Jumat, April 26, 2024

Ketupat dan Memaafkan Secara Virtual

Rohmatulloh
Rohmatulloh
Dosen Universitas Islam An Nur Lampung

Fajar 1 Syawal telah terbit. Ini menandakan bahwa hari kemenangan bagi umat Islam yang menjalankan ibadah puasa dan ibadah lainnya di bulan ramadhan akan segera diraih. Dalam tradisi masyarakat Islam Indonesia, biasanya kurang lengkap jika tidak ada makanan yang menjadi ciri hari kemenangan ini yang sudah menjadi tradisi atau budaya, yaitu ketupat. Sebenarnya kalau di masyarakat Jakarta atau betawi, ketupat juga menjadi tradisi pada pertengahan bulan ramadhan kemaren yang menjadi sajian setelah salat tarawih.

Satu hari sebelum menjelang satu syawal, biasanya orangtua sudah sibuk mencari bahan-bahannya di pasar sejak pagi. Anak-anak juga turut sibuk membantu orangtua membuat ketupat. Semoga sekarang masih banyak yang menjual daun kelapanya baik yang sudah dianyam ketupat maupun yang masih daun walupun masih ada pandemi Covid-19 di mana-mana.

Sebenarnya ketupat ini bukan masalah tradisi yang sekedar menandakan bahwa Idul Fitri sudah akan segera tiba, namun lebih dari itu dalam rangka mengingatkan kita agar di bulan kemenangan ini dapat mengambil hikmah atau nilai pendidikan akhlak atau karakter dari sebuah ketupat.

Rianti, dkk (2016) dalam artikelnya berjudul Ketupat as traditional food of Indonesian culture menjelaskan tentang makanan tradisional ketupat yang dalam sejarahnya telah ada sejak abad XV dan diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga sebagai salah satu tokoh dari sembilan wali (wali songo) penyebar Islam di nusantara.

Ketupat lebih dekat dengan tradisi perayaan bagi masyarakat muslim di Jawa dan menyebar ke seluruh Indonesia. Bahkan menyebar juga ke negara lain seperti Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam seiring dengan penyebaran Islam yang membawa tradisi ketupat pada perayaan Idul Fitri.

Ketupat yang bentuknya secara fisik berbentuk persegi empat, memiliki makna filosofis dalam bahan yang digunakan dan bentuknya. Beras sebagai simbol nafsu dan daun yang singkatannya dari jatining nur atau cahaya sejati, artinya hati nurani. Ketupat digambarkan sebagai simbol nafsu dan hati nurani, di mana manusia harus mampu menahan nafsu dunia dengan nuraninya. Bentuk anyamannya yang rumit menunjukkan kesalahan manusia. Warna putih pada isinya bermakna kebersihan dan kemurnian hati setelah memaafkan orang lain. Bentuk berlian bermakna kemenangan umat Islam setelah puasa.

Dalam masa pandemi Covid-19 ini, kalau kita perhatikan banyak sekali kita jumpai berbagai kesalahpahaman sesama anggota masyarakat dalam menyikapi wabah ini. Hal ini diperparah juga dengan banyaknya informasi hoax yang disengaja disebar oleh pihak yang tidak bertanggung jawab untuk memecah belah kerukunan di masyakarat. Berdasarkan penyampaian Menteri Komunikasi dan Informatika, selama pandemi ini ada 554 isu hoax yang tersebar (detiknews, 18/04/2020).

Maka dari itu, sebagai warga dan masyarakat Indonesia, marilah kita untuk mengambil sebuah nilai pendidikan akhlak dari tradisi ketupat yang sudah familiar sejak kita masih kecil dalam perayaan Idul Fitri. Memang tak bisa dipungkiri bahwa manusia tempatnya salah seperti yang digambarkan oleh bentuk ketupat yang rumit anyamannya. Tapi di sisi lain, sesuai dengan bahan ketupat yang terbuat dari beras dan daun mencerminkan bahwa nafsu manusia masih dapat dikendalikan oleh hati nuraninya.

Jika merujuk pada pembahasan hati menurut ahli etika Islam al-Ghazali dalam Ihya ‘Ulumuddin (Menghidupkan kembali Ilmu Agama atau The revival the religious science), menjelaskan bahwa ruh atau hati atau jiwa memiliki keajaiban karena karakteristiknya yang unik, terdiri dari empat bentuk dan setiap bentuk merupakan perwujudan dari materi (fisik) dan imateri (non fisik) yang saling berhubungan.

Salah satu bentuknya yang ketiga menurutnya adalah nafs yang maknanya adalah nafsu dan termasuk ke dalam golongan ini, yakni nafs al-lawwâmah untuk menggambarkan nafsu yang belum tenang. Jika sudah penuh tunduk pada setan maka disebut nafs al-ammâratun bis-sû’. Makna kedua bertentangan dengan makna sebelumnya adalah jiwa atau hati yang sudah tenang mengalahkan hawa nafsu, yakni nafs al-muthma’innah.

Dengan demikian, momentum hari kemenangan ini menjadi kesempatan bagi kita untuk menundukkan nafsu kita yang masih dikendalikan oleh setan atau yang belum tenang agar dapat dikendalikan dengan hati yang tenang melalui media saling melakukan maaf-maafan walaupun dilakukan secara virtual menggunakan aplikasi media sosial di mulai dari lingkungan terkecil, yaitu keluarga besar, Rukun Tetangga (RT), Rukun Warga (RW), desa, kecamatan, dan seterusnya.

Seraya sambil saling mendo’akan dengan Taqabbalallahu minna wa minkum, Semoga Allah menerima amalku dan amal kalian. Memang terasa sedih bagi kita yang biasanya dapat berkumpul dengan keluarga besar dan merasakan mudik walaupun harus macet-macetan. Tapi ini adalah jalan terbaik yang dapat kita lakukan agar dapat memutus rantai penularan covid-19 ini. Selamat Idul Fitri 1441 Hijriah. Wallahua’lam.

Rohmatulloh
Rohmatulloh
Dosen Universitas Islam An Nur Lampung
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.