Jumat, Maret 29, 2024

Kita Semua Ingin Ada Buzzer

Giri Lumakto
Giri Lumakto
Digital Ethicist, Educator | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital dan Teknologi | Alumni AAI STA Queensland Uni of Technology, 2019 | Awardee LPDP, 2016 | University of Wollongong, Australia | Mafindo Researcher | Kompasianer of The Year 2018 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | Email: lumakto.giri@gmail.com

Akan hambar linimasa, jika buzzer tidak ada. Buzzer adalah penyambung lidah kita. Ada rasa was-was menghantui jika kita posting isi hati tentang sebuah tragedi. Namun gundah hati akan terobati jika buzzer mendengungkan tagar mewakili isi hati.

Sejatinya ironis saat mengamplifikasi stigma negatif kepada buzzer. Karena komentar negatif orang-orang tersebut pun sudah seperti aktivitas buzzer. Sederhananya, orang atau kelompok pengumpat buzzer juga berkelakuan seperti buzzer. Atau jangan-jangan. Kelompok kontra buzzer ini juga adalah buzzer yang ditentang. Bukan tidak mungkin.

Buzzer sudah serupa syak wasangka yang dikomodifikasi. Akan ada saja oknum-oknum yang mengkomersialisasi sebuah isu. Platform sosial media terbuka dan penuh rekayasa. Semua orang boleh bersuara. Dengan bantuan buzzer pun bukan menjadi pilihan negatif yang ekstrim. Bak sebuah bandul, opini publik di linimasa adalah kuasa dan rekayasa angka dan distribusi. Uang masih mampu mendisrupsi ekosistem informasi linimasa yang artifisial.

Laporan Oxford Internet Institute 2019 bertajuk The Global Disinformation Order mampu memberikan gambaran. Namun relatif berisi wawasan komprehensif. Karena membaca laporan singkat OII tersebut membutuhkan kecermatan. Dan sebisa mungkin hindari informasi singkat dan framing dari tautan. Terlepas dan pro-kontra gambaran disrupsi buzzer kepada demokrasi banyak negara. Yang terpenting dalam laporan tersebut adalah buzzer sebagai sebuah industri.

Industri muncul dan besar karena ada supply and demand. Pihak-pihak yang tersebut dalam kontrak adalah pelaku ekonomi. Namun, mungkin saya, Anda, dan kita semua adalah pelaku demand tersebut. Kita mungkin tidak pernah ditulis dalam kontrak non-disclosure agreement kedua pelaku ekonomi di atasNamun kita meminta dengan berteriak. Di linimasa.

Polarisasi yang terbentuk dan dijaga di linimasa menggiring kita menjadi ‘pemesan buzzer’. Pemetaan Drone Emprit menjadi ilustrasi dasar yang kita ketahui soal polarisasi. Media-media (yang kita duga) hiper-partisan pun nyaman menunggangi polarisasi dan sentimen di linimasa. Ditambah algoritma terpersonalisasi (filter bubble) mengungkung perspektif oposisi sekadar informasi tanpa arti.

Bisa jadi komentar akun buzzer di posting atau berita mengundang anggukan pertama kita. Dilingkupi rentang sempit perspektif ruang gema (echo chamber) pribadi di linimasa. Komentar kontra, caci maki, sampai doxxing adalah yang kita cari. Mungkin tak terbesit buruk sangka melihat tragedi penusukan Menkopolhukam Wiranto sebagai sebuah ‘settingan’. Namun hati akan seolah mengiyakan saat ada saja yang berkomentar demikian.

Karena kita takut membayangkan postingan/komentar diri sendiri menjadi viral. Mempostingkan buruk sangka seperti di atas oleh seorang anggota Persit bisa menghancurkan karir sang suami. Apalagi kita yang bukan siapa-siapa. Sepertinya komentar julid netizen saja sudah cukup mengerikan.

Berkat buzzer-lah, kita ramai-ramai bisa mengutarakan hal-hal yang tidak mungkin dilakukan sendiri. Buzzer bak seorang terapis yang mau mengartikulasi keinginan terdalam dan tergelap kita di linimasa. Propaganda klandestin buzzer dapat mengungkap hal di bawah sadar menjadi maujud atau nyata. Atau dalam istilah Freud disebut transference.

Mencap tindakan nekat penusukan Menkopolhukam Wiranto sebagai setting-an. Sudah cacat secara logika dan etika. Apalagi sampai diungkap via postingan. Namun buzzer memberikan efek terapeutik pada keinginan terselubung ini. Dengan sistematisasi ratusan sampai ribuan akun memposting dan berkomentar. Buzzer menggelitik keinginan tersebut untuk mendapatkan efek remidi pada gundah (baca: buruk sangka).

Saat kita turut meramaikan sebuah postingan dan menaikkan sebuah tagar. Aktivitas inilah yang menjadi target utama buzzer. Walau secara tidak sadar, buzzer pun menjadi terapis jiwa-jiwa yang memiliki keinginan subversif dan kontradiktif. Sedang saat kita gaduh menuduh sembarang akun buzzer pun seperti menyediakan cermin ke diri sendiri.

Giri Lumakto
Giri Lumakto
Digital Ethicist, Educator | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital dan Teknologi | Alumni AAI STA Queensland Uni of Technology, 2019 | Awardee LPDP, 2016 | University of Wollongong, Australia | Mafindo Researcher | Kompasianer of The Year 2018 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | Email: lumakto.giri@gmail.com
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.