Jumat, Oktober 11, 2024

Kita Butuh Kurikulum Toleransi di Sekolah

Wilson watu
Wilson watu
Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero

Kampanye dan perdebatan dalam pilpres kali ini sepertinya melupakan aspek penting lain dalam pendidikan yang sebenarnya punya relevansi untuk diperdebatkan yaitu soal model pendidikan/kurikulum. Kita hampir tidak menemukan pembahasan mendetail tentang pendidikan dalam setiap kampanye capres/cawapres yang sedang bertarung sekarang ini.

Mungkin, secara taktis tema pendidikan kurang populer untuk menjadi lahan garap yang bisa memberikan dampak elektoral bagi para kontestan. Kalau pun dibahas toh itu hanya menjadi isu anggaran semata, tak lebih tak kurang. Saya melihat bahwa justru di situ letak permasalahannya. Isu pendidikan merupakan isu yang kompleks yang tidak dapat dipersempit pada alokasi anggaran saja.

Sebab itu, jika para capres/cawapres ingin membahas masalah pendidikan, maka mereka harus keluar dari penjara politik anggaran menuju pada isu pendidikan yang lebih luas dan relevan untuk dibahas dan salah satu di antaranya adalah tentang masalah intoleransi di dalam lembaga pendidikan.

Pemetaan Toleransi di Sekolah

Pemetaan tentang gambaran toleransi dalam lembaga pendidikan di Indonesia dapat dilihat dalam survei-survei beberapa tahun terakhir ini (tahun 2015-2018). Survei Setara Institute pada 2015 yang dilakukan pada 171 SMU Negeri, dengan sampel 114 sekolah, menemukan 8,5 persen anak sekolah setuju dasar negara pancasila diganti dengan negara berbasis agama dan 7,2 persen siswa setuju eksistensi gerakan ISIS.

Begitu juga Survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) yang dilakukan Desember 2015. Hasil itu menunjukkan bahwa terdapat 4 persen warga berusia 22-25 tahun dan 5 persen warga yang masih sekolah dan kuliah mengenal ISIS dan menyatakan setuju dengan apa yang diperjuangkan ISIS.

Pada tahun 2016 juga Setara Institute juga melakukan penelitian pada tingkat regional yaitu pada tingkat provinsi. Survei kali ini dibatasi pada pada siswa SMA Negeri Se-Jakarta-Bandung Raya. Hasil survei menunjukkan, 61 persen siswa memiliki sikap toleransi, 35,7 persen intoleran pasif atau puritan, 2,4 persen intoleran aktif atau radikal, dan 0,3 persen berpotensi menjadi teroris.

Tahun 2017 riset Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian UIN Syarif Hidayatullah menemukan 25 persen siswa dan 21 persen guru menyatakan Pancasila tak relevan lagi. Selain itu ada 84,8 persen siswa dan 76,2 persen guru setuju penerapan syariat Islam di Indonesia. Yang mengejutkan adalah bahwa 52 persen siswa setuju dengan kekerasan demi solidaritas agama dan 14 persen di antara responden itu membenarkan serangan bom.

Tahun 2018 Survei yang dilakukan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta terhadap 2.237 guru muslim TK hingga SMA di Indonesia menunjukkan, lebih dari separuh atau 56,9 persen (6,03 persen sangat intoleran, 50,87 persen intoleran) beropini intoleran terhadap pemeluk agama selain Islam. Sebagian di antaranya setuju dengan pendirian negara Islam.

Survei-survei di atas menunjukkan bahwa ada celah dalam pendidikan kita yang membutuhkan perhatian yang serius serta visi yang jelas. Celah itu adalah intoleransi. Keadaan ini ibarat api dalam sekam yang diam-diam menjalar dan dapat menumbulkan masalah yang lebih besar nantinya jika tidak diatasi dengan cepat dan tepat. Pertanyaannya adalah apakah celah ini bisa ditambal hanya dengan menggelontorkan sejumlah alokasi dana melalui politik anggaran? Tentu saja tidak.

Pendidikan Toleransi

Sosiolog Indonesia Ignas Kleden pernah menulis satu tema yang cukup menarik tentang tema pendidikan yaitu tentang kapasitas linking dan delinking. Istilah ini sebenarnya merupakan istilah kebudayaan yang diadopsi untuk kemudian dipakai dalam menjelaskan kapasitas yang harus ada dalam sistem pendidikan kita.

Dalam lingkup kebudayaan linking dan delinking merupakan kemampuan untuk mengaitkan dan menghubungkan diri dengan (linking) serta melepaskan (delinking) diri dari sistem nilai yang dianut (Ignas Kleden, 2004:148-149). Dalam dunia pendidikan, linking berkaitan dengan kemampuan institusi pendidikan mengaitkan relevansi pembelajarannya pada kehidupan masyarakat konkret. Dalam konteks ini, sekolah adalah miniatur masyarakat di mana anak dipersiapkan untuk masuk dalam kehidupan masyarakat. Singkatnya pendidikan mesti relevan bagi kehidupan sosial.

Namun, tak berhenti pada linking, institusi pendidikan mesti memiliki juga kapasitas delinking. Itu artinya, kendati pun sekolah merupakan miniatur masyarakat, toh sekolah tidak identik dengan masyarakat. Institusi pendidikan seperti sekolah mestinya juga mampu melepaskan diri dari masyarakat. Ini penting terutama ketika kehidupan sosial dalam masyarakat sudah dicemari dengan permasalahan sosial seperti intoleransi, korupsi, tawuran serta berbagai masalah lainnya.

Jika tidak, maka sekolah akan menjadi “miniatur masalah sosial” sebab masalah-masalah sosial yang ada di dalam masyarakat tumbuh subur di dalam institusi pendidikan. Sekolah mesti mengambil peran sebagai “miniatur kehidupan ideal”.

Sebagai contoh misalnya, sekolah-sekolah dianjurkan untuk merancang kegiatan yang berkaitan dengan interaksi dengan para siswa dari pemeluk agama lain. Tentang pendidikan toleransi, satu contoh menarik dari Flores-Nusa Tenggara Timur (NTT) bisa membantu.

Salah satu lembaga pendidikan bagi para calon pemimpin umat Katolik, yaitu Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero telah lama menjalin kerja sama dengan salah satu pesantren di Kabupaten Ende untuk mengirimkan tenaga pengajar yang nota bene merupakan calon pemimpin umat katolik ke pesantren tersebut sebagai tenaga pengajar setiap tahun. Kerja sama itu sudah berlangsung hampir sepuluh tahun.

Di pesantren tersebut mereka bertugas untuk membantu para pendamping santri mendidik para santri menjadi pemeluk agama Islam yang baik. Mereka menjadi pendamping para santri secara full time tanpa ada ketakutan pada isu kristenisasi. Para calon imam dan para santri saling belajar menghidupi toleransi dalam interaksi sehari-hari.

Di sana mereka makan bersama, belajar bersama, serta bekerja bersama. Setiap pagi calon imam katolik yang bertugas di pesantren tersebut membangunkan para santri mempersiapkan diri untuk Sholat. Mereka tetap berdoa dan menghidupi imannya dengan caranya masing-masing. Di tempat kuliah, para calon imam Katolik tersebut belajar juga filsafat Islam secara mendalam sebagai bagian dari pengenalan dan penghargaan terhadap agama lain.

Belajar dari contoh di atas, pendidikan toleransi sebenarnya berangkat pada dua ranah yaitu pada ranah teoretis berupa pengetahuan tentang toleransi serta ranah praktis berupa interaksi dengan yang berbeda keyakinan maupun pandangan.

Penyelesaian terhadap masalah intoleransi pun tak hanya bisa dikembalikan pada politik anggaran semata. Kita berharap agar isu pendidikan dalam pilpres kali ini dapat diangkat pada taraf yang lebih tinggi, melampaui politik anggaran, menuju pada model pendidikan toleransi sebab itu yang lebih relevan. Ini penting sebab, mengutip Helen Keller, “toleransi adalah hasil tertinggi dari pendidikan”.

Wilson watu
Wilson watu
Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.