“Aku tidak akan berbicara untung-rugi kalau sudah berurusan dengan ldul Fitri”, ungkap salah satu teman saya. Ia menjawab dengan lugas sebuah pertanyaan sederhana yang saya lontarkan, “apakah kamu akan pulang saat lebaran nanti?”.
Pendiriannya tetap teguh dan tak terguncangkan. Walau tiket kereta yang hanya menyisakan armada luxury class yang kita sama-sama tahu harganya tidak murah. Begitu juga kartel tiket pesawat yang belum sepenuhnya bisa diatasi pemerintah sehingga berdampak pada naiknya harga tiket pesawat.
Tol yang digadang menjadi oasis bagi permasalahan klasik ini nampak juga tidak menjadi solusi jitu. Puluhan jam kemacetan dijalan tentu menjadi resiko yang tidak bisa dihindari.
Itu berbeda dengan apa yang saya lakukan saat hari raya agama saya. Pada saat Natal tahun lalu dan Paskah tahun ini, saya tidak sempat balik ke kampung halaman. Berbagai pelayanan yang harus saya jalani di Gereja tempat saya merantau telah mengurung niat saya untuk kembali ke kampung halaman. “Ya setiap orang punya prinsip sendiri-sendiri”, gumam saya dalam hati ketika membandingkan antara apa yang dilakukan teman dan apa yang dialami oleh saya sendiri.
“Lalu, kamu sendiri akan ngapain?”, tanyanya kepada saya yang tidak merayakan Idul Fitri. Saya terhening cukup lama untuk berusaha menjawab pertanyaan itu. Hingga pada suatu jawaban bahwa saya akan lebih banyak berhadapan di depan laptop untuk menyelesaikan setumpuk tugas dari kampus. “Ini kesempatan bagus untuk mengerjakan tugas-tugas”, jawab saya.
Ternyata ia mengajak saya untuk ikut bersamanya ke kampung halaman. Saya, yang adalah seorang Kristen, akan merayakan Idul Fitri bersama teman saya dan keluarganya yang beragama Islam. Saya tentu tak akan melawatkan momen langka ini!
Pengalaman itu yang kemudian saya simpulkan bahwa Idul Fitri bukan sekedar perayaan umat Islam. Bagi saya, ia telah mengalami perluasan makna. Tidak sebatas perayaan spiritual, ia acapkali bersinggungan dengan budaya dan bahkan dengan umat beragama lain. Bukan sesuatu yang asing juga jika berbagai kelompok etnik, suku bangsa dan agama di Indonesia juga merayakan hari kemenangan tersebut.
Berpulang
Bagi saudara-saudara kita yang beragama Islam, Idul Fitri dimaknai sebagai momen kembalinya hakikat kemanusiaan kepada kesucian dan fitrah. Kesucian itu kerap kali digambarkan layaknya bayi yang baru lahir setelah dikandung selama 9 bulan dalam rahim ibu.
Kata ‘rahim’ juga merujuk pada nama Allah. Allah Rahim (Ar Rahiim) diartikan sebagai Yang Memiliki Mutlak sifat Penyayang. Sebuah makna yang mendalam di mana Allah begitu menyayangi umat-Nya dan Allah rindu pada umat-Nya untuk kembali berpulang ke dalam fitrah-Nya.
Dalam spiritualitas Kristen, Allah juga disebut sebagai Maharahim. Rahim merujuk pada perempuan, terkhusus pada rahim ibu. Rahim dimaknai sebagai bagian yang sungguh rapuh, namun di satu sisi, disitulah muncul benih kehidupan. Dalam kerapuhan itu, rahim telah menunjukkan hubungan cinta yang searah antara sang ibu dengan sang buah hati. Di situlah hadir cinta yang melindungi, menghidupi, menghangatkan, memberi pertumbuhan, menjaga, menerima tanpa syarat.
Sebutan Allah Maharahim sebenarnya ingin menegaskan bahwa Ia tetap setia dan mau menerima kita walaupun berlumuran dosa sekalipun. Sebuah kepastian bahwa cinta-Nya tak berkurang sedikit pun walaupun kita adalah manusia yang rapuh layaknya rahim. Nabi Yesaya menegaskan bahwa “Dapatkah seorang perempuan melupakan bayinya, sehingga ia tidak menyayangi anak dari kandungannya? Sekalipun dia melupakannya, Aku tidak akan melupakan engkau.” (Yes 49:15).
Rahim bagaikan rumah yang menerima kita apa adanya. Kita pun dipanggil untuk berpulang, mengarah dan tertuju kepadanya. Kita pun seperti kisah anak yang hilang dalam Injil Lukas (Luk 15:11-32). Dalam proses berpulang itu pun, kita seringkali menilai bahwa diri kita berdosa, tidak pantas dan tidak layak (ay.21) namun, Sang Bapa tetap memberikan jubah, cincin, sepatu yang terbaik dan bahkan menyembelih anak lembu tambun sebagai bukti sukacita sang ayah atas berpulangnya sang anak (ay. 22-23).
Rembrandt dalam lukisan nya “The Return of the Prodigal Son” bahkan menggambarkan sang bapa yang hadir dengan tangan yang terbuka untuk merangkul sang anak yang telah berpulang tersebut.
Ruang Pengampunan
Salah satu budaya yang senantiasa melekat dari perayan Idul Fitri adalah mudik. Puluhan juta orang telah meninggalkan daerah asalnya untuk mengadu nasib, memperbaiki kehidupan dan mencapai kemapanan dengan hijrah ke perkotaan.
Pada momen Idul Fitri, mereka akan kembali ke kampung halaman nya untuk merasakan kembali suasana kekeluargaan yang penuh kebersamaan dan kehangatan. Kota-kota besar di Indonesia seketika akan sunyi senyap, sebaliknya, desa akan sangat padat dan penuh sesak.
Budaya mudik pada momen Idul Fitri tidak hanya sekedar bercengkrama dengan sanak keluarga. Lebih dari itu, ruang pengampunan tercipta. Anggota keluarga akan saling memaafkan satu sama lain dan dalam budaya tertentu, para anak akan sungkem kepada orang tua sebagai simbol ruang pengampunan. “Mohon maaf lahir dan batin” menjadi perkataan yang lazim diungkapkan pada momen Idul Fitri.
Momentum untuk kembali kepada kesucian sebenarnya dimulai dari kerelaan hati untuk mau memaafkan. Ruang pengampunan dalam momen Idul Fitri tidaklah dimaknai secara sempit, yakni hanya sebagai formalitas semata dan sebagai usaha hanya untuk melupakan kesalahan orang lain. Lebih dari itu, memaafkan sebenarnya sebuah tindakan yang dilakukan dengan penuh kerendahan hati untuk mau mengakui kesalahan diri sendiri dan kesalahan orang lain serta kerelaan untuk saling menuntun menuju kepada kesucian (fitrah).
“Ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami” adalah salah satu kutipan yang sangat terkenal yang tercantum dalam Doa Bapa Kami (Mat 6:9-13).
Doa tersebut mengajak kita untuk menghadirkan ruang pengampunan yang penuh dengan ketulusan, ihklas dan tanpa dendam. Jika berdosa merupakan suatu hal yang insani, maka pengampunan dan tindak memaafkan adalah tindakan yang Ilahi. Melalui pengampunan dan tindak memaafkan, kita diundang untuk melampaui keinsanan diri kita menuju kepada keilahian.
Sebelum mengakhiri tulisan ini, perbolehkan saya untuk mengucapkan selamat Idul Fitri 1 Syawal 1440 Hijriah kepada para sahabat yang merayakannya. Mari kita berpulang kembali menuju fitrah dengan menghadirkan ruang pengampunan yang penuh dengan ketulusan, ihklas dan tanpa dendam. Melaluinya, kita akan melampaui keinsanan diri kita menuju kepada keilahian. Semoga!