Seminggu lalu saya mendengar kabar Indonesia menempati peringkat kedua tertinggi negara dengan jumlah publikasi di jurnal internasional abal-abal di dunia. Saya kira, hasil riset Macháček & Srholec yang dirilis Springer itu sudah cukup mematahkan hati saya. Namun ternyata, pesan singkat dari seorang murid yang saya terima beberapa hari setelahnya jauh lebih menggelisahkan.
“Jadi saya nemu info lomba ini Miss, lumayan banget sertifikatnya taraf internasional. Bisa nambahin poin banget kalo dipake buat daftar SNMPTN,” begitu bunyi pesan yang masuk ke ponsel saya.
Sebagai bagian tim yang bertanggung jawab dalam pengembangan minat bakat siswa, selama pandemi ini saya sering menerima pesan serupa. Banyak kompetisi daring, baik akademik maupun non-akademik, dari yang gratis, murah, hingga yang agak mahal, yang bisa diikuti siswa setelah pengajuannya disetujui sekolah. Dan seperti biasa, saya akan melihat detail perlombaan lebih lanjut sebelum mendelegasikan siswa.
Saat mempelajari detail lomba pada situs penyelenggara yang kemudian dibagikan siswa saya tadi, jiwa skeptis saya berontak. Ada begitu banyak kejanggalan yang membuat saya mempertanyakan kredibilitas kompetisi yang sertifikatnya “diklaim” bisa menambah poin portfolio seleksi masuk berbagai perguruan tinggi ini.
“Olimpiade Internasional” Abal-Abal
Tak seperti lomba-lomba umumnya, kegiatan bertajuk kualifikasi olimpiade sains internasional yang uniknya 70 persen soalnya dalam Bahasa Indonesia ini hanya dipublikasikan melalui sebuah google site. Konsep pembayarannya pun sudah seperti orang jualan. Beli 1 tiket bayar 200 ribu rupiah. Bayar lebih awal, harga turun jadi 100 ribu. Beli 5 tiket cukup 400 ribu saja alias 80 ribu per orang.
Karena curiga, saya lalu menggunakan mesin pencari dan menelusur satu-satu. Mulai dari nama kegiatan, hingga identitas penyelenggaranya. Hasilnya? Nihil. Tak satupun hasil pencarian relevan.
Aneh sekali.
Menariknya, event ini konon diselenggarakan tiap tahun. Bahkan direkomendasikan oleh seorang influencer dengan ratusan ribu pengikut di media sosial -kebanyakan siswa SMA yang sedang mencari kampus terbaik. Siswa saya, seperti ribuan lainnya, tergiur untuk ikut serta dan mendapatkan sertifikat yang diklaim qualified itu.
Prestasi Artifisial dan Kapitalisasi Pendidikan yang Kian Meresahkan
Apresiasi berupa poin tambahan bagi mereka yang memiliki prestasi istimewa sudah jadi tradisi dalam setiap seleksi masuk di semua jenjang pendidikan di Indonesia, dari tingkat dasar, menengah, hingga perguruan tinggi. Apresiasi semacam ini tentu bermaksud baik. Selain menjaring bibit unggul yang dipercaya dapat menjamin mutu pendidikan di masing-masing institusi, ia merupakan bentuk penghargaan atas kemampuan dan kerja keras siswa, yang diharapkan menjadi pemicu motivasi untuk terus berprestasi.
Namun, fenomena yang terjadi belakangan menunjukkan pergeseran pemaknaan “prestasi”, yang membuat kita perlu mempertanyakan kembali esensi “kompetisi” dalam dunia pendidikan kita.
Sudah jadi rahasia umum bahwa demi menembus perguruan tinggi ternama melalui jalur undangan, tak sedikit sekolah yang kemudian menyiasatinya dengan “menaikkan” Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM), yang berujung pada praktik “katrol” nilai untuk mencapai KKM yang tinggi itu. Hasilnya tentu saja nilai-nilai cemerlang yang tak selalu merefleksikan kompetensi siswa sebenarnya.
Yang lebih parah, beberapa siswa, bahkan sekolah berani melakukan mark up nilai demi menembus berbagai PTN favorit. Catatan kecurangan SNMPTN yang dilakukan pihak sekolah dari tahun ke tahun (Kompas, 2012; Republika, 2018; Harian Nasional, 2019) tentu memprihatinkan, terlebih mengingat pelakunya justru sekolah. Sebagai lembaga pendidikan, sekolah seharusnya “mampu membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa”, sebagaimana amanat UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003. Lantas, watak dan peradaban macam apa yang ingin dibentuk dengan praktik penghalalan segala cara demi mencapai tujuan seperti itu?
Lalu kini, di saat lembaga tes seleksi mulai melakukan banyak pembenahan dan memperketat sistem seleksi demi meminimalisir kecurangan, potensi masalah baru muncul: sertifikat internasional abal-abal.
Poin tambahan dari sejumlah portfolio prestasi siswa selama ini digadang-gadang mampu menambah nilai yang akan mengantarkan siswa pada kursi kampus favorit. Tentu, tak semua siswa berhasil mencetak sekian banyak prestasi cemerlang. Tak semua siswa juara olimpiade maupun ajang bergengsi baik di level nasional maupun internasional. Padahal, hampir semua siswa ingin mengamankan kursi di kampus favoritnya.
Maka muncullah para pelaku bisnis baru, menawarkan “Olimpiade Internasional”. Siapa saja bisa mendaftar, harga relatif terjangkau, dan sertifikatnya terbit tepat sebelum batas pendaftaran SNMPTN ditutup. Win-win solution, bukan? Bagi para siswa yang sedang gamang mencari kursi, juga bagi mereka yang siap meraup keuntungan dengan memanfaatkan kegamangan anak-anak polos ini.
Jika fenomena banyaknya publikasi peneliti Indonesia yang masuk dalam list Macháček & Srholec menunjukkan adanya tantangan kampus dalam peningkatan kualitas publikasi dengan tetap mengindahkan etika akademik agar tidak lalu terjebak pada reputasi internasional abal-abal, kini kita disambut tantangan baru yakni menyambut para calon mahasiswa berprestasi yang sebagian dalam bayang-bayang prestasi artifisial, akibat praktik-praktik bisnis tak beretika dan pemaknaan prestasi yang keliru dalam pendidikan.
Banyak orang melihat kehidupan sebagai kompetisi. “Life is a race.”
Untuk memperoleh penghidupan layak, orang sibuk bersaing mencari pekerjaan yang dipandang layak. Demi bisa memenuhi kualifikasi agar diterima di tempat kerja yang layak, orang berlomba kuliah di kampus-kampus terbaik. Demi bisa meraih satu kursi di kampus terbaik itu, mereka berlomba mencetak prestasi sebanyak-banyaknya, mencari nilai setinggi-tingginya. Dan tak jarang, semua diraih dengan menghalalkan segala cara. Menyontek, manipulasi nilai, pemalsuan ijazah, bahkan “membeli” pengakuan dan reputasi internasional, meski ternyata abal-abal.
But education isn’t supposed to be a race.
Pendidikan seharusnya tidak menjadi ajang kompetisi pembuktian siapa yang lebih baik. Pendidikan seharusnya mengantarkan peserta didik menemukan potensi terbaiknya dengan melihat ke dalam dirinya. Dan terkadang itu jauh dari riuh tepuk tangan, kilauan medali, atau deretan piala.
Maka ketika mendapati siswa saya akhirnya rela kehilangan kesempatan mendapatkan “sertifikat internasional”-nya karena memahami bahwa praktik semacam itu tidaklah dapat dibenarkan menurut etika, saya bahagia. Yang demikian itu, buat saya sebagai guru, adalah prestasi yang sesungguhnya.