Sabtu, Februari 22, 2025

Ketika Pajak Bahan Bakar Menjadi Kunci: Meretas Ketergantungan

Siti Mutiah Rahmadanti
Siti Mutiah Rahmadanti
PNS Kementerian Keuangan. Opini tidak mencerminkan institusi.
- Advertisement -

Ketergantungan Indonesia pada bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi telah menjadi persoalan yang berlarut-larut dalam kebijakan energi nasional. Subsidi BBM, yang awalnya ditujukan untuk menjaga daya beli masyarakat, kerap tidak tepat sasaran dan justru dinikmati oleh kelompok menengah ke atas yang memiliki kendaraan pribadi lebih banyak.

Dampak dari pola subsidi ini bukan hanya membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), tetapi juga menghambat transisi menuju konsumsi energi yang lebih efisien dan ramah lingkungan.

Berbagai upaya telah dilakukan untuk menekan konsumsi BBM bersubsidi, mulai dari penyesuaian harga hingga pengendalian distribusi. Namun, resistensi sosial sering menghambat reformasi subsidi karena kenaikan harga BBM langsung menyentuh hajat hidup masyarakat banyak.

Di tengah situasi tersebut, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) menjadi salah satu instrumen yang menjanjikan. Didasarkan pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, PBBKB memberi kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menetapkan tarif pajak atas penggunaan bahan bakar. Jika dioptimalkan, pajak ini tidak hanya dapat menambah pendapatan asli daerah (PAD), tetapi juga berpotensi menekan konsumsi BBM bersubsidi secara efektif.

Salah satu usulan menarik adalah diferensiasi tarif PBBKB berbasis jenis kendaraan, kapasitas mesin, dan tingkat konsumsi BBM. Kendaraan pribadi yang cenderung boros bahan bakar dapat dikenakan tarif pajak lebih tinggi, sementara kendaraan umum seperti bus dan angkutan massal diberi tarif yang jauh lebih rendah. Langkah ini memberikan insentif finansial bagi pengguna kendaraan pribadi untuk beralih ke moda transportasi publik atau setidaknya mempertimbangkan penggunaan mobil yang lebih hemat bahan bakar. Dengan begitu, konsumsi BBM oleh sektor transportasi dapat ditekan secara signifikan, terutama di wilayah perkotaan yang tingkat kepadatan lalu lintasnya sangat tinggi.

Akan tetapi, keberhasilan kebijakan ini sangat tergantung pada kesiapan infrastruktur transportasi publik. Di banyak kota besar di Indonesia, ketersediaan transportasi massal yang andal, nyaman, dan terjangkau masih menjadi tantangan. Bus Trans, kereta komuter, maupun Light Rail Transit (LRT) belum seluruhnya terintegrasi secara efektif, sehingga masyarakat enggan meninggalkan kendaraan pribadi.

Oleh karena itu, peningkatan PBBKB semestinya diikuti dengan pembangunan dan perbaikan infrastruktur transportasi umum. Jika penerimaan pajak dapat dialihkan untuk perluasan jaringan transportasi publik dan peningkatan kualitas pelayanannya, resistensi masyarakat terhadap kenaikan pajak bahan bakar dapat diminimalkan.

Di level ekonomi makro, optimasi PBBKB juga menyiratkan sejumlah dampak yang perlu diantisipasi. Kenaikan tarif pajak bahan bakar diperkirakan memicu peningkatan biaya produksi dan distribusi, sehingga inflasi dapat naik dalam jangka pendek.

Namun, apabila ketersediaan transportasi publik memadai, masyarakat dan pelaku usaha akan lebih mudah menyesuaikan diri, misalnya dengan beralih menggunakan angkutan massal atau merencanakan distribusi secara lebih efisien. Dalam jangka panjang, ketika masyarakat terbiasa dengan moda transportasi yang hemat energi, biaya transportasi bisa stabil atau bahkan menurun, sehingga dampak inflasi pun cenderung mereda.

Pengurangan ketergantungan pada BBM bersubsidi melalui instrumen PBBKB juga memiliki implikasi positif terhadap APBN. Banyak studi menunjukkan bahwa subsidi BBM paling banyak dinikmati oleh kelompok menengah ke atas, sementara kelompok berpendapatan rendah justru terpinggirkan karena kepemilikan kendaraan mereka relatif kecil.

- Advertisement -

Dengan menekan konsumsi BBM di segmen kendaraan pribadi, ruang fiskal pemerintah untuk membiayai sektor-sektor lain, seperti pendidikan, kesehatan, dan pembangunan infrastruktur energi alternatif, menjadi lebih luas. Jika terjadi kenaikan harga minyak dunia, beban subsidi juga tidak akan membengkak terlampau besar, sehingga stabilitas fiskal Indonesia dapat lebih terjaga.

Meski demikian, penyesuaian PBBKB bukan tanpa tantangan. Resistensi sosial dapat muncul ketika tarif pajak dinaikkan secara signifikan tanpa disertai kompensasi atau solusi alternatif. Masyarakat akan merasa terbebani, terutama jika transportasi publik masih jauh dari kata layak. Oleh karena itu, komunikasi publik dan sosialisasi perlu dilakukan dengan lebih gencar. Pemerintah harus menjelaskan urgensi pengurangan subsidi BBM, memperlihatkan rencana penggunaan dana pajak yang jelas, serta menegaskan manfaat jangka panjang bagi stabilitas ekonomi dan lingkungan. Insentif bagi kendaraan ramah lingkungan, seperti mobil listrik atau kendaraan berbahan bakar gas, juga menjadi kebijakan pelengkap yang dapat mengurangi beban sosial sekaligus mempercepat transisi energi.

Reformasi subsidi BBM di dalam APBN menjadi kunci berikutnya. Kebijakan semacam ini dapat dilakukan dengan mengalihkan sebagian alokasi subsidi BBM ke belanja modal produktif. Jika diperlukan, bantuan kepada kelompok berpenghasilan rendah bisa disalurkan melalui bantuan langsung tunai (BLT) atau subsidi energi alternatif, sehingga kelompok rentan tidak terdampak secara drastis oleh kenaikan harga BBM. Selain itu, pemerintah dapat membentuk Dana Stabilitas Energi sebagai bantalan terhadap fluktuasi harga minyak internasional. Dana ini dapat diambil dari sebagian penerimaan PBBKB, yang kemudian digunakan untuk menstabilkan harga di pasar domestik saat harga minyak dunia melonjak.

Dari perspektif lingkungan, efek positif kebijakan PBBKB yang optimal akan terasa dalam penurunan emisi gas rumah kaca. Penggunaan kendaraan pribadi yang semakin berkurang—akibat beban pajak tinggi—dan perpindahan ke transportasi publik akan menekan polusi udara, terutama di perkotaan. Upaya ini sejalan dengan komitmen Indonesia dalam menurunkan emisi karbon dan dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat secara keseluruhan. Selain itu, apabila sinergi antara PBBKB dan energi terbarukan berjalan baik, misalnya melalui pemberian insentif pajak untuk kendaraan listrik dan riset pengembangan bahan bakar alternatif, Indonesia bisa semakin maju dalam mendorong terciptanya ekosistem energi yang lebih bersih dan berkelanjutan.

Kolaborasi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, sektor swasta, dan masyarakat luas menjadi pondasi utama agar perubahan kebijakan ini mampu berjalan efektif. Pemerintah pusat perlu menetapkan regulasi yang memadai untuk harmonisasi tarif pajak antardaerah, sehingga tidak terjadi distorsi harga yang memicu aksi “berburu BBM murah” di wilayah tertentu.

Pemerintah daerah, di sisi lain, bertanggung jawab mengelola dana pajak dengan transparan, memastikan infrastruktur transportasi publik dibangun, serta memberikan kemudahan bagi investasi energi terbarukan. Pelaku usaha dapat melihat ini sebagai peluang untuk berinovasi, misalnya memproduksi kendaraan beremisi rendah atau merintis layanan transportasi digital yang efisien.

Secara keseluruhan, PBBKB dapat menjadi kunci untuk meretas ketergantungan Indonesia pada BBM bersubsidi jika diterapkan secara tepat. Kebijakan ini harus dilihat sebagai bagian integral dari strategi pembangunan berkelanjutan.

Siti Mutiah Rahmadanti
Siti Mutiah Rahmadanti
PNS Kementerian Keuangan. Opini tidak mencerminkan institusi.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.