Indonesia saat ini sedang dihadapkan dengan berbagai persoalan yang sangat sistemik. Persoalan ini, sangat menyita perhatian publik. Mulai dari ancamanan teruarai dari kebhinekaan dengan berkembangnya paham dan gerakan anti pancasila, hingga persoalan korupsi yang sudah mejadi tradisi dan budaya. Saat ini, probelematika kebangsaan sudah di depan mata, khususnya, dalam kasus korupsi yang akhir-akhir ini banyak terungkap oleh Komisi Pemberanasan Korupsi (KPK). Tak tanggung-tanggung pekan lalu KPK mengungkap keterlibatan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Setiya Novanto dan Anggota Dewan Markus Nari, sebagai tersangka dalam kasus Mega Proyek KTP Elektronik.
Kasus Mega Korupsi E-KTP merupakan kasus besar yang sukses di ungkap oleh KPK periode sekarang. Karena, dalam perhelatan sejarah bangsa, baru kali ini ketua DPR dan sekaligus Ketum Partai Golkar terseret dalam kasus korupsi. Sangkaaan terhadap Setnov dan Markus secara langsung disampaikan oleh pimpinan KPK, Agus Rahardjo. Terkait dengan keterlibatannya dalam memuluskan proyek pengadaan E-KTP yang dinilai merugikan negara hingga Rp. 2,3 Triliyun dari total proyek Rp. 5,9 Triliyun.
Adanya keterlibatan kedua anggota dewan tersebut, berdasarkan fakta di persidangan untuk terdakwa Irman dan Sugiharto, mantan pejabat kementerian. Berdasarkan fakta persidangan, KPK mendapatkan bukti permulaan yang cukup kuat untuk menetapkan anggota dewan tersebut sebagai tersangka baru dalam kasus E-KTP. Hal ini, kemudian di perjelas, bahwa keterlibatan tersangka dewan terhormat ini, disaat keduanya sedang menjabat di dewan pada periode 2009-2014 dari Fraksi Partai Golkar. Disinyalir, posisi strategis ini kemudian dimanfaatkan dan menguntungkan diri sendiri sebagaimana dugaan KPK sebesar Rp. 574 Miliar. Akibatnya, prilaku tercela tersebut mengakibatkan dewan terhormat dikenakan pasal 3 atau pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU No 20 tahun 2001 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Keberanian KPK dalam memeberikan status tersangka terhadap pimpinan dewan. Semakin memperuncing Polemik Hak Angket. Tak pelak, banyak anggapan yang mengatakan bahwa di gulirkannya Hak Angket oleh DPR ada keterkaitan dengan kasus korupsi E-KTP yang sedang ditangani oleh KPK. Proses Hak Angket kemudian memunculkan opini liar di tengah masyarakat, tentang adanya upaya keras dewan termormat dalam melindungi kerabatnya dalam jeratan kasus korupsi. Anggapan negatif ini, tidak sepenuhnya dapat disalahkan. Sebab KPK dalam kasus KTP elektronik mampu mengungkap keterlibatan dewan. Sebagaimana keterlibatan ini disangsikan oleh DPR.
Meskipun, KPK sudah berhasil mengungkap keterlibatan dewan. Akan tetapi, internal dewan masih bersikeras mengatakan KPK hanyalah mengada-ada, seperti yang pernah disampaikan oleh wakil ketua DPR Fahri Hamzah. Karena itu, masyarakat sangat antusias dalam menyambut penetapan tersangka baru dalam kasus KTP elektronik. Kini, anggapan klasik “Hukum Tajam Kebawa Dan Tumpul Keatas” akhirnya mendapat ketajamannya kembali untuk menyayat pejabat negara dalam segala level. Fenomena hukum tidak pandang bulu dan tidak pilih tebang salah-satunya di perlihatkan oleh KPK. Inilah cita-cita negara hukum indonesia.
Saat ini, hambatan dan tantangan KPK untuk memberantas korupsi di negeri ini semakin terlihat. Melihat ancaman besar ini, kerjasama seluruh institusi negara sangat di perlukan Terlebih, Dewan Perwakilan Rakyat sebagai lembaga yang memperjuangkan harapan masyarakat. Meskipun, paska di tetapkan Setia Novanto, DPR mengatakan akan tetap melanjutkan proses hak angket. Di tengah polemik ini, publik masih meyakini dari total 560 anggota dewan yang terdiri dari beberapa partai. Masih terdapat anggota dewan yang berhati bersih. Sebab itu, masyarakat menaruh harapan kepada dewan lainnya agar melakukan Konsolidasi di internal partai masing-masing sehingga kehancuran negeri ini dapat terhindari.
Penulis teringat dengan pepatah yang mengatakan “Kebaikan Yang Tidak Terorganisir Akan Di Kalahkan Oleh Kejahatan Terorganisir”.
Di alam negara demokrasi, suara terbanyak menjadi salah satu syarat penting dalam pengambilan keputusan. Inilah kekeliruan, padahal pancasila yakni sila ke-4 menjunjung tinggi Musyawarah untuk mencapai mufakat. Akibatnya, seperti kita lihat sekarang ini, suara dewan yang bersih dan suci tersisihkan dalam pengambilan keputusan dengan menerapkan sistem Voting atau suara terbanyak. Sangat ironis, jika kebaikan tersisihkan dengan berbagai kepentingan segelintir orang. Jika benar adanya, inilah awal kehancuran bangsa ini.
Berdasarkan UUD 1945 pasal 1 ayat 3 menyebutkan negara indonesia berdasarkan hukum. Konsekuensi logisnya setiap kebijakan yang dikeluarkan haruslah sesuai dengan perundanga-undangan dalam konteks pembahasan di atas yakni UU MD3. Banyak tafsir keliru yang dilakukan DPR dalam memandang UU MD3. kekeliruan inilah yang melahirkan respon berbagai pihak. Salah satu-nya datang dari Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) Prof. Mahfud MD yang mengatakan Pansus angket tidak dapat menyasar lembaga di Luar pemerintahan. sebab obyek UU MD3 adalah pemerintahan. Sedangkan KPK merupakan lembaga indevenden, tidak masuk didalam lembaga eksekutif.
Penulis—pun mempunyai pandangan yang sama Dalam memandang Hak Angket. Selain cacat hukum, juga salah kaprah dalam menafsirkan Pasal 79 ayat (3) UU MD3 yang berbunyi: Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Di sini terlihat jelas tidak ada satu-pun redaksi yang mengatakan DPR dapat melakukan penyelidikan terhadap KPK melainkan Frasa tersebut ditujukan kepada pemerintah. Dalam pasal 79 ayat (3) secara jelas di sebutkan DPR hanya mempunyai Hak menggulirkan Angket terhadap lembaga pemerintahan. Pertanyaanya, apakah KPK masuk di dalam lembaga pemerintahan. Hingga saat ini, belum ada ketentuan dalam perundang-undangan yang mengatakan demikian.
Masyarakat kini menaruh harapan besar hanya dengan DPR, sebagai wakil rakyat dalam memperjuangkan cita-cita negara keadilan, dan kesejahteraan bagi rakyat indonesia. Karena itu, masyarakat sangat berharap Hak Angket segera di hentikan. Sebab, sampai saat ini masyarakat masih menolak adanya angket tersebut berdasarkan data survey SMRC yang mengatakan 64,4% responden percaya KPK dan hanya 6,1% menjawab percaya DPR. Sekitar 29,5% menjawab tidak tahu atau tidak mau menjawab. Fakta ini, seharusnya di jadikan bahan pertimbangan apakah hak angket di teruskan atau di hentikan. Sebagai wakil rakyat, seharusnya hak angket di hentikan sebab rakyat berharap Presiden (eksekuti) dan DPR mendukung KPK dengan tidak meneruskan angket terhadapnya. Disinilah, fungsi DPR sebagai wakil rakyat di UJI dalam mendukung pememberantasan korupsi. Sehingga, Revolusi Mental dan mimpi negara bersih benar-benar menjadi kenyataan di bumi pertiwi.
Selain itu, dukungan kepala pemerintahan yakni presiden Jokowidodo sangat di nanti oleh berbagai pihak yang pro KPK. Sebab, lawan KPK kali ini bukan lagi Buaya seperti yang pernah terjadi “cicak vs buaya”. Akan tetapi, KPK seperti berada di moncong Meriam karena hak angket merupakan ancaman luar biasa tidak hanya melemahkan bahkan dinilai berpotensi membubarkan KPK. Sehingga dalam kondisi kronis seperti ini, kehadiran presiden di nanti-nati dalam rangka melakukan konsolidasi di DPR. Khususnya melakukan konsolidasi di beberapa partai politik. Salah satunya dapat di mulai dengan partai PDI-P, dan partai koalisi pemerintah. Jika, Fraksi PDI-P dan partai pendukung pemerintah tidak menghiraukan kehadiran presiden. sama halnya PDI-P sebagai partai pengusung mengubur semangat revolusi mental yang di dengungkan pada saat kampanye Pilpres lalu. Sehingga, kehadiran presiden di tengah polemik ini dapat menepis keliaran opini di masyarakat terkait dengan dukungan presiden terhadap hak angket yang berdasarkan garis kebijakan partai. Jika, opini liar di masyarakat ini benar adanya, maka dapat dikatakan seluruh intitusi bersama mengubur KPK.