Hari peringatan Kemerdekaan Republik Indoneisa ke 74 bulan Agustus saat ini tidak selegowo tahun-tahun sebelumnya dikarenakan ada kasus pelecehan rasialisme kepada sesama anak bangsa.
Sangat tidak wajar dan sangat mengusik rasa kemanusiaan kita karena kata-kata rasisme secara disengaja ditujukan bagi sesama anak bangsa yang berasal dari tanah Papua. Apapun itu, rasisme sangat bertolak belakang dengan sensitifitas kita sebagai manusia untuk menghargai keberadaan manusia lainnya yang tidak berpatokan hanya pada satu ras dan golongan saja.
Dalam artian kita sebagai manusia yang diciptakan lebih sempurna dari pada makhluk hidup lainnya dibekali rasa dan pikiran yang lebih sebagai bekal kita untuk membedakan mana yang pantas dan yang tidak pantas. Apalagi kepantasan tersebut bersinggungan dengan dimensi sosial.
Dimensi sosial ini yang rasanya semakin hari semakin menghawatirkan. Dimensi sosial lebih mudah rapuh jika tak ada rasa saling menghargai dan mengakui keberadaan orang lain. Akibatnya muncul kecurigaan dan tindakan yang berlebihan terhadap pihak lainnya. Lantas, apa tujuan kita memperingati hari kemerdekaan Republik Indonesia setiap setahun sekali?
Apakah kita semakin merasakan bahagia justru semakin tersungkur karena sebenarnya kita telah jatuh pada lubang yang sama? Tentunya kita tidak ingin ini terjadi berulang kali seperti kata pepatah “Hanya keledai yang jatuh ke lubang yang sama dua kali”. Artinya sebagai manusia wajib memetik hikmah disetiap peristiwa, mengetahui kesalahan yang dilakukan dan wajib memperbaiki diri atas kesalahan yang dibuat.
Momentum kemerdekaan hendaknya dijadikan refleksi apakah pembangunan yang kita jalani selama ini sudah memberikan kesejahteraan untuk masyarakat Indonesia secara umum maupun secara khusus yang hidup di berbagai pelosok daerah di seluruh negeri.
Ketika berbicara masalah kesejahteraan maka istilah yang paling populer adalah kecukupan ekonomi, namun disisi lain keteraturan sosial juga merupakan bagian dari kesejahteraan untuk menciptakan iklim ekonomi yang kondusif. Hal ini lah yang agak sedikit terganggu bagi mereka yang lahir dari tanah Papua.
Sebagian dari mereka merantau ke seluruh Indonesia untuk memperbaiki kualitas hidup yang lebih baik. Sayangnya, semangat mereka untuk membangun negeri agak sedikit luntur semenjak kasus penggerebekan asrama papua di Jawa Timur yang berakhir dengan ucapan rasis berbuntut kekecewaan dan keinginan untuk memerdekaan diri dari Republik Indonesia. Pernyataan tersebut muncul dari Ikatan Mahasiswa Papua (IMP) di Sumatera Utara yang terang-terangan bahwa solusi terhadap permasalahan di Papua adalah merdeka, dan kebebasan.
Inilah yang warga Papua sesalkan, miskin ditengah kekayaan alam tanah Papua menjadi persoalan yang tak kunjung selesai meski kita telah merdeka selama 74 tahun. Sebenarnya upaya memperbaiki kehidupan masyarakat papua telah banyak dilakukan oleh pemerintah mulai dari pemberian dana otonomi khusus hingga baru-baru ini pemerintah gencar melakukan pembangunan infrastruktur serta menyamakan distribusi harga barang dan jasa di Papua.
Namun menurut pembina IMP kebijakan tersebut hanya untuk meredam upaya gerakan Papua merdeka. Dari sinilah kita belajar bahwa untuk mencapai kesejahteraan tidak semata-mata dilakukan melalui aktifitas ekonomi material, namun juga dari sisi nilai, norma dan budaya. Ringkasnya memperlakukan manusia sebagai manusia pada umumnya. Itulah yang anak papua rasakan sekarang ini.
Sudah tidak jamannya lagi memperlakukan manusia sebagai objek pembangunan seperti yang terjadi di tanah papua. Kita semestinya memperlakukan mereka lebih beradab dengan menghormati segala kekurangannya dan mengargai kelebihannya.
Masyarakat papua harus diberi andil lebih besar dalam pembangunan di tanah kelahirannya sendiri. Mereka harus mampu mengelola kekayaan alam dengan kemampuan mereka sendiri, oleh karena itu pemerintah menjamin keberadaan dan eksistensi mereka sebagai pelaku pembangunan. Jangan hanya karena alasan modernisasi pemerintah memposisikan mereka sebagai warga kelas dua.
Sebenanya apa sih yang mau kita capai? Mencapai kemajuan pembangunan nasional lebih cepat tapi mengorbankan salah satu pihak hanya karena alasan sumberdaya manusia kurang mampu mengelola potensi alam.
Lebih jauh dari itu, menjadikan anak asli Papua lebih beradab dapat dilakukan pada level tertinggi partisipasi masyarakat yaitu level decision making. Pada level tersebut warga papua memiliki posisi sama dengan pelaku pemerintah baik eksekutif maupun legislatif untuk bersama-sama mengambil keputusan politis yang memberikan keuntungan jangka panjang bagi warga papua sendiri dalam rangka mengelola sumberdaya alam di Papua.
Selanjutnya, menjadikan warga Papua lebih beradab merupakan keharusan ditengah kemajemukan sosial di Indonesia. Kemajemukan di Indonesia saat ini sangat relevan dengan pandangan Nurcolish Madjid yang menyatakan bahwa civility merupakan kualitas etik masyarakat madani di tengah pluralisme, seperti keterbukaan, toleransi, dan kebebasan yang betanggung jawab.
Madjid menyatakan bahwa kualitas masyarakat madani sangat ditentukan oleh sejauh mana civility tersebut dimiliki warganya. Civility mengandung makna toleransi, yang mempunyai arti kesediaan pribadi-pribadi untuk menerima berbagai macam pandangan politik dan tingkah laku sosial, juga bersedia untuk menerima pandangan bahwa tidak selalu ada jawaban yang benar atas suatu masalah.
Maka dari itu kehidupan demokrasi yang beretika dapat diwujudkan dengan menciptakan kualitas etik masyarakat. Tanpa etika, mustahil menjadikan kehidupan beradab khususnya bagi masyarakat tanah Papua.