Sabtu, Oktober 5, 2024

Ketika Nabi Dianggap Pro (Mantan) Kafir

Irfan Sarhindi
Irfan Sarhindi
Pengasuh Salamul Falah. Lulusan University College London. Associate Researcher Akar Rumput Strategic Consulting. Riset S-2-nya tentang Islam Nusantara dan kampanye deradikalisasi. Saat ini menjadi Dosen di Universitas Putra Indonesia. Telah menulis 8 buku, dua di antaranya adalah novel sejarah: 'The Lost Story of Kabah' dan 'Mencintai Muhammad'. Pada tahun 2017 menjadi finalis British Council Future Leaders Connect dan menjadi satu dari 13 Inspirator 'Panggung Indonesia 2045' yang diselenggarakan TEMPO Institute. Blognya: http://irfanlsarhindi.id

Di tengah tsunami informasi, kebebasan berpendapat, demokratisasi semu otoritas ilmu, musim politik, dan “overdosis” obrolan soal agama, tuduhan-tuduhan pro-kafir sering digunakan sebagai cara untuk mengesankan seseorang tidak Islami, anti-Islam, dan/atau musuh Islam.

Tujuannya ya untuk membuat si ‘penuduh’ terlihat paling Islami, pro-Islam—pembela Islam. Selain oversimplifikatif, kecenderungan tersebut juga berpotensi memicu keresahan dan perpecahan. Dan rupanya, hal serupa pernah terjadi pula di zaman Nabi. Tidak tanggung-tanggung, bahkan Nabi sendiri yang dituduh sebagai pihak yang pro (mantan) kafir. Ceritanya sebagai berikut:

Kesuksesan dakwah Nabi tidak lepas dari peran-serta para sahabat (tim sukses Nabi). Dikategorikan menjadi dua, Muhajirin dan Anshar. Berkat pertolongan tim Anshar, Nabi secara mudah menjadi Kepala Negara Madinah, menyingkirkan Ubay bin Salul dari bursa calon.

Dengan posisi tersebut, Nabi tidak hanya berhasil membangun rekonsiliasi dan perdamaian di Madinah serta memastikan tim pemenangan Muhajirin mendapat tempat dan bisa memulai kehidupan mereka kembali di tanah rantau, tetapi juga berhasil mengekskalasi dakwah Islam ke saentero Tanah Hijaz.

Di antara puncak, katakanlah, prestasi dakwah dan politik Nabi adalah penaklukkan Mekah yang ditempuh, nyaris tanpa pertumpahan darah. Bahkan pasukan Nabi diikut-sertai tidak hanya oleh Muslim, tetapi juga oleh pelbagai suku Badui secara sukarela. Selepas penaklukkan Mekah, Nabi bergerak ke Lembah Ji’ranah untuk menaklukkan Hawazin yang memang telah bersiap untuk menyerang pasukan Nabi.

Singkat cerita, Nabi menang. Mendapatkan harta rampasan perang (ghanimah) yang berlimpah yang menurut catatan Martin Lings alias Abu Bakar Siraj al-Din, berupa 24.000 ekor unta dan sekitar 40.000 ekor kambing dan domba.

Pada saat itu, turun wahyu tentang asnaf zakat—orang-orang yang berhak menerima zakat (lihat QS 9: 60). Di antara kedelapan asnaf tersebut ada satu kategori yang bertajuk: muallafati qulubuhum, yang dalam bahasa kita lazim disingkat menjadi muallaf yang diartikan sebagai orang yang baru masuk Islam, yang karenanya masih perlu untuk dibujuk hatinya (muallafati qulubuhum).

Secara singkat, kategori ini merujuk pada para mantan ‘kafir’, yang entah keislamannya murni karena hidayah atau karena pertimbangan pragmatis untuk mendapatkan suaka, kekuasaan, dan  kekayaan.

Berangkat dari situ, Nabi memutuskan untuk memberi Abu Sufyan, mantan musuh politik beliau yang paling sengit, 100 unta. Sebelum ini, Abu Sufyan juga telah diberi privilege berupa perlindungan hukum bagi dia dan orang-orang yang berlindung di rumahnya selama proses penaklukkan Mekah.

Sebagai politikus ulung yang baru saja pindah agama ke Islam, Abu Sufyan merespon hadiah Nabi ini dengan meminta 200 ekor tambahan untuk kedua anaknya, Yazid dan Muawiyah. Bagaimana respon Nabi? Beliau merestui permintaan tersebut begitu saja.

Lalu, ada Shafwan bin Suhail yang merupakan satu di antara banyak orang kafir yang hampir, tapi belum, masuk Islam. Shafwan bin Suhail juga diberi 100 ekor unta. Ketika Shafwan menemani Nabi menyusuri lembah Ji’ranah, Shafwan terkagum pada suatu ladang hijau yang dipenuhi unta, kambing, dan domba. Nabi mengetahui itu. Jika kaumau, ujar Nabi, ambillah semuanya untukmu. Shafwan merespon itu dengan masuk Islam.

Keputusan ini sudah mulai ‘meresahkan’ sebagian sahabat. Sa’d dari Zuhrah bertanya kepada Nabi ihwal alasan beliau SAW memberi masing-masing 100 unta kepada Uyaynah dari Ghathafan dan Aqra dari Tamim dan tidak pada sahabat setaat Ju’ayl dari Damrah yang padahal lebih miskin.

Nabi menjawab, “Demi Allah yang menguasai jiwaku, Ju’ayl jauh lebih kaya dari orang seperti Uyaynah dan Aqra; namun kulunakkan hati mereka agar mereka bersedia patuh dan tunduk kepada Allah, sementara aku percaya Ju’ayl telah tunduk dan patuh kepada-Nya.”

Keluhan lain muncul dari Tim Pemenangan Anshar. Tidak ada satupun dari mereka yang mendapatkan harta rampasan perang. Di sisi lain, enam belas tokoh Quraisy dan empat kepala suku lainnya mendapatkan harta rampasan perang yang berlimpah, padahal orang-orang ini sudah kaya raya.

Muncul desas-desus, mosi tidak percaya. “Rasulullah telah berpihak kepada kerabatnya,” keluhan itu berbunyi. “Di medan perang, kamilah yang menjadi sahabatnya, namun ketika harta rampasan perang diberikan, sahabatnya adalah keluarga dan kaumnya sendiri.”

Berlandaskan kekecewaan tersebut, mereka menuntut: “Kami ingin tahu dari mana asal sikap ini: jika berasal dari Allah, kami akan terima dengan sabar; namun jika ini hanyalah pendapat Rasulullah, maka kami memintanya agar memihak kepada kami juga.” Sa’d bin Ubadah diutus sebagai juru bicara.

Nabi merespon keluhan itu  dengan mengumpulkan Tim Pemenangan Anshar di suatu padang. “Wahai kaum Anshar, aku mendengar kabar bahwa hati kalian sangat menentangku. Bukankah aku mendapati kalian tersesat dan Allah membimbing kalian? Bukankah kalian miskin dan Allah memberi kalian kekayaan? Bukankah kalian saling bermusuhan dan Allah mendamaikan kalian?”

Mereka mengiyakan. Nabi menjelaskan: ghanimah hanya pintu masuk untuk melunakkan hati mereka yang masih meragu, yang belum yakin Allah mampu memberi lebih dari itu. Sedang bagi Anshar yang keyakinannya  telah terbukti bertahun-tahun, apa bagiannya?

Nabi secara retoris bertanya, “Apakah kalian tdak berbahagia, wahai kaum Anshar, orang lain membawa domba dan unta, sementara kalian membawa Rasulullah ke rumah kalian?” Tidak ada seorangpun kecuali menangis. “Kami berbahagia dengan Rasulullah sebagai bagian kami.”

Tentu akan sulit untuk mengharapkan jawaban ‘sederhana’ ala Nabi tersebut dapat digunakan pada konteks hari ini. Jangankan para negarawan atau politisi, bahkan ulama yang di-frame pro-kafir pun akan sulit untuk ‘membersihkan’ image-nya dengan kalimat serupa di  atas. Kenabian sudah khatam di diri Nabi Muhammad.

Tidak ada lagi manusia yang 100% maksum dari kesalahan. Hanya, kita tahu bahwa tuduhan pro-kafir dan anti-Islam akan menjadi cukup lazim di era komodifikasi dan politisasi Islam; terlebih di tahun politik. Cara yang bisa dilakukan adalah dengan (1) tidak membiarkan diri mudah diperdayai, dan (2) membiasakan diri ber-tabayyun dan mengklarifikasi. Kira-kira itu yang bisa kita ambil dari sejarah Nabi.

Irfan Sarhindi
Irfan Sarhindi
Pengasuh Salamul Falah. Lulusan University College London. Associate Researcher Akar Rumput Strategic Consulting. Riset S-2-nya tentang Islam Nusantara dan kampanye deradikalisasi. Saat ini menjadi Dosen di Universitas Putra Indonesia. Telah menulis 8 buku, dua di antaranya adalah novel sejarah: 'The Lost Story of Kabah' dan 'Mencintai Muhammad'. Pada tahun 2017 menjadi finalis British Council Future Leaders Connect dan menjadi satu dari 13 Inspirator 'Panggung Indonesia 2045' yang diselenggarakan TEMPO Institute. Blognya: http://irfanlsarhindi.id
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.