Jiang Kai dalam bukunya “The Origin and Consequences of Excess Competition in Education: A Mainland Chinese Perspective”, mengatakan bahwa pendidikan saat ini identik dengan kompetisi, karena kompetisi merupakan kunci sebuah eksistensi.
Kompetisi bersifat universal, luas dan merambah banyak bidang, termasuk di dalamnya pendidikan. Hampir pada setiap program kerja sekolah diarahkan pada iklim kompetisi dalam beragam kemasaan dan penamaan. Kompetisi menjadi semakin massif terjadi pada pendidikan di level bawah layaknya Taman Kanak-Kanak dan Sekolah Dasar.
Kompetisi dinilai sebagai upaya merangsang siswa dan lingkungan pendidikan untuk menghasilkan tujuan pendidikan yang berkualitas dan berkinerja. Kompetensi dan kinerja seseorang seringkali dilihat dari pencapaian dalam bidang tertentu.
Pemenang dalam sebuah kompetensi, dapat diartikan berkualitas dan memiliki kompetensi dalam bidang tersebut. Padahal, Alfie Kohn dalam bukunya “No Contest : The Case Against Competition (Why We Lose in Our Race To win)” menegaskan bahwa tidak ada korelasi positif antara kemenangan seseorang dalam kompetisi dan kualitas kinerjanya.
Kompetisi sesungguhnya merupakan budaya positif yang bila diarahkan dapat melatih mental dan kepercayaan diri siswa untuk menunjukkan kemampuannya secara optimal di hadapan khalayak. Tetapi dalam perkembangannya, kompetensi bergerak ke arah ekstrim yang dalam dunia pendidikan menurut Kohn mendapat perhatian lebih dibandingkan membangun budaya koordinasi/kerjasama pada level sekolah.
Kompetisi dalam dunia pendidikan yang berkembang pesat dan tidak terkendali, berdampak buruk pada pembangunan mental dan fisik siswa karena sekadar mengarahkan siswa pada target pemenuhan skor dan peringkat semata.
Keberadaan nilai rata-rata kelas, Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM), dan beragam skor yang menjadi indikator pemeringkatan kemampuan siswa layaknya Programme for International Student Assessment (PISA), Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) dan sejenisnya, misalnya menunjukkan betapa digdayanya skor/nilai akhir sebagai sebuah target pencapaian keluaran sistem bernama pendidikan. Proses pendidikan dalam mencapai nilai-nilai akhir tersebut seperti luput dari perhatian.
Saya sepakat dengan Zulfikri Anas dalam bukunya, “Kurikulum untuk Kehidupan”, bahwa kompetensi dalam pendidikan, sesungguhnya menutup kesempatan siswa yang gagal mendapatkan tempat terbaik dalam proses pembelajaran untuk memiliki hak dan peran yang sama dalam peningkatan kapasistas diri sebagai pembelajar.
Menciptakan dikotomi antara siswa unggul dan siswa dengan prestasi “apa adanya”, sesungguhnya merupakan upaya pembatasan ruang siswa untuk saling mengisi, menyempurnakan dan merfleksikan kekurangan dan kelebihan diri sebagai pembelajar. Siswa berprestasi kemudian menjadi semakin digdaya pada pencapaiannya dengan dihadiahi fasilitas serta layanan pendidikan yang baik dan berkualitas.
Sedangkan siswa yang berada pada kuadran tidak berprestasi, secara sistemik akan selalu berada di lingkungan yang sama, sekolah biasa dengan fasilitas yang (sangat) apa adanya. Laporan Analytical Capacity Development Partnership (ACDP) tahun 2015 menemukan kenyataan bahwa kriteria yang dilekatkan kepada sekolah memberikan pengaruh pada layanan dan fasilitas pendidikan yang diberikan sekolah kepada siswanya.
“Sekolah Maju” di Indonesia menawarkan kegiatan kelompok belajar sains lebih banyak dibandingkan sekolah-sekolah yang kurang beruntung. Sebanyak 75% siswa di “Sekolah Maju” diberikan kesempatan meningkatkan kemampuannya di bidang Sains, yang di sekolah kurang beruntung, kesempatan tersebut hanya diberikan kepada 29% siswanya.
Saya meyakini bahwa kolaborasi lebih dibutuhkan oleh bangsa ini. Kajian psikologi yang dilakukan Kohn menemukan bahwa anak-anak akan belajar lebih baik ketika berada dalam lingkungan yang kolaboratif dibandingkan kompetitif.
Kolaborasi mengajarkan pentingnya kehadiran orang lain, dan tidak sekadar fokus pada keunggulan yang dimiliki oleh dirinya sendiri. Budaya kolaborasi penting untuk dibangun di tengah-tengan sifat arogan yang lahir dari dampak negatif sistem kompetisi yang telah terlanjur membudaya.
Pendidikan kita butuh lebih banyak kolaborator yang sanggup hidup berdampingan, menghargai kekurangan dan kelebihan orang lain, mengisi kekosongan dan ketidakseimbangan, serta bekerja bersama dalam mekanisme yang terkoordinasi. Harus diakui bahwa pendidikan kita saat ini terjebak pada dampak sistemik kompetisi, dengan terlihat dari banyaknya kegiatan kompetisi yang menuntut anak-anak ikut mengambil peran di dalamnya.
Melalui pendidikan kolaboratif, siswa lebih banyak dirangsang untuk aktif dalam kegiatan yang menuntut kemampuan berkoordinasi, bekerja bersama-sama tanpa mendikotomikan pihak satu dan lainnya berdasarkan pada label kompetensinya. Eric Anderman dalam kajiannya tentang “Psychology of Learning” menegaskan pentingnya kolaborasi dalam pendidikan.
Tulisannya menyatakan bahwa hasil pekerjaan siswa yang dilakukan secara kooperatif cenderung lebih baik dibandingkan pekerjan yang diselesaikan secara individu dalam iklim yang kompetitif. Kompetisi sesungguhnya menyimpan dampak negatif yang hampir sama, baik bagi siswa yang unggul ataupun kalah. Kompetisi memiliki kecenderungan menghilangkan motivasi intrinsik siswa.
Kompetisi akan membatasi motivasi siswa untuk berkembang lebih meningkatkan kemampuannya, karena merasa tujuan yang ingin dicapainya mudah terlaksana. Siswa akan mengandalkan penghargaan dari orang lain untuk memotivasi mereka dalam menyelesaikan tugas, daripada membangun inisiatif mandiri untuk menyelesaikan tugas guna peningkatan kompetensi dan keterampilan diri.
Kompetisi di kelas akan dapat mengalihkan perhatian siswa dari belajar karena membuat siswa menjadi lebih fokus untuk tampil lebih baik daripada teman sebaya sehingga mereka tidak tertuntut untuk belajar lebih giat dan meningkatkan kapasitas diri.
Harus diakui bahwa kadar kompetisi pada pendidikan bangsa kita sudah jauh melampui ambang batas. Kompetisi pada anak-anak layaknya mewarnai, melukis dan sejenisnya akan lebih baik jika diapresiasi dalam bentuk pemeran atau seni pertunjukan, sehingga seluruh siswa akan merasa dihargai dan diperhatikan tanpa merasa diri lebih unggul dari anak lainnya.
Layaknya orang-orang dewasa, anak-anak kita butuh memperkaya portofolio kehidupannya. Bakat dan karya yang dimiliki untuk memperkenalkan diri pada dunia dan teman-teman sebayanyanya, bahwa mereka unik dan berbeda, namun tetap dapat hidup berdampingan, bekerja bersama dan dihargai apa adanya.
Referensi:
- Alfie Kohn. “No Contest : The Case Against Competition (Why We Lose in Our Race To win)”. 1986. New York : Houghton Mifflin Company.
- Analytical Capacity Development Partnership. “Kesempatan Mengikuti Kelompok Belajar Sains”. 2015
- Eric M. Anderman and Lynley H. Anderman. “Psychology of Classroom Learning: An Encyclopedia”. 2009. Detroit: Macmillan Reference USA. Page 230-234.
- Jiang Kai. “ Origin and Consequences of Excess Competition in Education: A Mainland Chinese Perspective”. Chinese Education and Society, Vol. 45, No. 2, March – April, 2012. Page 8-20.
- Zulfikri Anas. “Kurikulum untuk Kehidupan”. 2017. Jakarta : AMP Press