Kasus Kematian Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J di rumah dinas bekas Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri Irjen Ferdy Sambo, pada tanggal 8 Juli 2022 mengakibatkan institusi kepolisian menjadi sorotan publik.
Kejanggalan hasil penyidikan yang awalnya menyimpulkan bahwa Irjen Ferdy Sambo telah menembak Brigadir J demi membela istrinya karena menjadi korban pelecehan seksual mengakibatkan masyarakat semakin tidak percaya dengan institusi POLRI. Terbatasnya akses informasi mengenai hasil forensik kepada orang tua dari Brigadir J telah menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi POLRI.
Timbulnya berbagai penyimpangan kode etik yang dilakukan institusi POLRI selama proses penyidikan kasus penembakan terhadap Brigadir J mengakibatkan beberapa lembaga lain seperti Komisi kepolisian Nasional (Kompolnas) juga turut disorot oleh publik salah satunya adalah Kompolnas. Kompolnas merupakan lembaga pengawas eksternal yang bertanggung jawab untuk mengawasi kinerja aparat kepolisian.
Lemahnya pengawasan ditambah terbatasnya kewenangan dalam menyidik penyimpangan yang dilakukan oleh aparat kepolisian dalam menangani kasus pembunuhan terhadap Brigadir J mengakibatkan timbulnya wacana untuk membubarkan Kompolnas. Hal ini seperti yang disampaikan oleh wakil ketua Komisi III DPR Resmond J Mahesa dalam rapat Komisi III DPR pada tanggal 22 Agustus 2022 lalu.
Dalam pasal 38 UU no 2/2002 tentang Polri, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) merupakan lembaga yang memiliki tugas membantu Presiden dalam menetapkan arah kebijakan Polri dan memberi pertimbangan kepada presiden untuk pengangkatan dan pemberhentian Kapolri.
Dalam melaksanakan tugasnya, Kompolnas diberikan beberapa kewenangan yaitu: 1) mengumpulkan dan menganalisa data sebagai bahan pemberian saran kepada Presiden terkait dengan anggaran, pengembangan sumber daya manusia dan pengembangan sarana dan prasarana Polri; 2) memberikan saran dan pertimbangan lain kepada Presiden dalam upaya mewujudkan Polri yang profesional dan mandiri; 3) menerima saran dan keluhan dari masyarakat mengenai kinerja Kepolisian dan menyampaikannya kepada Presiden.
Melihat tugas dan dan wewenang Kompolnas yang tercantum di dalam pasal 38 UU no 2/2002 menunjukan bahwa memang lembaga ini tidak memiliki pengaruh yang berarti dalam menjamin perbaikan di dalam tubuh institusi POLRI. Hal ini dikarenakan kebijakan yang dilaksanakan Kompolnas hanyalah bersifat saran dan pertimbangan saja. Lemahnya peran dalam melakukan pengawasan juga diakui oleh akademisi di bidang kepolisian, Adrianus Meliala, sekaligus mantan Komisioner Kompolnas periode 2012-2016. Ia berpendapat bahwa peranan Kompolnas dalam mengawasi kinerja institusi Polri dapat lebih maksimal jika kewenangannya diperluas hingga sampai ke ranah penyidikan.
Peran Kompolnas yang selama ini hanya menyampaikan klarifikasi dari Polda atas aduan dari masyarakat mengakibatkan lembaga ini dianggap sebagai “juru bicara kepolisian”. Anggapan bahwa Kompolnas hanyalah “jubir” dari instansi kepolisian dapat dilihat dari kasus penembakan terhadap Brigadir J. Komisioner Kompolnas Benny Jozua Mamoto mengeluhkan bahwa dirinya sempat merasa dibully masyarakat hanya karena menyampaikan perkembangan penyidikan kasus penembakan Brigadir J dari Kapolres Jaksel.
Minimnya fungsi Kompolnas dalam mendukung agenda reformasi Polri telah meningkatkan wacana pembubaran lembaga ini semakin mencuat. Sebenarnya terdapat lembaga di Indonesia yang memiliki kemiripan fungsi dengan Kompolnas dan dapat dijadikan alternatif untuk menjadi pengawas eksternal yaitu Indonesia Police Watch (IPW). Lembaga ini dibentuk oleh wartawan yang memiliki perhatian terhadap permasalahan mengenai kepolisian. IPW dan Kompolnas sama-sama dibentuk pada pasca reformasi dengan tujuan yang hampir mirip yaitu mengawasi kinerja kepolisian.
Hal yang membedakan kedua lembaga ini adalah IPW lebih berbentuk sebagai LSM seperti halnya Kontras atau LBH Masyarakat dibandingkan instansi pemerintah. Status IPW yang hanya sebagai sebuah LSM mengakibatkan ia cenderung kurang dikenal publik. Selain itu, anggapan bahwa Kompolnas memiliki hubungan lebih dekat dengan orang-orang di pemerintahan mengakibatkan lembaga ini lebih dipercaya memiliki pengaruh lebih besar dalam mengawasi Polri dibandingkan IPW.
Akan tetapi, dibalik kekurangan yang dimiliki IPW, lembaga ini lebih bersifat independen dibanding dengan Kompolnas. Hal ini dikarenakan orang-orang yang terlibat di dalam IPW berasal dari kelompok masyarakat sipil. Sedangkan di dalam Kompolnas sendiri, terdapat golongan baik kepolisian dan pemerintah yang menjabat sebagai Komisioner atau bagian dukungan teknis. Keberadaan unsur kepolisian di dalam tubuh Kompolnas mengakibatkan timbulnya kerawanan konflik kepentingan.
Budaya semangat korps kesatuan kepolisian seringkali menimbulkan dilema diantara anggota polisi untuk bersikap tegas terhadap penyelewengan yang dilakukan oleh rekan atau atasannya. Komposisi dari orang-orang yang bekerja di dalam Kompolnas ini mengakibatkan lembaga ini rawan mengalami konflik kepentingan ketika dituntut untuk bersikap kritis dalam menindak penyimpangan di tubuh institusi Polri.
Dalam jurnal yang ditulis oleh Adrianus Meliala dengan judul “Pengaduan Masyarakat: Indikator Demokrasi Lainnya di Indonesia” menyebutkan bahwa sejak awal dipilih oleh panitia seleksi, banyak komisioner dari lembaga pengawas eksternal (seperti Kompolnas) diberikan sebuah “pesan“ untuk memelihara situasi harmonis dengan lembaga yang diawasi. Sebaliknya, lembaga pengawas tidak pernah diberikan pesan untuk menciptakan terobosan atau rekomendasi agar dapat menciptakan menciptakan situasi harmonis sekaligus memperbaiki tatanan pada lembaga yang diawasi.
Masalah konflik kepentingan yang dihadapi oleh Kompolnas menunjukan pentingnya keterlibatan kelompok masyarakat sipil di dalam lembaga pengawas eksternal. Keterlibatan masyarakat sipil merupakan bagian dari agenda perbaikan demokrasi di Indonesia pasca orde baru. Masyarakat sipil di Indonesia selama orde baru memiliki pengalaman menjadi saksi atas berbagai bentuk normalisasi penyelewengan di tubuh lembaga keamanan (termasuk kepolisian). Pengalaman tersebut harapannya dapat mendorong berbagai elemen masyarakat lebih kritis ketika membahas permasalahan di dalam tubuh POLRI dibandingkan anggota kepolisian itu sendiri.
Masalah kurangnya transparansi dan akuntabilitas Polri dalam mengusut kasus penembakan Brigadir J seharusnya dijadikan momen bagi Kompolnas untuk melakukan evaluasi dan merefomasi lembaganya sendiri. Wacana pembubaran lembaga pengawasan eksternal Polri di momen krusial saat ini bukanlah solusi yang tepat. Tanpa adanya lembaga pengawas, berbagai penyimpangan kode etik oleh anggota kepolisian kemungkinan akan kembali dinormalisasi.
Hal yang perlu dilakukan saat ini adalah Kompolnas harus membuat perubahan dengan melibatkan lebih banyak kelompok masyarakat sipil di lembaganya dan berani untuk mengurangi peranan dari unsur kepolisian. Selain itu, kewenangan Kompolnas perlu diperkuat dengan tidak hanya menjadi “pemberi pesan” dari Polri tetapi juga berperan sebagai pengkritik.