Pada hari Minggu, 23 Februari 2020, terjadi kericuhan di pinggiran kota New Delhi, India yang melibatkan masyarakat Muslim dan Hindu di sana. Kericuhan yang diawali adanya demonstrasi sejumlah massa muslim India menolok disahkannya UU kewarganegaraan yang dianggap diskriminatif pada umat Muslim India.
Demonstrasi ini berubah bentrokkan di mana kedua kubu, kelompok muslim dan kelompok nasionalis Hindu konservatif, terlibat aksi saling lempar batu. Kericuhan ini berlangsung pada hari-hari berikutnya dan berubah menjadi konflik sektraian.
Dilansir dari Kompas.com (2/3/2020) hingga kini 42 orang menjadi korban jiwa dan ratusan lainnya luka-luka, baik dari masyarakat sipil maupun aparat keamanan. Tak pelak masyarakat dunia bereaksi keras atas peristiwa ini, termasuk masyarakat Muslim di indonesia.
Undang-Undang Kewarganegaran atau CAA (Citizenship Amandment Act) adalah UU hasil amandemen yang mengatur pengurusan perpindahan kewarganegaran bagi para imigran di India.
Yang menjadi permasalahan dari amandemen ini adalah adanya ketentuan bahwa para imigran dari Pakistan, Bangladesh dan Afghanistan yang beragama Hindu, Budha, Sikh Jainisme dan kepercayaan lainnya (minus Islam), diberikan kemudahan untuk mengurus perpindahan kewarganegaran menjadi warga negara India. UU ini dinilai diksrimintaif karena mengecualikan para imigran muslim.
Pemerintahn India sendiri berdalih bahwa amandemen ini memang ditujukan bagi para imgran minoritas (agama) yang mengalami persekusi atau katakanlah penindasan di negara asalnya, yang menariknya ketiga negara tersebut notabene merupakan negara Islam berpenduduk mayoritas muslim.
Gelombang protes tidak hanya datang dari masyarakat muslim India, tapi juga kelompok partai oposisi pemerintah. Pihak-pihak yang kontra melihat kehadiran UU ini sebagai upaya medelegitimasi keberadaan muslim India yang dianggap mencederai prinsip persamaan hukum yang berlaku di india.
Bahkan keluarnya UU ini dinilai sebagai salah satu langkah pemerintahan PM Narendra Modi dari Partai Nasionalis Hindu Bharatiya Janata (BJP) untuk mengubah India dari negara demokrasi sekuler menjadi negara teokrasi Hindu sebagaimana didukung oleh sejumlah kelompok Hindu konservatif.
Di luar India, masyarakat dunia turut mengecam peristiwa berdarah di india ini, tak terkecuali masyarakat Indonesia. Ketika anda berselancar di dunia maya maka anda akan dengan mudah menemukan adanya narasi yang coba diangkat oleh sebagian kelompok Islam di Indonesia, bahwa umat Islam di dunia tengah mengalami ketertindasan yang kemudian diikuti seruan untuk melakukan aksi demontrasi (yang rencana akan dilaksanakan besok Jumat di depan keduatan besar India di Jakarta) serta gerakan boikot produk India.
Mereka menggunakan contoh diskriminasi di India (dan isu-isu lainnya) sebagai generalisasi bahwa umat Islam tengah terdeprivasi secara global. Benarkah demikian? Saya rasa terlalu hiperbola jika mengangap bahwa umat Islam secara global, namun bukan berarti diksriminasi atas muslim di dunia tidak ada.
Hanya saja yang saya coba garis bawahi dari kampanye narasi tersebut sebagaimana didengungkan oleh sebagian kelompok Islamis di Indonesia justru diarahkan sebagi upaya menggalang massa guna mengkampanyekan gagasan Islam trans nasionalnya.
Beberapa aksi demontrasi yang dilakukan oleh sejumlah kelompok Islamis seperti PA 212 dan alisannya, misalnya, beberapa waktu lalu di Jakarta atau sebuah pawai khilafah baru-baru ini di Malioboro Yogyakarta (3/3/2020) kala menganggapi isu-isu nasional ataupun global nyatanya memiliki indikasi dan bahkan secara terang-terangan jelas ditungani atau memang sengaja ditunggangi kampanye agenda politik pragmatis meraka.
Dalam sejumlah aksi mereka indikasi muatan agenda politik pragmatis dapat kita lihat dari banyaknya poster dan pamflet bernada profokatif dan propaganda khilafah mereka (yang biasanya disertai seruan untuk melengserkan pemerintah dalam negeri).
Solidaritas masyarakat sipil coba mereka peroleh dengan mengkapitalisasi isu bahwa umat Islam tertindas lewat contoh kasus diksriminasi muslim India di atas serta isu-isu lainnya. Berdasarkan penelitian dari Wahid Foundation, perasaan terdeprivasi dan teralinasi di berbagai bidang kehidupan dapat menjadi salah satu pemicu timbulnya sikap intoleran dan ektremisme beragama, dan inilah gejala yang tampak dilakukan sejumlah kelompok Islamis tersebut.
Masyarakat awam yang memiliki tingkat literasi rendah sangat rawan untuk dimanfaatkan oleh kepentingan sejumlah pihak dengan dalih membela ukhuwah Islam, tanpa mereka benar-benar memahami duduk perkara konflik di India tersebut. Sedikit provokasi dapat merubah empati dan kegeraman publik menjadi produksi kebencian.
Kita mengecam tindakan diskriminatif pemerintah India, ya, tapi sikap solidaritas keagamaan tidak selayaknya diwujudkan dalam bentuk tindakan yang mengobarkan kebencian dan permusuhan serta hoax yang dapat menyesatkan opini masyarakat.
Sikap reaktif yang relatif “ekstrim dan radikal” dengan aksi yang justru mengumbar narasi kebencian –yang tidak jelas diarahkan kepada siapa– justru membuat aksi yang dilaksanakan seperti tidak ada bedanya dengan sikap pemerintah dan kelompok Hindu konservatif di India.
Sekalipun dalam konsepsi bernegara Indonesia tak ada lagi mayoritas dan minoritas karena semua warga negara sama di mata hukum, sebagai realitas sosial muslim menjadi kelompok mayoritas di negeri ini, berbanding terbalik dengan muslim di India.
Maka jika kita berkaca dari konflik keagamaan di India harusnya menjadi auto kritik bagi kelompok mayoritas di negeri ini, khususnya pemerintah, mampukah menjadi pengayom dan bukannya penindas bagi kelompok minoritas di tengah kemajemukan yang ada.
Tentunya menjadi paradoks kalau Muslim Indonesia mengecam diskriminasi minoritas muslim di luar negeri, tapi di dalam negeri dengan sengaja ataupun tidak, kita justru kerap dengan mudahnya bersikap intoleran dan diskriminatif dengan kelompok liyan, baik yang berbeda agama, maupun yang berbeda paham dengan kelompok agama kita.
Kondisi keberagaman yang ada di negeri justru harus kita jadikan sebagai elemen pemersatu dan bukannya sebaliknnya. Dan itu semua dimulai dengan upaya saling memahami dan saling percaya sehingga tiap elemen warga negara saling melindungi-mengayomi satu sama lain tanpa memandang latar belakang etnis keagamaannya.
Gesekan keagamaan memang dapat terjadi kapan pun sekalipun telah kita cegah. Namun kala itu terjadi maka kita harus mengedepankan upaya-upaya solutif, dengan mengedepankan dialog satu sama lain, ketimbang baku hantam untuk menyelesaikan permasalahan yang ada.