Wacana amandemen UUD 1945 kelima kembali menjadi perbincangan hangat. Setelah beberapa kali ditutup-tutupi. Jika masih ingat dengan sidang tahunan MPR kemarin, wacana amandemen UUD 1945 kembali bergulir.
Hal tersebut disampaikan langsung oleh Ketua MPR Bambang Soesatyo melalui pidatonya dalam sidang tahunan MPR.
Dalam pidatonya, Bamsoet menyatakan pembangunan nasional, baik itu jangka pendek, menengah, maupun jangka panjang harus mempunyai visi yang lebih demokratis, transparan, akuntabel, dan berkesinambungan.
Untuk mencapai itu, diperlukan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) yang berisfat filosofis dan arahan dalam pembangunan nasional. Keberadaan PPHN sejatinya untuk memastikan potret wajah Indonesia 50-100 tahun ke depan.
Lebih lanjut lagi, Bamsoet menyatakan bahwa PPHN bersifat arahan dan tidak mengurangi kewenangan pemerintah untuk menyusun cetak biru pembangunan nasional.
Isi pidato yang disampaikan Bamsoet tersebut membuat isu amandemen UUD 1945 kian menjadi perbincangan. Sebelumnya, isu amendemen muncul terkait jabatan presiden.
Dalam wacana tersebut, salah satu pasal yang hendak diamandemen adalah pasal yang mengatur masa jabatan presiden. Meskipun hal tersebut ditolak oleh Pak Jokowi secara terbuka.
PAN Masuk Koalisi Pemerintah
Di awal pemerintahan Presiden Joko Widodo, bisa dikatakan bahwa tidak ada keseimbangan antara partai pemerintah dan pihak oposisi.
Di sisi lain, gemuknya koalisi pemerintah tidak akan menyulitkan dalam membuat suatu kebijakan bahkan merevisi undang-undang. Hal tersebut bisa dilihat pada revisi Undang-Undang KPK dan Undang-Undang Cipta Kerja.
Sebagian kalangan menilai bahwa kedua undang-undang tersebut sangat tidak mencerminkan keinginan masyarakat secara luas. Tetapi, karena koalisi yang kuat membuat undang-udang tersebut lancar untuk disahkan.
Koalisi gemuk seakan-akan menjadikan pemerintah tanpa oposisi. Di sisi lain, sistem check and balances juga tidak terlaksana dengan baik.
Beberapa waktu lalu, ada satu partai lagi yang masuk dalam pemerintah. Partai Amanat Nasional (PAN) belakangan bergabung dalam koalisi pemerintahan.
Hal tersebut membuat koalisi menjadi obesitas. Tentu saja ini berbanding terbalik dengan opisisi yang kini hanya menyisakan PKS dan Demokrat.
PAN memang seringkali melakukan manuver dalam politiknya, bahkan sejak zaman SBY sekalipun partai ini seringkali berpindah-pindah.
Dengan bergabungnya PAN dalam koalisi pemerintah, tentu saja akan membawa pengaruh cukup besar dalam amandemen UUD 1945 kelima nanti.
Berdasarkan Pasal 37 UUD 1945, usul perubahan Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam sidang MPR apabila setidaknya diajukan oleh 1/3 dari jumlah anggota MPR.
Saat ini ada sekitar 711 anggota MPR. Itu artinya untuk mengajukan usulan amandemen setidaknya dibutuhkan 237 anggota MPR. Jika angka 1/3 tersebut terpenuhi maka sidang pun bisa digelar.
Selanjutnya, untuk mengubah pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar yang diamandemen, sidang MPR tersebut setikdaknya harus dihadiri 2/3 anggota MPR.
Dengan masuknya PAN ke dalam koalisi pemerintah, bukan tidak mungkin terjadi amandemen terbatas. Perihal amandemen terbatas ini pun disinggung dalam pidato Bamsoet.
Lolosnya revisi Undang-Undang KPK dan Undang-Undang Cipta Kerja menjadi bukti yang jelas. Kuatnya koalisi tidak akan sulit dalam menentukan kebijakan bahkan amandemen sekalipun.
Mengembalikan Kedudukan MPR
Amandemen ketiga UUD 1945 membuat MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara. Pada amandemen ketiga tersebut, kedaulatan rakyat berada di tangan rakyat dan dilaksanakan sesuai dengan undang-undang.
Jika sebelum UUD 1945 diamandemen, MPR merupakan lembaga tertinggi negara. Hal tersebut karena MPR merupakan penjelmaan dari kedaulatan rakyat.
Adanya amandemen ketiga tersebut membuat MPR menjadi lembaga tinggi negara yang sejajar dengan lembaga negara lain seperti DPR, DPD, dan Presiden.
Amandemen ketiga tersebut membuat tugas MPR hanya seremonial saja. Praktis kewenangan MPR setelah amandemen ketiga tidak lebih hanya untuk melantik Presiden atau Wakil Presiden saja.
Selain itu, mungkin ada satu tugas lain yaitu sosialisasi empat pilar kebangsaan.Jika melihat hal tersebut, boleh dikatakan bahwa MPR merupakan lembaga negara dengan kewenangan paling simpel dibanding dengan lembaga negara lain.
Dampak dari amandemen ketiga membuat kewenangan MPR seakan-akan lumpuh. Imbas dari amandemen ketiga tersebut adalah MPR tidak lagi berwenang menetapkan GBHN.
Kewenangan MPR menetapkan GBHN jelas karena MPR adalah jelmaan dari kedaulatan rakyat. Dengan adanya wacana amandemen kelima, tentulah ingin mengembalikan kewenangan MPR seperti semula.
Dengan menambahkan kewenangan MPR dalam mendesain PPHN tak lebih seperti mengembalikan kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Kehadiran PPHN tidak lebih untuk merekonsturksi GBHN yang eksis pada masa orde baru.
Karena MPR menjadi lembaga tertinggi, Pesiden mempunyai kewajiban untuk menjalankan GBHN tersebut. Selain itu, MPR juga memiliki kewenangan untuk meminta pertanggung jawaban Presiden.
Jika MPR kembali pada kedudukan semula, maka MPR berwenang untuk memilih Presiden/Wakil Presiden. Hal tersebut bertentangan dengan prinsip demokrasi yang selama ini dibangun.
Jika hal ini terjadi, maka tentu sebuah kemunduran dalam sistem ketatangeraan kita. Urgensi PPHN itu sendiri masih dipertanyakan, hal tersebut karena kedaulatan tertinggi sepenuhnya masih ada di tangan rakyat bukan lagi ada di tangan MPR.
Jika Presiden tidak menjalankan PPHN sebagaimana mestinya, tidak akan ada imbas politik apapun. MPR tidak mempunyai alasan untuk melakukan impeachment.
Kehadiran PPHN hanya relevan apabila MPR menjelma kembali sebagai lembaga tertinggi negara dan presiden bertanggung jawab kepada MPR.
Tentu saja hal ini menurunkan sistem presidensial yang selama ini dibangun.Padahal dalam amandemen UUD 1945 haruslah memperkuat sistem presidensial.
Jika hal itu terjadi, sistem pemerintahan Indonesia tidak bisa disebut sebagai presidensial tetapi sudah mengarah pada parlementer.
Padahal, sejak GBHN tidak diberlakukan lagi, perencanaan pembangunan di Indonesia berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN), dan saat ini yang berlaku adalah berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2005.
Jika para elit politik ingin memperbaiki arah pembangunan Indonesia ke depan, amandemen UUD 1945 bukanlah jalan yang harus ditempuh. Cukuplah revisi undang-undang di atas.
Perubahan konstitusi memang suatu hal yang wajar dan memang dimungkinkan. Hal itu karena konstitusi buatan manusia, tidak selamanya konstitusi tersebut sesuai dengan zaman.
Untuk itu, dalam amandemen UUD harus memperhatikan relevansi terkait pasal yang ingin ditambah atau dihapus. Selama masih relevan, sebaiknya jangan.
Apalagi kondisi masih dalam pandemi covid-19. Amandemen rasanya kurang pas. Konstitusi kita dalam perubahannya termasuk rigid alias kaku.
Pada akhirnya perubahan konstitusi tidak hanya soal fleksibel, rigid, atau relevansi dengan perkembangan zaman. Tetapi, perubahan konstitusi tergantung pada kehendak penguasa.