Dewasa ini kita dapat melihat bahwa phobia masyarakat terhadap kelapa sawit semakin massif adanya. Berbagai macam campaign atau propaganda telah disebar oleh berbagai macam NGO atau LSM. Di Inndoesia sendiri kita bisa melihat Greenpeace dan WWF yang begitu getolnya mengkapampanyekan penolakannya terhadap kelapa sawit dengan dasar pembukaan lahan hutan yang memicu deforestasi.
Gerakan penolakan sawit ini pun bahkan seakan terinstitusionalisasi seiring munculnya penolakan parlemen Uni Eropa terhadap ekspor kelapa sawit dari Indonesia, dengan dasar bahwa kelapa sawit bukanlah biodiesel yang ramah lingkungan, dan harus diganti dengan biodiesel berbahan baku rapeseed, dan bunga matahari.
Hal yang menarik untuk dilihat dari hal ini adalah. bahwasanya penolakan Uni Eropa dan sejumlah NGO terhadap kelapa sawit ini adalah sebuah penolakan yang tak berdasar. Alih-alih menjaga lingkungan justru penolakan terhadap kelapa sawit dan menggantinya dengan kedelai, rapeseed, dan bunga matahari adalah alasan tidak tepat yang dibuat-buat oleh sejumlah pihak untuk memenangkan persaingan antara komoditi kelapa sawit dari Indonesia, dengan komoditi lokal Eropa yang berupa minyak rapeseed, minyak bunga matahari, dan minyak kedelai, sehingga melalui penolakan kelapa sawit ini, komoditi lokal Eropa menjadi lebih diminati.
Penolakan terhadap kelapa sawit ini sebenarnya adalah upaya Uni Eropa untuk menghentikan impor kelapa sawit, dan menurunkan nilai jual dari kelapa sawit itu sendiri, agar dunia lebih melirik ke komoditi yang Eropa hasilkan. Dengan demikian, pada dasarnya black campaign yang Uni Eropa dan sejumlah LSM lakukan guna meghindari persaingan dengan kelapa sawit bukanlah hal yang bijak. Mengapa demikian?
Produktifitas Kelapa Sawit
Pertama-tama kita harus melihat bahwa kelapa sawit adalah tanaman penghasil minyak nabati yang paling produktif dibandingkan tanaman yang lain. Rapeseed paling tinggi menghasilkan minyak nabati 0,8 ton per hektar, Kedelai menghasilkan 0,5 ton per hektar.
Bunga Matahari pun juga hanya mencapai angka 0,7 ton per hektar, sedangkan Kelapa Sawit mampu menyentuh angka 3,8 ton per hektar, bahkan produktifitas kelapa sawit ini masih sangat mungkin ditingkatkan hingga angka 12 ton per hektar, dengan penggunaan teknologi dan intensifikasi lahan melalui peremajaan pohon kelapa sawit yang sudah tidak produktif, sama seperti yang negeri Jiran lakukan.
Dengan data diatas pada dasarnya kita sudah dapat menarik kesimpulan bahwa pada dasarnya kelapa sawit adalah tanaman yang paling produktif dalam memproduksi minyak nabati dan juga biodiesel. Dan dengan asumsi PBB yang menyatakan bahwa pada tahun 2050 jumlah penduduk dunia akan mencapai 9,8 Miliar, maka angka konsumsi dunia terhadap minyak nabati pun akan semakin melonjak, dan hanya minyak sawit lah yang mampu memenuhi kebutuhan ini dengan angka deforestasi yang paling rendah, mengingat produktifitasnya yang lebih tinggi daripada komoditi lain.
Kampanye Hitam Deforestasi
Alasan mengenai deforestasi yang terjadi pada hutan tropis Indonesia agaknya tidaklah relevan. Deforestasi pada dasarnya dapat dimaknai sebagai proses menurunnya jumlah hutan, dalam konteks masalah kelapa sawit, minyak sawit Indonesia selalu dituding sebagai minyak sawit kotor dan tidak ramah lingkungan lantaran melanggengkan praktik-praktik penebangan hutan untuk membangun perkebunan.
Namun hal ini menjadi hal yang cukup blunder karena pada faktanya, ekspansi lahan kelapa sawit di Indonesia sendiri pada tahun 2000-2010 lebih banyak menggunakan lahan bekas pertanian dan lahan tak terpakai (waste land) dengan angka sekitar 6 Juta hektar, alih-alih menggunakan hutan primer atau hutan sekunder dengan angka yang hanya berkisar 2,5 Juta hektar, dan hal ini menunjukkan bahwa angka reforestasi lahan tak produktif menjadi kebun kelapa sawit lebih besar daripada angka deforestasi hutan menjadi kebun kelapa sawit.[1]
Di sisi lain, perkebunan kelapa sawit justru dapat menyerap karbon dioksida dan menyumbang oksigen yang lebih besar per hektarnya daripada hutan tropis Indonesia sendiri, dengan angka penyerapan karbon dioksida pertahunnya sebesar 64 ton perhektar, dan angka produksi oksigen pertahunnya sebesar 18 ton per hektar.
Dan dengan fakta ini maka tudingan bahwa perkebunan kelapa sawit menyebabkan emisi karbon dunia meningkat menjadi tidak lagi relevan, bahkan bisa dibilang perkebunan kelapa sawit justru lebih produktif menghasilkan oksigen daripada hutan itu sendiri.
Pada kenyataan yang wajib kita ketahui, adanya perkebunan kelapa sawit di Indonesia sebenarnya turut membantu negara dalam upaya pengentasan kemiskinan, dimana 41% perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah perkebunan milik rakyat, dan melalui hal ini terdapat 2,1 Juta petani kelapa sawit di Indonesia terbantu perekonomiannya. Dalam skala yang lebih makro pun perkebunan kelapa sawit ini juga tidak main-main, karena berhasil menyumbang devisa ekspor terbesar dengan sekitar Rp.250 trilliun.
Dengan demikian, kita dapat menarik kesimpulan bahwa perkebunan kelapa sawit ini bukanlah sebuah industri kotor dan tak berorientasi kepada lingkungan seperti apa yang telah Uni Eropa dan beberapa NGO tudingkan. Sebaliknya, perkebunan kelapa sawit dengan produktifitasnya yang tinggi adalah sebuah harapan untuk dunia dalam menghadapi krisis minyak bumi dunia dalam beberapa tahun mendatang karena kegunaannya sebagai energi pengganti minyak fosil yaitu biodiesel.
Karena kelapa sawit lah kita lebih dimudahkan dalam kehidupan karena kegunannya sebagai bahan campuran dari hampir semua produk yang kita gunakan sehari-hari, maka dari itu alangkah lebih baiknya, kita menghentikan phobia kita terhadap kelapa sawit, dan mulai melawan kampanye hitam yang dilakukan oleh pesaing Indonesia dalam perdagangan komoditas minyak nabati ini.
Referensi
[1] Gunarso. Petrus, Hartoyo, Nugroho, “Analisis Penutupan Lahan dan Perubahannya Menjadi Kelapa Sawit di Indonesia (Studi Kasus di 5 Pulau Besar di Indonesia periode 1990-2010), Jurnal Green Growth dan Manajemen Lingkungan, Vol.1 (2013).