Manado yang selalu saya suka, di beberapa tempat tertentu, kita masih bisa menemukan keramaian lepas tengah malam, industri berkembang cepat disini, arus wisatawan yang makin masif membuat kota manado menata diri. tidak terkecuali kawasan pecinan, orang sekitar biasa menyebutnya kampung cina.
Lampion dengan warna khas merah di gantung menyilang diantara gedung – gedung yang menghimpit jalan, di bagian kiri dan kanan, sepanjang jalan, digelar jajanan, panganan khas cina, klokal, kuliner yang rigan, sampai yang jarang di dengar telinga. Dengan harga yang terjangkau, layak jika tempat ini bisa ramai sampai larut malam.
Menelusuri jalanan di pasar malam ini membuat saya seperti berada di negara asal muasal lampion-lampion ini, atau yang paling dekat, membuat saya mengingat kembali perayaan Tahun Baru Cina beberapa bulan lalu, sebelum pasar ini berdiri, itu kali pertama saya menyaksikan langsung perayaan Imlek.
Setelah selesai dengan kopi, kami yang berada di jalur paling sibuk kota manado memutuskan jalan – jalan. Muhamad Iqbal Suma, malam itu, mengajak saya dan beberapa kawan menelusuri tempat ini, kawasan kampung cina. Tidak seperti biasanya, persimpangan jalan yang selalu lenggang jika sudah larut malam itu ramai dengan kendaraan.
Kami yang beriringan dengan kendaraan bermotor menemui kemacetan, saya pikir tidak akan seramai ini, orang – orang berjalan kaki, sepanjang pingiran jalan menuju kawasan Pecinan subur menjadi lahan parkir. Tidak berselang lama kami juga ikut memarkirkan kendaraan di pinggiran jalan, mengikuti arus orang – orang melangkahkan kaki.
Tujuan tentunya menyaksikan pagelaran kembang api yang selalu rutin tiap tahun dilaksanakan, saat malam pergantian tahun baru cina.
Kami tidak merasa aneh, dan tidak ada yang aneh, disini, bukan hanya kami saja yang bukan masyarakat keturunan cina, ini yang membuat saya tertarik, perayaan menjadi milik siapapun, disini, kalian dapat melihat mungkin seluruh kota manado merayakannya, dari suku, ras, dan agama apapun, termasuk kami yang memutuskan untuk ikut bersuka cita bersama warga kampung cina malam itu.
Kalau murut Muhamad Iqbal, ia adalah sesuatu yang unik, sayapun menganggapnya demikian “bukan hanya namanya Cina tapi karena letaknya yang berhadapan dengan kampung Arab.”
Benar saja, letak kampung cina di kota manado ini hanya terpisah jalan dari Kampung Arab, tepat berhadap – hadapan, dihuni warga muslim keturunan Arab.
Gambaran toleransi yang utuh, dan telah terjalin puluhan tahun.
Setelah berusaha menembus kerumunan, kami mendapatkan tempat di bagian depan halaman Klenteng Ban Hin Kiong untuk menyaksikan kembang api yang berlangsung selama kurang lebih satu jam, sorak sorai warga, hiasan-hiasan yang berwarna menyala, dan kembang api yang seakan ingin mengguyur Ban Hin Kiong membuat kami bersuka cita.
Ini adalah tempat ibadah Tri Dharma tertua di kota manado, didirika abad 19 tepatnya pada tahun 1819. Nama Ban Hin Kiong sendiri memiliki makna “Istana Penuh Berkah”. Penamaannya terdiri dari tiga kata, yakni “Ban” yang berarti “banyak”, “Hin” berarti “berkah berlimpah”, dan “Kiong” berarti “istana”.
Belakangan, baru saya tahu, harga dari sebuah suka cita atas toleransi di Halaman Klenteng Ban Hi Kiong itu teramat mahal. Keceriaan warga keturunan cina malam itu pernah berubah dirundung cekaman, kemegahan yang kami saksikan di halaman itu pernah runtuh, disulut kebencian yang buta.
Tempat dimana kami berdiri, dengan tepuk tangan dan sorak sorai malam itu pernah dihampiri peristiwa paling kelam, Tuhan perlu dibela dengan membabi buta, mereka merasa harus membentengi agama.
Ban Hin Kiong, menurut beberapa sumber pernah dibakar oleh orang – orang yang terpancing provokasi pada 14 Maret 1970, konflik atas nama kesucian, kebaikan yang diajarkan, disajikan dengan cara yang berbeda. Menghendaki kekerasan untuk membela apa yang menurut mereka baik, untuk mengusik kebaikan lainya bukankah itu percuma.
Lama sudah kejadian itu, sebelum kita mendengar kembali, di Sri Lanka, jemaat missa paskah yang khidmat berebut keluar gereja, Kolombo tiba-tiba muram, sebanyak enam Bom meledak menimpa tiga gereja dan tiga hotel.
selain daripada itu, ditempat lain, sebelumnya kita melihat pemberitaan soal penembakan umat muslim yang sedang beribadah Jumat di Masjid kota Christchurch Selandia Baru, di setiap tempat, di belahan dunia lain, jauh dari halaman klenteng Ban Hin Kiong, ingatan kita masih utuh, tentang peristiwa intoleran tahun-tahun belakang.
Perbedaan seharusnya jadi sesuatu yang indah, bedah bukan artinya musuh bukan ? agama harusnya jadi sumber kebaikan, menghalangi kebencian yang menular. Mengapa kita tidak saling memandang sebagai kebaikan ? Bukan malah menilai kebaikan orang yang “berbeda” dengan kita sebagai jalan, untuk memperlihatkan bahwa yang kita yakini adalah paling “baik”.
Kini, Klenteng Ban Hin Kiong telah berdiri kembali, kami berada di halamannya, masuk kedalam, dan berbagi kegembiraan tahun baru imlek bersama warga Tionghoa di kampung cina. Saya tidak lupa kali pertama masuk di tempat ibadah ini, bau dupa, kerumunan orang yang mencari spot untuk berfoto, dan yang paling penting, tidak ada perbedaan.
Saya hanya melihat kebersamaan, tidak ada yang dominan, walaupun ini berada di kawasan Pecinan. Kami tidak membicarakan yang banyak, kuat dan mayoritas punya kuasa untuk menindih yang sedikit, lemah dan minoritas. Tidak ada yang kalah dari luapan kebencian.
Rasa kerukunan yang saya nikmati, di atas tanah klenteng Ban Hin Kiong malam itu pernah terbakar, berpuluh-puluh tahun yang lalu. Hari ini, ia membuka diri untuk siapapun, di bawahnya kita belajar melihat toleransi.
Disana, dari sisa-sisa kebencian, kita belajar, betapa indahnya toleransi, bukankah puncak dari agama adalah rasa cinta terhadap sesama.