Pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak tahun 2018 memberi banyak kejutan. Selain ada hasil pilkada yang dimenangkan oleh kotak kosong atas calon tunggal, Pilkada 2018 juga diwarnai oleh hasil yang mengejutkam dimana beberapa daerah pilkada justru dimenangkan oleh calon yang berstatus sebagai tersangka kasus korupsi.
Ada dua tersangka kasus korupsi yang menang di pilkada 2018 berdasarkan hitung cepat atau quick count KPU, yakni calon bupati Tulungagung Syahri Mulyo dan calon gubernur Maluku Utara Ahmad Hidayat Mus KPU. Syahri Mulyo yang berpasangan dengan Maryoto Bhirowo meraih 59,8 persen suara.
Perolehan itu berdasarkan 80,82 persen suara yang sudah masuk. Sedangkan Ahmad Hidayat Mus-Rivai Umar meraih 31,82 persen dari 99,11 persen suara yang masuk, unggul dari pesaingnya Abdul Gani Kasuba-M Yasin (CNN Indonesia, Selasa, 03/07/2018).
Seperti yang di ketahui, bahwa Ahmad Hidayat Mus tercatat masih berstatus tersangka di KPK di kasus dugaan pengadaan lahan fiktif saat dia masih menjadi Bupati Kepulauan Sula. Sementara Syahri Mulyo merupakan petahana bupati Tulung agung yang merupakan tahanan KPK terkait dugaan gratifikasi proyek infrastruktur bernilai miliaran rupiah. Dirinya tetap ikut dalam kontestasi pemilihan daerah Tulungagung dan menang.
Ini memang sebuah ironi dan sangat kita sesali bersama dimana di negeri demokrasi terbesar ini masih juga terjadi seorang tersangka korupsi menang dalam pilkada. Mengapa hal ini bisa terjadi? Apakah karena para pemilih menyadari bahwa status tersangka belum mengandaikan kesalahan? Atau, apakah benar masih banyak warga masyarakat kita yang mudah melupakan kasus kejahatan? Atau, apakah banyak warga masyarakat kita yang pemaaf? Atau, kesadaran politik di tengah masyarakat kita masih rendah?
Menurut hemat penulis, ada beberapa faktor yang menyebabkan hal ini terjadi. Pertama, disebabkan oleh sikap masyarakat yang permisif terhadap rekam jejak kandidat. Dimana masyarakat tidak terlalu peduli terhadap kasus yang melekat pada calon kepala daerah yang mereka pilih. Dalam masyarakat yang permisif, kasus korupsi yang sedang dihadapi oleh seorang kandidat tak menjadi cela yang berpotensi mengubur karier politiknya.
Kedua, kemenangan tersangka korupsi bisa jadi karena yang bersangkutan berhasil membangun relasi dengan pemilih. Ini terutama berlaku bagi petahana yang tersangkut korupsi, misalnya dengan mengeluarkan kebijakan yang terkesan pro rakyat dan peduli masyarakat miskin.
Ketiga, Fenomena dimana tersangka kasus korupsi bisa menang pilkada dikarenakan sangat minimnya pemilih rasional dan kritis di daerah tersebut. Minimnya pemilih rasional di tingkat daerah menjadikan minimnya informasi mengenai calon kepala daerah tersebut. Sehingga informasi terkait calon kepala daerah tersebut tidak utuh, termasuk soal rekam jejak terkait kasus korupsi.
Keempat, faktor selanjutnya adalah, bahwa masih rendahnya kesadaran politik masyarakat. Kesadaran politik yang rendah ini diakibatkan karena minimnya pendidikan politik kepada masyarakat. Sehingga masyarakat tidak begitu tertarik dan semangat terhadap setiap hajatan politik seperti pilkada ini. Sehingga membuat masyarakat juga tidak terlalu peduli terhadap para kandidat calon kepala daerah mereka. Jangankan untuk mencari tau seluk-beluk tentang sosok calon kepala daerah mereka, bahkan untuk menggunakan hak suaranya pun masih mikir-mikir. Karena mereka lebih tertarik untuk melakukan rutinitas mereka sehar-hari seperti bekerja, dll.
Kelima, adanya politik uang. Penulis bukan bermaksud untuk menuduh atau bersuudzon kepada orang lain. Hanya saja menurut hemat penulis politik uang saat ini masih menjadi tren buruk dalam setiap pilkada. Dari beberapa kasus dan fakta membuktikan bahwa politik uang masih marak dilakukan saat pilkada. Maka dari itu tidak menutup kemungkinan juga kemenangan calon tersangka di pilkada 2018 ini tidak terlepas dari pengaruh politik uang terhadap masyarakat pemilih di daerahnya.
Dari lima faktor tersebut, maka sudah saatnya untuk kita mulai berbenah memperbaiki sistem politk dan demokrasi kita kedepan. Mengevaluasi terhadap fenomena yang terjadi sekarang agar hal serupa tidak kembali terjadi di kemudian hari.
Maka dari itu, penulis ingin memberikan beberapa masukan yang barangkali bisa menjadi solusi terhadap permasalahan ini. Pertama, memperbaiki regulasi atau membuat aturan yang baru yang dapat mengakomodasi permasalahan ini sekiranya terjadi lagi di kemudian hari. Dimana dalam pencalonan kepala daerah di KPU, jika kedapatan calon tersebut di tersangkut kasus korupsi dan dijadikan tersangka, maka calon tersebut harus di diskualifikasi/digugurkan dirinya sebagai peserta pilkada.
Maka dengan begitu, calon pilkada yang dijadikan tersangka kasus korupsi tersebut tidak dapat lagi melanjutkan proses pilkada ketahap berikutnya dan tentunya dia tidak akan di pilih oleh masyarakat. Sehingga hanya calon-calon yang bersihlah yang mengikuti kontestasi pilkada.
Kedua, pihak KPU sedapat mungkin memberikan informasi kepada masyarakat secara utuh dan maksimal. Termasuk memberikan informasi seputar diri pribadi masing-masing calon. Dan jika dia tersangkut kasus korupsi dan sebagai tersangka korupsi, maka KPU perlu mengumumkannya kepada publik sehingga masyarakat tau bahwa ada dari salah satu calon kepala daerah mereka yang berstatus sebagai tersangka kasus korupsi.
Ketiga, Memberikan pendidikan politik kepada masyarakat. Ini sangat perlu untuk dilakukan agar dapat menumbuhkan kesadaran politik masyarakat. Benar, dalam demokrasi, mayoritas suara rakyat adalah yang menentukan. Itu sebabnya, menjadi sangat perlu untuk membangun kesadaran politik yang jelas di dalam masyarakat agar pilihannya tidak mengabaikan pertimbangan atas integritas para kandidat dalam politik elektoral. Karena dengan mengabaikan pertimbangan integritas dalam politik elektoral hanya akan menjerumuskan demokrasi ke gudang perkakas politisi busuk.
Maka dari itu, kita sangat berharap tentunya agar demokrasi kita kedepannya menjadi lebih baik. Dapat menghasilkan pemimpin-pemimpin yang jujur dan berintegritas serta berlaku adil kepada rakyatnya. Sehingga dengan begitu dapat mewujudkan keadilan dan kesejahteraan yang merata bagi masyarakat, serta bersama-sama menciptakan negeri yang “baldatun thayyibatun wa Rabbun Ghafur” (negeri yang dilimpahi kebaikan dan ampunan dari Tuhan).