Dalam beberapa tahun terakhir, media sosial menjelma menjadi panggung paling sibuk dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Dari bangun tidur hingga menjelang tidur kembali, hampir setiap orang menyentuh layar untuk membuka media sosial, entah itu sekadar menggulir linimasa, mengunggah aktivitas pribadi, hingga ikut berkomentar dalam isu-isu publik. Realitas ini membuat media sosial tak sekadar ruang hiburan, tapi telah menjadi semacam “sekolah rakyat” yang informal, terbuka, dan sangat dinamis.
Sekolah rakyat dalam pengertian klasik merujuk pada ruang belajar alternatif yang lahir dari keterbatasan akses pendidikan formal. Ia mengedepankan semangat egaliter, gotong-royong, dan pembelajaran kritis atas realitas sosial. Namun kini, sekolah rakyat tak lagi berwujud bangunan atau pertemuan fisik. Ia hadir di genggaman, melalui unggahan, komentar, dan konten yang tersebar masif. Media sosial mengajarkan—atau justru membelokkan—cara orang berpikir, bersikap, dan mengambil keputusan dalam keseharian.
Fenomena ini bisa menjadi peluang sekaligus tantangan. Di satu sisi, media sosial memberi ruang bagi siapapun untuk belajar, berbagi pengetahuan, dan mengembangkan kesadaran sosial. Banyak akun edukatif bermunculan, dari sains, hukum, sejarah, hingga literasi keuangan. Aktivis sosial, dosen, dan pegiat komunitas kini tak lagi tergantung pada ruang kelas, mereka bisa menjangkau jutaan pengguna hanya dengan satu video singkat atau utas panjang di Twitter.
Sebagaimana dijelaskan oleh Clay Shirky dalam bukunya Here Comes Everybody (2008), media sosial merevolusi cara manusia berorganisasi dan menyampaikan ide. Ia menyebut bahwa kekuatan media sosial terletak pada kemampuannya untuk menurunkan “biaya koordinasi”—artinya, orang tak perlu lagi lembaga formal untuk bersuara atau berkumpul, cukup lewat satu tagar atau unggahan yang viral. Ini membuka jalan bagi keterlibatan publik dalam isu-isu penting secara lebih luas dan spontan.
Namun, disisi lain, kita juga menyaksikan bagaimana media sosial dapat berubah menjadi ruang gelap yang memperkeruh informasi. Sekolah rakyat seharusnya mencerdaskan, bukan menyesatkan. Tapi algoritma media sosial kerap mendorong konten sensasional, bukan konten substantif. Akibatnya, pengguna terjebak dalam ruang gema (echo chamber) yang memperkuat prasangka, bukan menguji kebenaran.
Tak sedikit “guru dadakan” bermunculan tanpa dasar keilmuan yang kuat. Mereka menyebar opini yang dibungkus data palsu, narasi provokatif, atau teori konspirasi. Di sinilah peran literasi digital menjadi sangat penting. Tanpa kemampuan berpikir kritis dan memilah informasi, masyarakat justru menjadi korban dari sekolah yang semestinya menyelamatkan mereka dari kebodohan struktural.
Seperti dikatakan oleh Neil Postman dalam Amusing Ourselves to Death (1985), media massa modern cenderung menciptakan budaya yang mengutamakan hiburan dibandingkan pemahaman mendalam. Postman menyayangkan bahwa televisi (dan kini media sosial) mengubah pendidikan menjadi sekadar tontonan. Masyarakat menjadi lebih reaktif, dangkal, dan kehilangan kesabaran untuk berpikir mendalam. Jika dulu pembelajaran menuntut waktu, proses, dan refleksi, kini cukup dua menit video yang lucu atau menyulut emosi, sudah cukup untuk mempengaruhi opini publik.
Ironisnya, banyak orang menganggap apa yang dilihat di media sosial sebagai kebenaran mutlak. Ini menjadi ancaman serius bagi demokrasi dan kehidupan sosial. Sebab, masyarakat yang dibentuk oleh narasi potong-potong dan bias algoritma akan mudah dimanipulasi oleh kepentingan politik, ekonomi, dan ideologis tertentu.
Di sinilah pentingnya menjadikan media sosial bukan hanya sebagai cermin emosi kolektif, tetapi juga sebagai ruang pendidikan publik. Para akademisi, guru, aktivis, jurnalis, dan tokoh masyarakat seharusnya lebih aktif mengambil peran sebagai “pengajar” di ruang-ruang digital. Mereka perlu hadir dengan narasi yang kuat, santun, dan mudah diakses, agar publik punya alternatif selain konten-konten yang destruktif.
Sekolah rakyat digital juga menuntut kehadiran kebijakan. Pemerintah perlu lebih aktif dalam membangun ekosistem literasi digital yang sehat. Bukan dengan cara represif, tetapi edukatif. Platform media sosial juga punya tanggung jawab etis untuk mendorong algoritma yang lebih ramah terhadap pengetahuan dan keberagaman pandangan. Sebab, jika tidak, sekolah rakyat ini bisa berubah menjadi ruang pembodohan massal.
Sebagai pengguna, kita pun punya tanggung jawab moral. Apa yang kita unggah, komentari, atau bagikan, semuanya adalah bagian dari “kurikulum” digital yang dibentuk bersama. Media sosial mencerminkan wajah kolektif masyarakat. Jika kita ingin wajah itu cerdas, kritis, dan beradab, maka setiap pengguna harus menjadi bagian dari upaya mencerdaskan, bukan memperkeruh.
Kini, ketika sebagian besar masyarakat Indonesia terhubung internet dan mengakses media sosial setiap hari, pertarungan wacana tak lagi hanya terjadi di kampus atau ruang redaksi. Ia terjadi di kolom komentar, di story singkat, di unggahan TikTok atau YouTube Shorts. Masa depan pendidikan rakyat ada di situ. Kita sedang berada dalam momen penentuan: apakah akan membiarkan media sosial menjadi ladang kebisingan, atau menjadikannya perpustakaan terbuka yang penuh makna.
Jika dulu sekolah rakyat dibangun dari kesadaran bersama untuk melawan ketimpangan dan kebodohan, maka sekarang semangat itu perlu dihidupkan kembali dalam wujud digital. Bukan untuk menggantikan pendidikan formal, tetapi untuk melengkapinya. Dan seperti sekolah mana pun, kualitas pendidikan tergantung pada siapa yang mengajar, apa yang diajarkan, dan bagaimana proses itu berjalan. Kita semua, suka tidak suka, kini adalah guru dan murid sekaligus di sekolah bernama media sosial.