Pendidikan bukan cuma soal belajar di sekolah, tapi juga soal membentuk karakter anak yang berlangsung terus-menerus. Namun, bagi keluarga perantau, pendidikan sering kali menghadapi tantangan yang besar. Ketika orangtua memutuskan untuk bekerja di luar negeri dan meninggalkan anak-anak tanpa pengawasan, pendidikan bukan lagi sekadar urusan nilai akademis, melainkan soal pembentukan kepribadian yang sangat penting.
Realitas orangtua yang bekerja di luar negeri bukan hanya soal keputusan ekonomi, tapi juga kenyataan sosial yang membawa dampak besar pada karakter dan masa depan anak-anak. Pertanyaannya, apakah pengorbanan ekonomi yang dilakukan orangtua ini benar-benar sebanding dengan risiko kerusakan moral dan masa depan anak-anak mereka?
Saat orangtua memilih bekerja jauh dari rumah, mereka sebenarnya menciptakan kekosongan emosional yang tidak bisa diisi hanya dengan uang. Anak-anak yang ditinggalkan sering merasa kehilangan, kurang perhatian, dan akhirnya rentan masuk ke lingkungan yang buruk. Tanpa bimbingan orangtua, mereka mudah terpengaruh hal-hal negatif yang bisa merusak masa depan mereka. Akibatnya, prestasi sekolah mereka menurun, atau bahkan mereka menunjukkan perilaku menyimpang.
Anak-anak yang tumbuh tanpa kehadiran orangtua langsung menghadapi tekanan psikologis yang berat. Mereka sering merasa diabaikan dan berusaha mencari perhatian dengan cara yang salah. Anak laki-laki misalnya, mungkin sering membolos sekolah atau bertindak nakal agar diperhatikan. Sementara itu, anak perempuan bisa saja mencari kasih sayang melalui hubungan yang tidak sehat. Semua ini terjadi karena mereka tidak mendapatkan perhatian dan bimbingan langsung dari orangtua.
Komunikasi lewat telepon atau video call saja tidak cukup untuk menggantikan peran orangtua dalam mendidik anak. Orangtua yang bekerja di luar negeri sering terlihat lebih mementingkan kebutuhan materi dibandingkan pendidikan moral anak-anak mereka. Padahal, kehadiran langsung sangat penting untuk membentuk karakter anak.
Lingkungan sekitar juga berpengaruh besar. Tanpa pengawasan orangtua, anak-anak lebih mudah terpengaruh oleh teman sebaya yang membawa pengaruh buruk. Pergaulan bebas, penyalahgunaan narkoba, dan kurangnya minat belajar adalah beberapa dampak yang sering muncul. Situasi ini membuat anak kehilangan arah dan merasa tidak punya identitas yang jelas.
Orangtua tidak bisa sepenuhnya menyalahkan anak atas kondisi ini. Sebaliknya, mereka harus bertanggung jawab atas keputusan untuk bekerja jauh dari rumah. Bekerja di luar negeri memang pilihan, tapi pilihan ini membawa konsekuensi besar, baik secara psikologis maupun pendidikan bagi anak-anak.
Solusi untuk masalah ini tidak bisa hanya dibebankan pada orangtua, tapi juga membutuhkan dukungan dari keluarga besar, sekolah, dan masyarakat. Semua pihak harus bekerja sama untuk memberikan perhatian, bimbingan, dan fasilitas yang membantu anak-anak tumbuh dengan baik.
Orangtua juga perlu memikirkan kembali pilihan mereka. Apakah keuntungan ekonomi yang didapat benar-benar sebanding dengan risiko kehilangan masa depan anak-anak? Mungkin ada pilihan lain, seperti mencari pekerjaan di dalam negeri atau membawa anak-anak ikut serta. Semua ini harus dipikirkan secara matang demi kebaikan keluarga.
Pada akhirnya, pendidikan anak adalah tanggung jawab bersama. Tidak hanya milik orangtua, tapi juga keluarga besar, sekolah, dan masyarakat. Dibutuhkan kerja sama dan kesadaran kolektif untuk menyelamatkan generasi muda dari ancaman kegagalan pendidikan dan pembentukan karakter yang buruk.