Polarisasi gerakan mahasiswa Indonesia pasca Reformasi 1998 tampaknya memang semakin jauh dari idealisme kaum intelektual. Tentu hal ini menjadi problematika dalam memandang masa depan demokrasi bangsa ini. Kooptasi kepentingan elite yang mampu mengkontrol segala bentuk reaksi dari beragam kebijakan publik non populis, tentu saja dapat mencederai cita-cita dan semangat Reformasi.
Kompleksitas kepentingan dan perilaku hipokrit seperti yang diutarakan Mochtar Lubis, bukan sekedar menjadi kritik fundamental bagi bangsa ini, yang kini justru menjangkiti kaum-kaum intelektual, khususnya mahasiswa. Orientasi social control tentu akan semakin jauh dari harapan dan tujuannya, karena yang berlaku kini adalah asas kepentingan.
Bukan sekedar menyampaikan persoalan-persoalan yang tampak nyata di masyarakat. Dalam hal ini, kritik W.S. Rendra dalam Sajak Pertemuan Mahasiswa dapat menjadi tolak ukur posisi mahasiswa Indonesia pada locus-locus sosial masyarakat. Tentu bukan hal yang mudah, bicara idealisme dalam narasi pragmatis bagi setiap individu yang berjuang atas nama kepentingan masyarakat atau rakyat.
Sejarah Indonesia mencatat, bahwa gerakan mahasiswa pada hakikatnya adalah memperjuangkan nasib masyarakat marjinal ke arah yang lebih baik. Tatkala Indonesia masih dalam masa penjajahan, tentu upaya kemerdekaan adalah hal utama dalam merealisasikan tujuan gerakan intelektual. Tokoh sekaliber Bung Hatta pun tidak pernah memakai diksi pelajar atau mahasiswa ketika membentuk organisasi perjuangannya.
Senada dengan gerakan intelektual pada fase Malari hingga Reformasi, perilaku mahasiswa pada umumnya fokus kepada persoalan-persoalan sosial kemasyarakatan. Sebagai agen pembaharu, bagi problematika sosial dan bertugas untuk memperbaikinya. Bukan justru fokus pada upaya pembentukan partai politik yang justru mencederai independensi gerakan mahasiswa.
Secara konseptual, kecenderungan partai politik adalah representasi dari kepentingan-kepentingan kelompok yang posisinya dapat dikelompokkan menjadi proyeksi kepentingan bagi para anggotanya. Hal inilah yang dikemukakan oleh Robert Michels dalam The Iron Law of Oligachy, dimana dalam sebuah partai, kepentingan dari massa pemilih kerap kali terlupakan oleh kepentingan birokrasi pemimpinnya.
Dalam konteks kampanye politis, tentu ada aturan hukum yang berlaku dan harus ditaati oleh seluruh partai politik yang terdaftar. Bagian Keempat, Pasal 280 ayat 1, UU Pemilu dan Pasal 69 PKPU, Kampanye Pemilu, menegaskan aturan kampanye yang tegas bagi setiap partai. Khususnya dalam poin pelarangan kampanye di lingkungan peribadatan dan lembaga pendidikan.
Kontradiksi yang kemudian dapat disalagunakan dalam tujuan meraih suara massa. Hal ini tentu saja menjadi kritik terhadap proyeksi mahasiswa dalam tujuannya mendirikan partai politik yang mengatasnamakan mahasiswa. Masa depan demokrasi tentu menjadi mengkhawatirkan ketika kaum intelektual terlibat dalam kepentingan politik.
Bukan berarti demokrasi memberikan ruang seluas-luasnya bagi setiap warganya untuk berpolitik, melainkan konteks keberpihakan bagi kalangan intelektual dalam memposisikan diri sebagai kontrol dari pemerintahan adalah hal yang utama dalam berdemokrasi. Tidak sekedar beroposisi, melainkan secara naratif dan aksi dalam menentukan arah bagi masa depan bangsa Indonesia.
Masa depan bangsa ini ada ditangan kaum intelektual yang berdiri atas nama rakyat, yang berdiri atas dasar idealismenya memperjuangnya kebenaran dan keadilan. Bukan atas kepentingan kelompok atau golongan, yang berorientasi politis dan berbau kepentingan. Itu saja.