Pada tanggal 25 Februari, satu minggu sebelum kasus positif corona pertama di Indonesia, pemerintah menerbitkan stimulus ekonomi jilid I dengan menggelontorkan anggaran sebesar Rp10,3 triliun sebagai upaya mendorong pertumbuhan ekonomi domestik di bidang pariwisata: negara memberikan diskon besar-besaran untuk tiket pesawat dan kamar hotel.
Fakta ini membuktikan bahwa mitigasi ekonomi, dalam hal ini adalah pasar, lebih diutamakan daripada mitigasi penyebaran virus sedini mungkin.
Stimulus selanjutnya yang berjilid-jilid hanya mengulangi hal yang sama: pasar adalah kunci. Sebagian dari kita mungkin akan mengajukan argumen: menyelamatkan ekonomi berarti menyelamatkan manusia. Oleh karena itu, kebijakan kenormalan baru adalah satu-satunya jalan yang mesti ditempuh untuk menyelamatkan ekonomi; memutar kembali roda perekonomian dan menjalankan kembali sirkulasi yang macet. Argumen ini tidak salah. Hanya saja, prioritasnya sama sekali berbeda.
Ada hal menarik yang dikemukakan Yuval Noah Harari di bukunya, Money (2018), tentang hikayat uang sebagai kontruksi psikologis ketimbang realitas material; bahwa kita memercayai uang sebagai penggerak roda perekonomian karena orang lain juga memercayai hal yang sama, dan secara bersamaan, orang lain percaya bahwa kita memercayai hal yang sama pula.
Padahal, di sisi yang lain, uang tidak inheren dengan kandungan yang dimilikinya; tidak pragmatis—ia cuma selembar kertas, sebongkah besi, bahkan berupa data komputer.
Menurut Yuval, uang memiliki prinsip konvertibilitas universal: ia bisa merubah sesuatu menjadi sesuatu yang lain secara kualitas—bersifat alkemis. Dengan uang, seseorang bisa mengubah tanah menjadi kesetiaan—seorang petani menjual tanah ladangnya untuk membeli seorang budak; keadilan menjadi kesehatan—seorang hakim akan membayarkan sejumlah uang untuk pengobatan rumah sakit; dan otot menjadi otak—seorang tentara menghabiskan uang tunjangannya agar anaknya bisa sekolah tinggi. Pendeknya, segala hal bisa dikonversi oleh uang.
Akan tetapi, uang memiliki sisi gelapnya sendiri. Betul bahwa uang bisa membangun kepercayaan antara orang-orang yang tidak saling mengenal. Namun, kata Yuval, kepercayaan itu sesungguhnya diinvestasikan bukan pada manusia, masyarakat, atau nilai-nilai sakral, melainkan pada uang itu sendiri.
Yuval menulis: “Kita tidak memercayai orang asing, atau tetangga sebelah rumah, kita percaya pada koin yang mereka pegang. Jika mereka kehabisan koin, kita kehabisan kepercayaan.”
Oleh karenanya, orang bergantung pada uang untuk memfasilitasi kerja sama antar orang-orang yang tak saling kenal. Akan tetapi manusia pada dasarnya takut bahwa uang akan mendesakralisasi nilai-nilai, atau bahkan relasi intim manusia.
Pada akhirnya, manusia akan membangun cara pandang baru untuk melindungi masyarakat, agama, bahkan lingkungan dari penghambaan buta kepada pasar.
Dan inilah yang seharusnya kita butuhkan sekarang untuk melawan pandemi: kepercayaan pada kemanusiaan tanpa batas, bukan kepada pasar—tidak hanya dilakukan pada skala nasional tetapi juga transnasional.
Pandemi mungkin tidak akan menyebar dengan cepat ketika negara-negara besar dan berpengaruh percaya pada apa yang dikabarkan oleh para ahli kesehatan; atau pemerintah di negara kita mungkin akan melakukan mitigasi penyebaran dengan cepat tanpa mempedulikan berapa harga yang harus dibayar karena negara percaya bahwa seluruh dunia akan membantu, dan di saat yang bersamaan, negara-negara lain turut memercayai hal yang sama, dan pada akhirnya, mereka bisa saling membantu.
Mengutamakan mitigasi ekonomi dengan memasifkan kerja-kerja di tengah wabah bisa menempatkan diri mereka, orang-orang yang dipaksa menjalani aktivitas normal di situasi abnormal, dan orang lain di sekitarnya, berada dalam bahaya dari segi manapun.
Prinsip pertama negara sudah seharusnya membantu tanpa syarat, terlepas dari berapa biaya yang harus dikeluarkan. Mereka membutuhkan bantuan dari negara untuk kelangsungan hidup mereka, bukan sebaliknya.
Negara perlu membangun kepercayaan kepada publik, mengerahkan mitigasi yang sempurna, dan memutus keberjarakan dengan para ahli kesehatan—nomor yang terakhir menjadi penting mengingat selama ini, dengan kapasitas keilmuannya, anjuran dari para ahli kesehatan justru kerap dinomorduakan.
Sejarah memiliki fungsi agar manusia tak terperosok ke kubangan yang sama. Globalisasi turut campur tangan dalam penyebaran pandemi dan membuatnya bergerak melintasi satu ujung dunia ke ujung dunia lain secepat kilat. Namun, wabah adalah peristiwa sejarah dan di setiap peristiwa selalu saja ada peringatan, dan kita bisa belajar mengenai hal itu dari tragedi bom atom Hiroshima.
Baca:
Kita Perlu Belajar dari Tragedi Bom Atom Hiroshima (Bagian 1)