Hari-hari menjelang pendaftaran resmi calon kapala daerah baik provinsi maupun kabupaten kota berlangsung penuh gejolak, dengan banyak drama yang dimainkan oleh elite dan partai politik di kancah politik tanah air.
Arah drama ini menimbulkan beragam reaksi dari penonton yang bingung bagaimana akhir ceritanya. Pengamat, cendekiawan, politisi, media, bahkan netizen mencoba menjelaskan kepribadian masing-masing aktor yang memerankan adegan di setiap episodenya yang sepertinya belum selesai.
Jika diklasifikasi, jenis-jenis reaksi masyarakat dapat dibedakan menjadi tiga kelompok.
Pertama, reaksi positif, yaitu mereka yang melihat manuver para aktor politik (khususnya Presiden Jokowi) sebagai sebuah strategi dengan tujuan mulia menyelamatkan NKRI.
Kedua, reaksi negatif, yaitu mereka yang melihat akrobatik politik Jokowi dan keluarga hanya sebagai bukti kekuasaan dan ambisi dinasti yang haus kekuasaan.
Ketiga, kelompok yang netral atau menunggu dan melihat. Segala akrobatik politik yang ditampilkan di kancah politik akhir-akhir ini tidak akan mudah, sehingga diharapkan penampilan luar biasa ini akan terus berlanjut di episode berikutnya.
Di tengah beragam reaksi di atas, ada satu hal yang dilupakan masyarakat, yaitu betapa khasnya budaya aksi politik masyarakat desa.
Memahami budaya politik masyarakat desa sangatlah penting. Sebab segala manuver politik pada akhirnya diputuskan di bilik suara oleh pemegang kedaulatan sesungguhnya dalam sistem demokrasi yaitu rakyat.
Jika menyangkut komposisi pemilih di Indonesia, maka desalah yang mempunyai suara terbanyak, sehingga sangat penting untuk mempertimbangkan preferensi politik dan budaya masyarakat desa.
Desa dengan segala pranata sosialnya merupakan variabel independen bersama dengan variabel lain seperti umur, agama, jenis kelamin, dan partai politik.
Di tengah hiruk pikuk pemberitaan media massa, baik mainstream maupun emerging, tidak selalu mungkin untuk memprovokasi masyarakat pedesaan untuk mengikuti irama yang diinginkan para pemangku kepentingan politik yang menetapkan agenda.
Jika masyarakat perkotaan mudah tergugah dan terbawa oleh ritme akrobatik politik, tidak demikian halnya dengan masyarakat pedesaan yang tinggal di pedesaan. Media televisi sebenarnya dipasang di ruang-ruang utama rumah warga, dan setelah Maghrib, warga desa menghabiskan waktu luangnya bersama keluarga di depan TV setelah seharian bekerja di sawah atau bersama keluarga. keluarga mereka.
Jenis acara di TV bermacam-macam, mulai dari sinetron, dandutan, kuis, gosip selebriti, hingga berita. Masyarakat desa sadar bahwa apa yang mereka lihat di layar televisi adalah tontonan, semacam hiburan, ibarat panggung ketprak yang mementaskan cerita-cerita yang tidak ada dalam kenyataan. Itu hanya drama, hiburan, dan simulacra.
Kesadaran akan Ilusi Media
Masyarakat desa sangat menyadari realitas media massa ini. Meskipun remote TV Anda tiba-tiba mengklik saluran yang menyediakan informasi singkat tentang berita politik dan acara bincang-bincang seperti ILC, Mata Najwa, Aiman, dll.
Setelah layar menyala, segera atur remote control ke saluran yang menayangkan sinetron, dandutan, kuis, olah raga, dll.
Kalaupun sesekali menonton berita dan diskusi tentang politik, tingkat kebenarannya sebanding dengan acara hiburan lain seperti sinetron yang bercerita tentang cinta kecil, ilmu kebatinan, dan karma.
Sikap pemirsa televisi di pedesaan yang rendah hati dan cuek dalam menonton berita politik, bukan karena mereka cuek, buta huruf, atau kurang cerdas, melainkan karena mereka Ini semua tentang kebijaksanaan dan kecerdasan sejati (bukan AI).
Kenyataan yang sangat mereka butuhkan dalam hidup. Realitas media adalah ilusi yang terkait erat dengan dunia bingkai, dramaturgi, dan penipuan demi kepentingan elit politik, dan mungkin juga demi kepentingan industri media itu sendiri.
Jika kadang-kadang ada masyarakat desa yang kritis terhadap diri sendiri atau sangat tertarik untuk menafsirkan sesuatu dari sudut pandang politik, maka biasanya mereka adalah kelas menengah desa atau orang yang mencari nafkah sendiri.
Itu tidak berasal dari lingkungan alam desa. Orang-orang ini bahkan disebut “Malaikat Wong” karena umumnya tidak ada bandingannya dengan penduduk desa.
“Won angel” adalah stigma negatif yang digunakan untuk memberi label pada orang-orang yang memelihara hubungan sosial yang eksklusif dan kompleks dalam sistem komunitas pedesaan.
Kegaduhan politik di media massa atau kegembiraan masyarakat perkotaan tidak akan menggoyahkan preferensi politik dan budaya yang sudah mengakar.
Kadang-kadang ada kegembiraan di desa, tetapi di sini juga semuanya diukur berdasarkan preferensi nilai-nilai desa. Biarlah para calon mengucapkan janji-janji manis dan biarkan angin surga bertiup.
Namun kenyataan hidup yang sebenarnya akan ada yang menilainya. Kenyataan sebenarnya adalah bagaimana warga desa membangun hubungan saling percaya, hidup bertetangga, bergelut di sawah, dan menafkahi keluarga.
Orang-orang desa mampu mengukur dengan presisi tinggi dan akurat atas akrobat politik para elit dan polah tingkah orang kota dengan ketajaman mata batinnya yang diseimbangkan dengan lingkungan desa dan realitas hidup sehari-hari.
Ketika masa pencoblosan itu tiba tidak usah khawatir bahwa drama-drama politik yang selama ini dipertontonkan dan foto narsis politisi di baliho-baliho pinggir jalan akan mampu menggoyahkan hati nurani warga desa.
Dalam perilaku politik warga desa memiliki preferensi yang otonom dan seimbang. Pilihan politik akan didialektikkan dengan mata batinnya, realitas nyata kehidupan sehari-hari, lingkungan hidup, dan bahkan setiap tetes air yang diminum dan sebutir nasi yang ditelan.
Kalaupun toh nanti Pemilu pada akhirnya terpilih pemimpin yang tidak tepat, tidak usah khawatir, bagi orang desa hal itu bukanlah kiamat yang mengakhiri kehidupan.
Warga desa akan tetap eksis dan bertahan dengan caranya sendiri, sebab negara adalah bagian dari desa, dan bukan sebaliknya.
Otonomi orang desa inilah yang sudah terbukti berabad-abad mampu menggagalkan ekspansi peradaban India meng-Hindu-kan nusantara, Tiongkok gagal men-China-kan nusantara, peradaban Islam gagal meng-Arab-kan umat Islam nusantara, dan peradaban Barat gagal meng-Eropa-kan Indonesia.