Kajian tentang manusia dalam bidang ilmu apapun sangatlah menarik. Karena manusia sebagai objek kajian yang dilakukan oleh manusia sebagai subjek adalah sesuatu yang unik. Inilah kelebihan manusia dari makhluk lain yang mempunyai akal untuk dapat menalar. Makhluk lain tidak akan mampu mengkaji dan menganalisis dirinya. Tak seperti manusia yang mempunyai kemampuan untuk itu.
Hal ini pasti ada hubungannya dengan diciptakannya manusia sebagai khalifah di muka bumi. Dengan demikian, sepatutnya kita perlu bersyukur karena Tuhan telah memilih manusia sebagai pemimpin di jagat raya ini. Tak heran jika kemudian Quraish Shihab mengutip pendapat Alexis Carrel seorang ahli bedah dan fisika, kelahiran Prancis yang mendapat hadiah Nobel. Beliau menulis dalam buku kenamaannya, Man the Unknown antara lain:
“Pengetahuan manusia tentang makhluk hidup dan manusia khususnya belum lagi mencapai kemajuan seperti yang telah dicapai dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan lainnya. Manusia adalah makhluk yang kompleks, sehingga tidaklah mudah untuk mendapatkan satu gambaran untuknya, tidak ada satu cara untuk memahami makhluk ini dalam keadaan secara utuh, maupun dalam bagian-bagiannya, tidak juga dalam memahami hubungannya dengan alam sekitarnya.”
Mulai dari ratusan atau ribuan tahun yang lalu, manusia dikonsepsikan beraneka ragam oleh para peneliti. Manusia menurut Ernt Cassirer (1944) adalah makhluk simbolis (man is an animal symbolicum). Dengan simbol-simbolnya itu, manusia mampu terbang lebih cepat dan lebih tinggi dari pada burung walau tidak bersayap. Mampu mengarung samudera walaupun tidak bisa berenang seperti ikan. Dan, mampu menembus ruang dan waktu walaupun dia bukan dewa.
Lalu bagaimana manusia di konseptualisasikan dalam al-Qur’an?
Kata manusia (al-Insan) berarti manusia terdiri atas beragam disposisi. Kadangkala menyerupai malaikat dan kadangkala menyerupai binatang melalui intelektual dan syahwatnya. Menurut Ar-Raghib al-Ashfahani, manusia itu tersusun dari sifat binatang dan malaikat. Kemiripannya dengan binatang adalah karena di dalam dirinya terdapat syahwat badani seperti makan, minum, dan seks. Selain itu, keserupaannya dengan sifat malaikat adalah karena di dalamnya terdapat dorongan-dorongan ruhaniah seperti hikmah, keadilan dan kebaikan.
Syahdan, dalam al-Qur’an paling tidak ada tiga kunci dasar untuk menjelaskan konsep tentang manusia. Ketiga kunci itu adalah basyar, al-insan, dan an-nas. Kata basyar digunakan dalam al-Qur’an untuk menjelaskan manusia dari segi sisi biologis, seperti firman-Nya kepada Nabi Muhammad untuk mengatakan bahwa, beliau adalah “basyar” seperti manusia pada umumnya, yang mempunyai hasrat, nafsu, makan, minum, berpasangan, dan lainnya. Hanya saja beliau diberikan wahyu atau mandat dari Allah untuk menyampaikan ajaran tauhid yaitu, mengesakan Tuhan.
Inilah yang membedakan beliau dari umatnya yang lain. Beliau diberikan wahyu dan yang lain membenarkan wahyu yang diterima beliau. Tetapi, dari sisi biologis sama dengan yang lain. Seperti firman-Nya:
قُلْ اِنَّمَاۤ اَنَاۡ بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوْحٰۤى اِلَيَّ اَنَّمَاۤ اِلٰهُكُمْ اِلٰـهٌ وَّاحِدٌ ۚ فَمَنْ كَانَ يَرْجُوْا لِقَآءَ رَبِّهٖ فَلْيَـعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًـاوَّلَايُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهٖۤ اَحَدًا
Artinya: “Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang telah menerima wahyu, bahwa sesungguhnya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa. Maka barang siapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya, maka hendaklah dia mengerjakan kebajikan dan janganlah dia menyekutukan dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (QS. Al-Kahf [18]: 110).
Atau seperti yang dikatakan oleh Maryam, ibunda Nabi Isa as. bahwa, beliau tidak mungkin punyak anak karena ia tidak pernah bersentuhan dengan basyar (seorang laki-laki), walaupun Allah dengan kekuasaan-Nya dapat menciptakan dari sesuatu yang sebelumnya tidak ada menjadi ada. Atau, tanpa menggunakan perantara apapun seperti, kebiasaan manusia pada umumnya, karena Allah Maha Kuasa. Ini sudah disitir dalam firman-Nya:
قَالَتْ رَبِّ اَنّٰى يَكُوْنُ لِيْ وَلَدٌ وَّلَمْ يَمْسَسْنِيْ بَشَرٌ ۗ قَالَ كَذٰلِكِ اللّٰهُ يَخْلُقُ مَا يَشَآءُ ۗ اِذَا قَضٰۤى اَمْرًا فَاِنَّمَا يَقُوْلُ لَهٗ كُنْ فَيَكُوْنُ
Artinya: “Dia (Maryam) berkata, Ya Tuhanku, bagaimana mungkin aku akan mempunyai anak, padahal tidak ada seorang laki-laki pun yang menyentuhku? Dia (Allah) berfirman, “Demikianlah Allah menciptakan apa yang Dia kehendaki. Apabila Dia hendak menetapkan sesuatu, Dia hanya berkata kepadanya, Jadilah! Maka jadilah sesuatu itu.” (QS. Ali Imran [3]: 47).
Kata insan lebih mengarah pada segi sisi psikologis manusia seperti, di kala dia mendapat kasih sayang dia merasa senang, tetapi di kala dia dicaci di benci. Maka, dalam makna inilah manusia atau insan itu di berikan tanggung jawab sebagai Khalifah, mendapat amanah atau diperintahkan untuk beribadah seperti shalat. Dan, yang lain karena insan dalam hal ini tidak labil dan insan diciptakan dalam keadaan lemah. Firman Allah:
يُرِيْدُ اللّٰهُ اَنْ يُّخَفِّفَ عَنْكُمْ ۚ وَخُلِقَ الْاِنْسَانُ ضَعِيْفًا
Artinya: “Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, karena manusia diciptakan (bersifat) lemah.” (QS. An-Nisa’ [4]: 28).
Di karenakan manusia mempunyai sifat yang lemah, maka Allah memberikan keringanan dalam memikul tanggung jawab seperti, mengerjakan haji hanya boleh bagi mereka yang mampu secara fisik, psikis, dan mempunyai modal. Dalam hal perintah untuk melakukan shalat juga karena manusia mempunyai sifat gelisah dan tergesa-gesa (Al-Ma’arij [70]: 19-23).
Kata kunci yang ketiga adalah an-nas, yang mengacu pada manusia sebagai makhluk sosial. Banyak konsep an-nas yang dikemukakan al-Qur’an. Salah satu contohnya adalah, kewajiban manusia untuk mengenal dan berbuat baik pada yang lain, serta saling menghargai karena sudah menjadi kodrat-Nya. Bahwa an-nas diciptakan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa. Allah berfirman:
يٰۤاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوْا ۗ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَاللّٰهِ اَتْقٰٮكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
Artinya: “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.” (QS. Al-Hujurat [49]: 13).
Disamping itu juga, telah menjadi bukti sejarah bahwa Nabi Muhammad diutus kepada manusia tanpa terkecuali dengan membawa panji kebenaran dari Tuhan.
يٰۤـاَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَآءَكُمُ الرَّسُوْلُ بِالْحَـقِّ مِنْ رَّبِّكُمْ فَاٰمِنُوْا خَيْرًا لَّـكُمْ ۗ وَاِنْ تَكْفُرُوْا فَاِنَّ لِلّٰهِ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ ۗ وَكَانَ اللّٰهُ عَلِيْمًا حَكِيْمًا
Artinya: “Wahai manusia! Sungguh, telah datang Rasul (Muhammad) kepadamu dengan (membawa) kebenaran dari Tuhanmu, maka berimanlah (kepada-Nya), itu lebih baik bagimu. Dan jika kamu kafir, (itu tidak merugikan Allah sedikit pun) karena sesungguhnya milik Allah-lah apa yang di langit dan di bumi. Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana.” (QS. An-Nisa’ [4]: 170).
Dari sini sudah jelas bahwa, manusia tidak hanya terdiri dari unsur-unsur materi, tapi juga terdiri dari unsur ilahi. Terdiri dari unsur materi karena manusia diciptakan dari tanah, seperti firmannya:
وَاِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلٰٓئِكَةِ اِنِّيْ خَالـِقٌۢ بَشَرًا مِّنْ صَلْصَالٍ مِّنْ حَمَاٍ مَّسْنُوْنٍ
Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, Sungguh, Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering dari lumpur hitam yang diberi bentuk.” (QS. Al-Hijr [15]: 28).
Di dalam diri manusia terdapat unsur ilahi juga di sebutkan dalam firman-Nya:
الَّذِيْۤ اَحْسَنَ كُلَّ شَيْءٍ خَلَقَهٗ وَبَدَاَ خَلْقَ الْاِنْسَانِ مِنْ طِيْنٍ. ثُمَّ جَعَلَ نَسْلَهٗ مِنْ سُلٰلَةٍ مِّنْ مَّآءٍ مَّهِيْنٍ. ثُمَّ سَوّٰٮهُ وَنَفَخَ فِيْهِ مِنْ رُّوْحِهٖ وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْاَبْصَارَ وَالْاَفْــئِدَةَ ۗ قَلِيْلًا مَّا تَشْكُرُوْنَ
Artinya: “Yang membuat segala sesuatu yang di ciptakan sebaik-baiknya dan yang memulai penciptaan manusia/insan dari tanah. Kemudian dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina. Kemudian dia menyempurnakan dan meniupkan kedalamnya roh (ciptaan)-Nya dan dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.” (QS. As. Sajadah [32]: 7-9).
Apa yang di tulis Jalaluddin Rakhmat menarik sebenarnya untuk dikemukakan bahwa, manusia sebagai basyar berkaitan dengan unsur material, yang dilambangkan manusia dengan unsur tanah. Pada keadaan itu, manusia secara otomatis tunduk kepada takdir Allah di alam semesta, sama taatnya seperti matahari, hewan dan tumbuh-tumbuhan. Ia dengan sendirinya musayyar.
Namun, manusia sebagai insan dan an-nas bertalian dengan unsur hembusan Ilahi. Kepadanya dikenakan aturan-aturan, tapi ia diberikan kekuatan untuk tunduk atau melepaskan diri dari padanya. Ia menjadi makhluk yang mukhayyar. Ia menyerap sifat-sifat rabbaniah menurut ungkapan Ibn Arabi, seperti sama’, bashar, kalam, dan qadar. Ia mengemban wilayah Ilahiah. Karena itu, selain ia di tuntut untuk bertanggung jawab, juga berbuat baik yang tidak hanya bagi manusia, tapi juga bagi makhluk lain seperti, binatang dan lainnya. Wallahu a’lam bisshawaab.