Rabu, Mei 28, 2025

Konflik India-Pakistan: Belajar dari Ketegangan Diplomatik KAA

Muhammad Rizalul Umam
Muhammad Rizalul Umam
Pecinta sejarah
- Advertisement -

Ketegangan antara India dan Pakistan kembali memanas dalam beberapa bulan terakhir. Isu klasik soal Kashmir kembali mencuat, disertai saling tuding soal pelanggaran batas dan manuver militer di wilayah perbatasan. Tapi jika kita menoleh ke belakang, sejarah pernah mencatat satu momen diplomasi yang nyaris gagal karena ego kedua negara ini: Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung tahun 1955.

Ya, di balik sorotan dunia terhadap semangat solidaritas antarkawasan Asia-Afrika, ada ketegangan tajam yang nyaris menggagalkan segalanya. Pemeran utamanya? Perdana Menteri India, Jawaharlal Nehru, dan Perdana Menteri Pakistan, Mohammad Ali.

Ketegangan di Ciumbuleuit

KAA 1955 digelar di tengah harapan besar negara-negara baru merdeka untuk bersatu melawan kolonialisme. Tapi di balik layar, suasana sempat memanas. Mohammad Ali dari Pakistan merasa dipinggirkan setelah tahu bahwa sesi pidato pembukaan dihapuskan dalam pertemuan informal pagi hari yang tak ia ikuti.

Ali langsung protes keras dalam pertemuan di rumah dinas PM Ali Sastroamidjojo. Ia merasa Pakistan, sebagai salah satu negara sponsor, tak dihargai. Suasana berubah tegang. Tapi Ali Sastroamidjojo turun tangan. Ia meredakan situasi dengan diplomasi tenang. Akhirnya, semua sepakat mengembalikan sesi pidato seperti semula.

Diplomasi yang nyaris gagal ini berhasil diselamatkan. Konferensi tetap berjalan dan menjadi tonggak sejarah. Tapi insiden itu jadi pengingat: konflik antarnegara bisa meledak kapan saja, bahkan dalam forum damai.

Konflik Abadi di Kashmir

Lompat ke masa kini, India dan Pakistan masih saling berhadap-hadapan. Akar konfliknya tetap sama: wilayah Kashmir yang disengketakan. Sejak 1947, tiga perang besar telah terjadi antara keduanya. Ketegangan terbaru terjadi setelah India mencabut status otonomi Kashmir pada 2019. Pakistan mengecam keras langkah itu.

Menurut Happymon Jacob, pakar hubungan internasional dari Jawaharlal Nehru University, Kashmir bukan lagi sekadar sengketa wilayah. “Ini soal ego nasional dan identitas politik. Selama dua hal itu masih dipolitisasi, perdamaian sulit tercapai,” katanya seperti dikutip dari The Hindu.

Masalah ini bukan hanya ancaman lokal. India dan Pakistan adalah negara nuklir. Artinya, setiap ketegangan punya risiko global.

Politik, Identitas, dan Ego Nasional

Narendra Modi di India mengusung nasionalisme Hindu yang memperuncing ketegangan dengan komunitas Muslim, termasuk di Kashmir. Sementara di Pakistan, isu Kashmir jadi bahan kampanye politik tiap kali pemilu datang. Kedua pihak bermain identitas.

Sejarawan Ayesha Jalal menyebut, “Kashmir jadi simbol nasionalisme di kedua negara. Ketika simbol ini disentuh, emosi rakyat ikut terbakar.”

- Advertisement -

Bandingkan dengan 1955. Saat Mohammad Ali merasa dilecehkan, ia tetap mau bicara. Diplomasi masih punya ruang. Sekarang? Dialog seperti jadi barang langka.

Nuklir, Serangan Udara, dan Balas Dendam

Krisis Pulwama-Balakot pada 2019 adalah contoh terbaru betapa cepat konflik bisa memanas. Setelah 40 tentara India tewas dalam serangan bom, India menyerang kamp militan di Pakistan. Pakistan membalas dengan menembak jatuh jet tempur India dan menangkap pilotnya.

Dunia menahan napas. Ketegangan ini bisa saja meletus jadi perang besar.

“India dan Pakistan hidup dalam bayang-bayang konflik. Tapi mereka juga terjebak dalam kebiasaan tak mau saling dengar,” kata analis keamanan C. Christine Fair dari Georgetown University.

Masih Adakah Ruang Dialog?

Saat dunia multipolar seperti sekarang, siapa yang bisa jadi penengah? Amerika? Sudah kehilangan pengaruh. China? Punya kepentingan sendiri. PBB? Banyak dianggap tak punya taji.

Tapi negara netral seperti Indonesia bisa ambil peran. Kita punya sejarah. KAA jadi bukti bahwa inisiatif dari Selatan bisa membawa perubahan.

“Indonesia pernah jadi jembatan diplomasi Asia-Afrika. Kita masih punya modal untuk itu,” kata Hikmahanto Juwana, pakar hukum internasional UI.

Semangat Bandung Masih Relevan?

Pelajaran dari KAA jelas: komunikasi bisa menyelamatkan dunia. Ego nasional harus bisa dikendalikan. Kalau dulu Mohammad Ali dan Nehru bisa duduk bersama meski bersitegang, kenapa sekarang tidak?

Konflik India-Pakistan tidak akan selesai kalau kedua pihak terus mengedepankan harga diri tanpa ruang kompromi. Dunia juga tak bisa terus menonton.

Dalam buku harian sejarah dunia, KAA di Bandung mungkin cuma satu bab kecil. Tapi bab itu mengajarkan bahwa diplomasi, jika dilakukan dengan kepala dingin, bisa menyelamatkan dunia dari bencana.

Kesimpulan

India dan Pakistan butuh lebih dari sekadar gencatan senjata. Mereka butuh keberanian politik untuk kembali berdialog. Dan mungkin, dunia juga butuh satu lagi “Ali Sastroamidjojo”—pemimpin yang lebih memilih tenang ketimbang membalas keras.

Kalau dulu Bandung bisa jadi tempat menyatukan dua rival, mungkin sekarang saatnya kita menghidupkan kembali semangat itu. Dunia tidak butuh lagi panggung konfrontasi, tapi panggung kerja sama.

Muhammad Rizalul Umam
Muhammad Rizalul Umam
Pecinta sejarah
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.