Kamis, Juni 12, 2025

Ketika Medsos Perlahan Menggeser Media Cetak

Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi
Nama : Ermansyah R. Hindi Tempat/Tangga Lahir : Ujung Pandang, 16 Pebruari 1972 Pekerjaan : Free Writer, ASN di Bappeda Kabupaten Jeneponto
- Advertisement -

Lewat pukul 09.00 pagi (WITA), Sabtu sudah mulai kita berdiskusi. Kami tidak ada persiapan sebelumnya. Warga di grup WhatsApp juga tidak mempersiapkan apa saja topik diskusinya. Biasanya begitu tanpa mencomot topik diskusi. Dianggap mengalir apa saja perbincangan bersama warga grup WA.

Jelaslah, tidak ada moderator, tanpa host. Boleh dikata, diskusi tanpa bersifat formal. Kali ini, kawan-kawan memang tidak terpancing untuk berdiskusi. Hanya tiga atau empat orang terlibat diskusi secara langsung.

Teringat Ahmad Najib Burhani, seorang Profesor Peneliti Ahli BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional). Selain tema kebangsaan dan kemanusiaan, dia kerap menulis tema seputar Islamic Studies. Dia familiar, khususnya di Harian Kompas atau di dunia akademik.

Tulisan Profesor Najib di harian nasional “papan atas” itu sudah menandai nada “melo” bahkan ironis. Bagaimana tidak? Kiprah dan pengabdian panjang koran harian seperti Republika dan Sindo terpaksa “mengakhiri” riwayatnya sebagai media cetak.

Tidak sampai di situ, toko buku dan penerbit mengalami mimpi buruk. Diberitakan pula perpustakaan sedang mengalami nasib serupa. Membayangkan perpustakaan desa, taman baca masyarakat, dan ruang literasi lainnya turut ambyar di tengah era digital yang makin menantang.

Tidak jauh dari diskusi tentang megap-megapnya dan radar dunia teks tertulis, muncul apresiasi Profesor Najib. Dia terinspirasi dengan milad penerbit Mizan. Tema miladnya: “Mizan 40th: Kurator Pencerahan,” yang diperingati beberapa tahun yang lalu. Kita harus diakui, bahwa Mizan banyak menawarkan tema buku yang menggelitik dan mengulik dari berbagai persfektif. Satu diantaranya, pemikiran alias diskursus agama, terutama Islam.

“Saya tidak tahu. Apakah ini gara-gara saya menjadi follower Profesor Najib di X?” Sudah, lupakan saja! Khawatir kalau wajah-wajah dan pikiran kita tidak tercerahkan lagi hanya karena terlalu senang berteman di medsos.” Begitu gumanku diam-diam menyelinap di kepala.

Nah, untuk memulai diskusi di grup WA, tidak disangka meluncur frasa “keras kehidupan!” Dari sini, sekurangnya ada empat alasan.

Pertama, kayaknya era medsos bakal merambah kemana-mana. “Hei, saya lihat foto profil Anda pakai stelan jas keren di Facebook. Kemarin juga saya lihat Anda tampak lebih muda dengan kostum kemeja di Instagram. Terus, satu jam lalu, foto profil pakai semacam aplikasi ToonMe di TikTok. Ah, Andakah itu?”

Memerhatikan saja foto profil teman di medsos bukan main serunya. Apakah benar karena berteman di Facebokk, misalnya, dengan seseorang, lantas kita menganggap sudah aman dari urusan pribadi atau bebas dari gunjingan di balik medsos? Memang teman di medsos itu belum tentu merupakan teman sebenar-benarnya teman.

- Advertisement -

Tetapi, seorang teman yang saya bicarakan tadi bukan tipe teman di medsos belaka. Teman yang saksikan foto profil yang berbeda-beda di medsos itu sudah teruji siapa dia sebenarnya. Dia bukan hanya teman berdiskusi di grup WA, tetapi juga teman handal dan khusyu mengirim foto atau berita di Facebook. Kadang juga teman yang satu ini sudah profesor gesit men-chat saya di sela-sela diskusi di grup WA.

Teman bukan hanya menjadi teman diskusi santai di medsos, persisnya di grup WA. Dunia digital itu juga menjadi ruang diskusi bagi teman melebihi “demokrasi” ala warung kopi sembari bermain Instagram atau X di tempat yang sama. Mengajak teman berdiskusi sungguh-sungguh yang kita kenal bahkan sangat dikenal karena satu korps atau saudara di organisasi tertentu.

Kedua, sementara itu, kurang dari satu dekade era Paperless sudah muncul paling tidak di ruang e-office atau e-governance. Di salah satu kantor pemerintah daerah terbesar di tanah air saat kami benchmarking memberi informasi melalui teman saya. Di kantor pemerintah daerah itu nyaris menggunakan bahan administrasi persuratan tanpa kertas.

Ketiga, setelah Harian Republika, Toko Buku Agung, siapa lagi yang “angkat tangan” menghadapi kompetisi pasar? Keempat, penerbit Mizan yang tokcer buku-bukunya dikenal sebagai pemantik diskursus intelektual tanah air. Entahlah kini. Bagaimana nasibnya?

Ibarat berbalas pantun, “pembukaan” diskusi ternyata ditanggapi oleh kawan andalan. Doktor Saleha Madjid namanya. Kawan yang satu ini adalah orang yang acapkali “gelisah” melihat keadaan sejak kami bersama-sama di organisasi mahasiswa. Bersyukur punya kawan seperti dia.

“Saya ingat dulu, kita sampai kemana-mana cari buku terbitan Mizan. Karena ia asyik dibaca, walaupun orang bilang penerbit Mizan identik dengan Syiah.” Begitu komentar awal dalam diskusi kami. Siapa kira, Doktor Saleha “bertengger” dalam “barisan” pembaharuan pemikiran Islam ala “Mazhab” Ciputat. Harap dimengerti! Dia merahi Doktor UIN Syarif Hidayatullah di Ciputat. Kampus ini dikenal sebagai gudang pembaharuan pemikiran Islam. Dia tampaknya sudah layak menyandang “ikon” pembaharu pemikiran.

Saya coba melayani pembicaraan Doktor Leha (panggilan akrabnya) yang ditulis dengan memencet tuts-tuts ponsel ini. “Jangankan buku Syiah, buku filsuf saja tertarik. Misalnya, karya Nietzsche, Jean Paul Sartre hingga Martin Heidegger.” Tanpa malu-malu, saya coba mensintesakan pemikiran Islam modernis dengan pemikiran subversif, diantaranya. Nietzsche.

Saya coba “menjelajahi” buku karyanya. Kebetulan atau bukan, saya menemukan buku Nietzsche, berjudul The Birth of Tragedy and Genealogy of Moral, di Perpustakaan Wilayah Sulawesi Selatan, Makassar. Ada sekitar sepuluh tahun mencari buku keren sampai perpusatakaan lintas kampus. Jadi, akhirnya buku sebagai hasrat dan kesenangan.

Pembicaraan tentang nasib dan kiprah koran, penerbit hingga perpustakaan memang tidak terlepas dari perkembangan teknologi informasi. Revolusi digital menurut istilah Profesor Najib ikut memengaruhi eksistensi koran, majalah, penerbit, dan media cetak lainnya. Jika tidak melakukan perubahan dan inovasi, maka lambat laun mereka akan ditinggalkan oleh pembaca, penulis, warganet, dan sebagainya.

Kini, realitas baru (Artificial Intelligencebegitu mencengangkan. Menerima atau menolak, zaman sudah berubah. Zaman baru ada di hadapan hidung kita. Kita bisa pilih yang mana, Facebook, X, Instagram atau TikTok, atau platform medsos yang lain? Kita bisa bayangkan, seandainya muncul pihak yang ingin mendirikan Republik Rakyat Medsos, bagaimana masa depan media cetak? Tentu, tidak sedikit orang masih berminat dan memilih untuk membaca media cetak, bukan?

Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi
Nama : Ermansyah R. Hindi Tempat/Tangga Lahir : Ujung Pandang, 16 Pebruari 1972 Pekerjaan : Free Writer, ASN di Bappeda Kabupaten Jeneponto
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.