Kelompok musik Koes Bersaudara yang dulu dikenal dengan gaya rock and roll harus pindah haluan akibat pelarangan musik ngak ngik ngok oleh Presiden Soekarno. Koes Bersaudara yang kemudian berganti nama menjadi Koes Plus mulai menciptakan lagu-lagu sendu seperti “Telaga Sunyi” dan “Kisah Sedih di Hari Minggu”.
Walau berbeda dari karya sebelumnya lagu-lagu tersebut tetap sukses besar. mengikuti jejak Koes Plus, di Tahun 70-an Pandjaitan Bersaudara (Panbers) yang awalnya memainkan rock psikedelik juga beralih ke pop balada. Lagu berjudul “Gereja Tua” dan “Terlambat Sudah” sangat bertentangan dengan karya panbers sebelumnya seperti “Jakarta City Sound” yang terdengar lebih keras dan eksperimental.
Pada Era itu muncul juga band-band dengan irama mendayu seperti The Mercys, Favourite’s Group, dan D’Lloyd dan berhasil menguasai pasar. Melihat kondisi ini beberapa musisi dari berbagai genre ikut-ikutan membuat lagu mendayu bahkan band-band cadas pun juga manfaatkan kondisi ini dengan merilis lagu ballad tanpa meninggalkan identitas rocker-nya sebut saja AKA dengan “Badai Bulan Desember” dan The Rollies dengan “Kau yang Kusayang” yang malah lebih dikenal oleh masyarakat ketimbang karya cadasnya. Pencampuran jenis ini merupakan cikal bakal sub genre slow rock seperti karya-karya Deddy Dores.
Musik berirama sendu dengan lirik yang menyedihkan mencapai puncak keemasan di dekade 80-an. Obbie Messakh, Rinto Harahap, dan Pance F Pondaag merupakan tiga nama komposer yang merajai tangga lagu mainstream saat itu. Tema patah hati, penderitaan, tangis sesenggukan, hingga kasus KDRT menjadi mesin uang bagi label rekaman seperti JK Records dan Lollypop. Christine Pandjaitan, Nia Daniaty, dan Dian Pisesha adalah bintang – bintang yang sukses membawakan peran wanita yang terzalimi pada setiap penampilannya di TVRI. Fenomena ini persis seperti lirik band Efek Rumah Kaca “Apa memang karena kuping melayu suka yang sendu-sendu” di lagu ‘Cinta Melulu’.
Selera masyarakat ternyata tidak sejalan dengan selera musik rezim. Lewat Menteri Penerangan Harmoko, pemerintah berpendapat bahwa lagu-lagu cengeng tidak bisa menumbuhkan semangat kerja. Harmoko juga menyebut Hits “Hati Yang Luka” yang dirilis tahun 1988 ciptaan Obbie Messakh dan dinyanyikan Betharia Sonata mengandung lirik yang ‘melumpuhkan semangat’, hal itu dinilai sangat kontradiktif dengan semangat pembangunan yang digaungkan pemerintah orde baru.
Pada perayaan ulang tahun TVRI ke-26, Harmoko mengatakan dengan tegas “Stop lagu-lagu semacam itu.” merujuk pada lagu-lagu cengeng dan keseluruhan acara pun dipenuhi dengan pertunjukkan musik yang ceria. Mulai detik itu juga TVRI dan RRI dilarang memutarkan lagu-lagu cengeng.
Menanggapi pelarangan tersebut, Obbie Messakh sebagai pencipta lagu berpendapat dari sisi seniman
“Saya mencipta berdasarkan apa yang saya lihat dan saya alami. Itu adalah gambaran nyata dari kehidupan ini.”
katanya seperti dikutip Yock Fang Liaw dan Leo Suryadinata dalam Essential Indonesian Reading: A Learner’s Guide (2005: 48). Rinto Harahap menanggapi dari sisi ekonomi bahwa lagu semacam itu justru banyak diminta masyarakat, terbukti telah terjual ratusan ribu kaset. Pelarangan seperti ini malah membunuh industri kreatif yang sedang bagus-bagusnya. Akhirnya musik pembangkit air mata pun jadi mati gaya.
Pelarangan musik pop cengeng menjadi momentum bagi musisi – musisi beraliran jazz fusion dan new wave yang kental dengan bunyi-bunyian dari alat synthesizer untuk menunjukkan taringnya. Media menyebutnya sebagai pop kreatif, kata tersebut terdengar beken seperti musiknya yang kaya akan sound elektronika modern dan notasi kompleks mirip musik city pop Jepang yang belakangan naik lagi pamornya. Diksi pop kreatif sendiri seakan menggiring opini masyarakat bahwa aliran ini lebih keren dan mewakili gemerlap kehidupan perkotaan dibandingkan pop cengeng yang norak, kampungan, dan ketinggalan jaman.
Pengusung aliran pop kreatif seperti Fariz RM, Candra Darusman, Dian Pramana Poetra, Dodo Zakaria, Utha Likumahua, dan banyak lainnya meraih popularitas di era ini. Ada pula Band seperti Krakatau, Emerald, dan Karimata yang namanya sudah lebih dulu wangi di ajang festival Yamaha Light Music Contest jadi bisa menunjukkan bakatnya di layar kaca. Talenta pop kreatif juga mengharumkan nama bangsa di kancah internasional. Harvey Malaiholo memenangkan Kawakami Award pada ajang World Pop Music Festival di Jepang tahun 1982. Pada tahun 1985 Vina Panduwinata memenangkan penghargaan yang sama dan mendapat julukan “Si Burung Camar”.
Jika kita tarik ke belakang, Sejarah musik pop kreatif dimulai pada tahun 1977. Ketika TVRI dan RRI sebagai hiburan masyarakat masih memutarkan lagu pop cengeng, Radio Prambors Merilis album “Lomba Cipta Lagu Remaja” (LCLR) yang seakan menyeruduk stagnasi musik nasional. Lagu “Lilin-lilin kecil” karangan James F Sundah dan lagu “Apatis” karangan Inggrid Widjanarko merupakan dua dari sekian karya idealis dari album tersebut yang jauh dari kesan komersil jika melihat selera pasar saat itu.
Pada tahun yang sama, album debut Chrisye “Jurang Pemisah” yang diaransemen Jockie Surjopyayogo juga sedang diproduksi. Album OST “Badai Pasti Berlalu” dengan Eros Djarot sebagai music director juga dirilis di tahun itu dan dinobatkan sebagai peringkat #1 “150 Album Indonesia Terbaik” versi majalah Rolling Stone Indonesia pada 2007. Selain album-album diatas, karya eksperimental dari Guruh Gipsy dan “Opera Rock Ken Arok” dari Harry Roesli Gang juga menjadi akar yang memperkuat pertumbuhan musik pop kreatif.
Musisi pop Kreatif juga kerap melakukan kolaborasi seperti grup 7 Bintang yang beranggotakan Deddy Dhukun, Malyda, Mus Mujiono, Dian Pramana Poetra, Trie Utami, Atiek CB., dan Yopie Latul masih bertahan hingga saat ini walau sudah mengalami banyak pergantian personil namun tetap mempertahankan konsep musisi 80-an. Ada juga grup vokal yang semua personilnya wanita yaitu Rumpies yang beranggotakan Malyda, Trie Utami, Vina Panduwinata, dan Atiek CB. Kolaborasi bahkan pernah terjadi antara musisi pop cengeng dan pop kreatif saat Chrisye membawakan ulang lagu “Kisah Kasih di Sekolah” milik Obbie Messakh tahun 2002.
Mungkin benar adanya jika kita menyebut tren sebagai hal yang repetitif. Buktinya kejadian seperti pop cengeng vs pop kreatif seperti terulang kembali di pertengahan 2000-an saat band-band pop melayu seperti Kangen Band, Radja, Wali, dan ST12 meramaikan acara musik pagi di televisi beriringan dengan band-band indie seperti The Upstairs, The Adams, White Shoes and The Couples Company, Mocca, hingga The Sigit merajai acara pensi sekolahan. Penikmat musiklah yang saat itu secara vokal membela jenis musik kegemaran masing-masing dan mencela musik lainnya. Berbeda dengan era 80-an, sisi baiknya adalah masyarakat era 2000-an memiliki lebih banyak pilihan media dan pemerintah era itu tidak lagi ikut campur soal tema karya musik sehingga segmentasi musik terasa lebih adil.
Sumber:
Harmoko adalah Sebenar-benarnya Snob Musik Indonesia
Jejak Melankolis Legenda Rock Indonesia
Sejarah Pelarangan Lagu Cengeng Zaman Orde Baru
Sakrie, Denny. 100 Tahun Musik Indonesia. 2015. Jakarta: GagasMedia
Essential Indonesian reading: a learner’s guide