Siapa sangka, platform yang awalnya hanya untuk video dance lucu kini menjadi mesin penjualan raksasa? TikTok Shop telah mengubah cara kita memahami ekonomi digital, terutama di Indonesia yang menjadi pasar TikTok terbesar dunia dengan 157,6 juta pengguna aktif (Larsen, 2024). Namun, di balik gemerlap kesuksesan platform ini, tersembunyi transformasi mendasar yang patut kita perhatikan: kreativitas sedang berubah menjadi komoditas dengan cara yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Kreativitas yang Terkekang Algoritma
Dulu, para content creator membuat video karena mereka punya ide kreatif yang ingin dibagikan. Kini, mereka harus berpikir: “Apakah video ini bisa laku dijual?” Inilah yang disebut Vincent Mosco (2009) sebagai komodifikasi konten, namun dalam bentuk yang jauh lebih canggih. Platform tidak lagi sekadar mengubah konten jadi produk setelah dibuat, melainkan memaksa kreator untuk memikirkan aspek komersial sejak awal proses kreatif.
Bayangkan seorang beauty influencer yang awalnya suka berbagi tips kecantikan. Sekarang, setiap kali dia hendak membuat video, pikirannya sudah dipenuhi pertanyaan: produk apa yang bisa dijual? Bagaimana cara mengintegrasikan promosi tanpa terlihat memaksa? Algoritma TikTok pun “menghukum” video yang tidak menghasilkan transaksi dengan menurunkan jangkauan organik.
Pengguna Sebagai Pekerja Tak Dibayar
Sementara itu, kita sebagai pengguna juga tanpa sadar menjadi “pekerja” tanpa gaji. Setiap scroll, like, dan durasi menonton video yang kita lakukan menghasilkan data berharga bagi platform. Konsep “audience labor” dari Dallas Smythe yang dikembangkan Mosco kini berkembang menjadi lebih kompleks (Fuchs, 2015). TikTok tidak hanya menjual perhatian kita kepada pengiklan, tetapi juga menggunakan perilaku kita untuk melatih algoritma yang semakin pintar dalam memprediksi apa yang akan kita beli.
Couldry dan Mejias (2019) menyebut fenomena ini sebagai “kolonialisme data” dimana platform mengambil data kita untuk keuntungan mereka sendiri. Setiap gerakan mata saat melihat produk, setiap jeda ketika menimbang-nimbang pembelian, semuanya terekam dan menjadi aset ekonomi yang bernilai miliaran rupiah.
Kreator: Bebas Tapi Terjebak
Para kreator di TikTok Shop mengalami paradoks unik. Mereka merasa bebas berkarya, tidak ada bos yang mengatur jadwal kerja, namun kenyataannya mereka terjebak dalam sistem yang lebih ketat dari pekerjaan kantoran biasa. Mereka harus online 24 jam, membalas komentar, mengikuti tren yang berubah cepat, dan yang paling penting: mematuhi selera algoritma yang tidak pernah dijelaskan secara transparan.
Huws (2014) dalam analisisnya tentang cybertariat menunjukkan bagaimana teknologi digital menciptakan bentuk kerja prekarius baru. Di TikTok Shop, para kreator bekerja tanpa jaminan kesehatan, tanpa cuti, tanpa perlindungan hukum sebagai pekerja. Mereka disebut “mitra konten” padahal bekerja lebih keras dari karyawan tetap.
Platform mengambil komisi 2,5% dari setiap penjualan, sementara kreator menanggung semua risiko: jika algoritma berubah dan konten mereka tidak lagi populer, pendapatan bisa langsung anjlok tanpa ada yang bisa mereka lakukan.
Komodifikasi Masa Depan
TikTok Shop tidak hanya mengkomodifikasi apa yang ada sekarang, tetapi juga masa depan. Platform menggunakan data perilaku pengguna Indonesia untuk membangun model prediksi yang bisa meramalkan tren konsumen di negara lain. Data kreativitas dan preferensi kita dijual sebagai “intelligence” bisnis global.
Srnicek (2017) dalam “Platform Capitalism” menjelaskan bahwa platform digital fokus pada ekstraksi dan analisis data sebagai sumber nilai ekonomi utama. TikTok Shop membuktikan hal ini dengan menciptakan sistem di mana setiap detik aktivitas digital kita menghasilkan berbagai bentuk keuntungan secara bersamaan.
Menuju Komodifikasi yang Lebih Kompleks
Kerangka teori komodifikasi Mosco yang terdiri dari tiga dimensi – konten, audiens, dan tenaga kerja – perlu diperluas untuk memahami realitas platform digital saat ini. Kita perlu menambahkan dimensi komodifikasi prediktif (mengubah kemungkinan perilaku masa depan menjadi komoditas) dan komodifikasi algoritmik (mengubah proses algoritma itu sendiri menjadi aset ekonomi).
TikTok Shop menciptakan “pemadatan waktu” yang luar biasa: produksi konten, distribusi, dan konsumsi terjadi dalam satu momen yang sama. Ketika seorang kreator live streaming sambil menjual produk, dia sekaligus memproduksi konten, mendistribusikannya, dan langsung mengonversi audiens menjadi pembeli.
Saatnya Berpikir Kritis
Sebagai masyarakat digital, kita perlu lebih kritis memandang fenomena ini. TikTok Shop memang memberikan peluang ekonomi baru, terutama bagi generasi muda Indonesia. Namun, kita juga harus waspada terhadap potensi eksploitasi yang tersembunyi di baliknya.
Pemerintah perlu mengembangkan regulasi yang melindungi hak-hak kreator sebagai pekerja digital, memastikan transparansi algoritma, dan menjamin privasi data pengguna. Platform yang mengambil keuntungan dari kreativitas dan data masyarakat Indonesia harus memberikan kontribusi yang setimpal bagi pembangunan ekonomi digital nasional.
Yang terpenting, kita sebagai pengguna harus menyadari bahwa setiap klik, setiap scroll, setiap pembelian impulsif di platform digital berkontribusi pada sistem ekonomi yang kompleks. Literasi digital bukan lagi sekadar kemampuan menggunakan teknologi, tetapi juga memahami bagaimana teknologi menggunakan kita.
Di era platform capitalism ini, kreativitas dan privasi adalah aset berharga yang harus kita lindungi. Jangan sampai kemudahan berbelanja dan hiburan digital membuat kita lupa bahwa di balik layar, ada mesin kapitalis yang bekerja mengekstrak nilai dari setiap detik kehidupan digital kita.
Referensi:
Couldry, N., & Mejias, U. A. (2019). Data colonialism: Rethinking big data’s relation to the contemporary subject. Television & New Media, 20(4), 336-349.
Fuchs, C. (2015). Dallas Smythe Today–The audience commodity, the digital labour debate, Marxist political economy and critical theory. In Marx and the Political Economy of the Media (pp. 522-599). Brill.
Huws, U. (2014). Labor in the global digital economy: The cybertariat comes of age. NYU Press.
Larsen, K. (2024, December 9). 25 TikTok Statistics in 2025. Retrieved from https://www.kristian-larsen.com/info/tiktok-statistics/
Mosco, V. (2009). The Political Economy of Communication (2nd ed.). SAGE Publications.
Srnicek, N. (2017). Platform Capitalism. Polity Press, Cambridge Malden, MA.