Belum lama ini, publik dihebohkan oleh sebuah meme yang dibuat oleh mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) yang menggambarkan Prabowo Subianto dan Joko Widodo dalam situasi ciuman. Meme tersebut diunggah di Twitter dan langsung menuai berbagai reaksi, mulai dari tawa hingga kemarahan. Namun, yang mengejutkan adalah penangkapan mahasiswa tersebut oleh pihak kepolisian. Tindakan ini menimbulkan pertanyaan besar tentang bentuk demokrasi di Indonesia dan sejauh mana kebebasan berpendapat dijamin.
Demokrasi, dalam pengertian yang paling mendasar, adalah sistem pemerintahan di mana kekuasaan berada di tangan rakyat. Di Indonesia, demokrasi diatur dalam UUD 1945, yang menegaskan bahwa setiap warga negara berhak untuk menyampaikan pendapatnya. Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya.” pasal tersebut menjamin kebebasan setiap orang untuk menyampaikan pendapat secara lisan dan tulisan. Artinya, selama kritik disampaikan tanpa unsur kekerasan, kebencian, atau hoaks, maka itu adalah bagian sah dari kehidupan demokratis.
Dengan demikian, tindakan mahasiswa ITB yang membuat meme seharusnya dilihat sebagai bagian dari haknya untuk berpendapat. Mahasiswa tentunya memiliki kebebasan untuk menyampaikan pandangan, kritik, dan kegelisahannya terhadap jalannya pemerintahan, termasuk terhadap presiden.
Meme yang dibuat bukanlah bentuk penghinaan, melainkan sebuah ekspresi kreatif yang mencerminkan pandangan kritis terhadap situasi politik. Dalam banyak kasus, humor dan satire adalah alat yang efektif untuk menyampaikan pesan-pesan sosial dan politik. Contohnya dalam acara “Lapor Pak!” Kiky Saputri dengan gaya roasting khasnya menyindir Erick Thohir soal jabatan rangkap dan pencitraan.
Kritik tajam itu dibungkus humor, membuat pesan lebih mudah diterima publik. Ini membuktikan bahwa komedi dan meme adalah alat efektif untuk menyampaikan kritik terhadap pemerintah secara cerdas dan ringan. Dalam konteks politik Indonesia berdasarkan sistem demokrasi, kritik adalah bagian dari fungsi kontrol yang harus disampaikan kepada si pembuat kebijakan sejauh kebijakan itu dinilai gagal, menyimpang atau tidak memberi kepuasan pada masyarakat.
Dalam konteks kinerja presiden yang dinilai belum memuaskan oleh sebagian masyarakat, meme menjadi salah satu saluran ekspresi kekecewaan yang mudah diakses dan dipahami oleh publik, terutama generasi muda. Kritik lewat meme muncul karena adanya keresahan, bukan karena niat menjatuhkan. Justru, itu adalah bentuk kepedulian rakyat terhadap jalannya pemerintahan. Menganggap meme sebagai bentuk kriminal justru menunjukkan ketidakmampuan pemerintah menerima kritik.
Padahal, dalam negara yang sehat, kritik adalah bagian penting dari proses evaluasi dan perbaikan. Meme tidak bisa langsung dianggap sebagai penghinaan atau serangan terhadap pribadi karena substansinya sering kali memprotes kebijakan dan kinerja, bukan karakter personal. Oleh karena itu, penangkapan terhadap pembuat meme atas dasar kritik terhadap presiden adalah hal bertentangan dengan semangat demokrasi dan hak berpendapat.
Namun, ada beberapa dasar yang kurang bijak dengan penangkapan mahasiswa tersebut. Alih-alih menanggapi isi utama kritiknya, aparat justru merespons dengan pendekatan hukum yang represif. Hal itu memicu dugaan yang muncul, bisa jadi penangkapan ini adalah bentuk pembungkaman terhadap suara oposisi muda agar masyarakat takut mengkritik figur-figur penguasa tertentu di ruang publik.
Indonesia adalah negara demokrasi yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, termasuk kebebasan berekspresi. Penangkapan ini bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang seharusnya melindungi suara-suara kritis. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum memberikan landasan hukum bagi setiap warga negara untuk menyampaikan pendapatnya secara bebas, selama tidak melanggar hukum yang berlaku. Jika kritik dan ekspresi kreatif dibungkam, maka akan ada penurunan partisipasi masyarakat dalam proses demokrasi.
Selain itu, penangkapan terhadap mahasiswa tersebut juga dilakukan di tempat kost tanpa menunjukkan surat penangkapan yang sah. Hal ini jelas bertentangan dengan prosedur hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana), dijelaskan bahwa setiap penangkapan harus disertai dengan surat tugas dan surat perintah penangkapan dari pihak yang berwenang, kecuali dalam kondisi tertangkap tangan.
Jika prosedur ini dilanggar, maka tindakan tersebut tidak hanya mencederai rasa keadilan, tetapi juga dapat dianggap sebagai bentuk penyalahgunaan wewenang. Mahasiswa yang menyampaikan pendapatnya secara damai dan tidak membahayakan seharusnya tidak diperlakukan seperti pelaku kejahatan.
Hingga pada akhirnya penangkapan terhadap mahasiswa ITB ditangguhkan karena kasus tersebut sudah tidak termasuk ke dalam pasal-pasal yang telah dianulir sebelumnya. Meskipun begitu, mahasiswa ITB tersebut tetap diberikan jaminan supaya tetap patuh untuk tidak akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, tidak mengulangi tindak pidana, tidak mempersulit jalannya proses pemeriksaan di tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan.
Sebenarnya, tidak semua orang yang melanggar aturan harus langsung dihukum pidana dan dimasukkan ke penjara. Masih ada cara lain yang bisa digunakan, seperti pembinaan atau pendekatan yang lebih membimbing supaya orang tersebut dapat berubah dan tidak mengulangi kesalahannya.
Penjara sebaiknya dijadikan pilihan terakhir, jika memang sudah tidak ada cara lain. Membawa semua persoalan ke ranah pengadilan dan penjara bukanlah solusi yang selalu tepat. Hal seperti ini bisa mencerminkan cara berpikir yang kaku, seolah tidak ada ruang untuk perbaikan perilaku. Dalam jangka panjang, hal ini justru bisa menciptakan ketidakpercayaan publik terhadap sistem hukum, karena masyarakat merasa negara lebih memilih menghukum daripada memahami dan menyelesaikan akar persoalan. Dengan pendekatan yang lebih manusiawi dan membina, pelaku masih memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri. Jadi, hukum bukan cuma soal menghukum, tapi juga soal memberi jalan untuk berubah dan jadi lebih baik.