemberdayaan Petani yang disahkan pada tahun 2014 memuat aturan yang lebih komprehensif. Yang paling berbahaya dari RUU Pertembakauan adalah pasal peralihan yang intensinya sangat jelas ingin mengembalikan berbagai pengaturan soal rokok yang sudah ada saat ini mundur beberapa langkah.
Masalah utama petani tembakau adalah anomali cuaca ekstrim yang sulit ditebak serta sistem tata niaga yang tidak menguntungkan. Petani juga terdesak dengan meningkatnya impor tembakau yang justru dipicu oleh peningkatan produksi rokok dalam negeri. Pertumbuhan produksi rokok yang meningkat rata-rata 5 miliar batang tiap tahunnya tidak bisa diikuti oleh peningkatan produksi petani yang hanya maksimal 250 ribu ton semakin melemahkan daya tawar petani dan tembakau lokal. Pada akhirnya selain para perokok dan perokok pasif, negara dan petani tembakau sekalipun menjadi korban dari lingkaran setan bisnis tembakau.
Menyelamatkan Masa Depan
Dalam dua dekade terakhir tren angka kesakitan akibat penyakit tidak menular seperti diabetes, jantung, stroke dan kanker terus meningkat hingga 60% dari total kematian dunia secara keseluruhan. Pemicunya utamanya adalah empat faktor resiko yaitu kurang olahraga, makanan tidak sehat, konsumsi alkohol dan pandemi konsumsi tembakau. Maka tidak heran jika dunia bersepakat untuk mengendalikan konsumsi rokok dengan diisahkannya FCTC pada tahun 2003.
Indonesia meskipun terlibat secara intens dalam proses penyususnannya namun hingga saat ini belum mengaksesi konvensi tersebut. Akibatnya Indonesia terlambat beberapa langkah dan hingga saat ini termasuk Negara dengan jumlah perokok tertinggi di dunia. Pandemi tembakau juga tidak akan surut dengan cepat karena banyaknya anak muda yang merokok akibat pengaruh berbagai upaya marketing dari industri rokok. Kondisi ini jika dibiarkan akan mengancam bonus demografi yang akan dinikmati pada tahun 2045.
Pandemi konsumsi rokok adalah masalah kesehatan masyarakat, namun dampaknya bersifat sistemik karena berpengaruh kepada ekonomi, sosial dan kualitas bangsa. Agenda pembangunan berkelanjutan (SDGs) menempatkan isu tembakau sebagai salah satu tantangan pembangunan.
Membiarkan konsumsi tembakau merajalela sama saja membiarkan bangsa berkubang di middle income trap dan gagal dalam mencapai tujuan pembangunan. Maka, sudah saatnya Negara bersikap untuk menegaskan komitmen dan memperkuat regulasi pengendalian tembakau!.