Oleh : Widdy Apriandi
(Penulis adalah Pegiat Kopi Tanah Air Sekaligus Founder Kedai Kopi “Bandit” – Purwakarta)
Selamat ngopi di awal bulan ini, teman! Mestinya, sih, tambah nikmat. Kan, tanggal muda. Dompet masih didiagnosa sehat wal’afiat. He…he….
Ada kabar atau isu apa di awal bulan ini, nih, yang menurut kalian menarik? Boleh, dong, berbagi di kolom komentar.
Kalau saya pribadi, yang lumayan memancing ke-kepo-an saya adalah ihwal sengkarut rekomendasi DPP Partai Golkar untuk Bupati Petahana Purwakarta, Dedi Mulyadi (De-Em), sebagai calon di Pemilu Gubernur (PILGUB) Jawa Barat nanti. Sebab, perjalanannya terbilang pelik. Narasi-narasi konfliktual bersliweran di ruang publik, dari mulai surat rekomendasi bodong DPP Partai Golkar yang justru merujuk ke sosok lain di luar Partai (Baca : Ridwan Kamil), hingga spekulasi ‘mahar’ politik berjumlah Em-Em-an yang ditengarai ada demi sepucuk surat rekomendasi.
Plus, jangan lupakan gerakan kader akar rumput Partai Golkar lingkup Jawa Barat yang militan mendukung De-Em. Merujuk jejak kabar berita, demonstrasi demi demonstrasi dihelat, mulai dari kantor DPD Partai Golkar Jawa Barat hingga berujung di kantor DPP Partai Golkar. Bahkan, lebih ‘ekstrem’, banyak kader di tingkat bawah yang rela mengembalikan Kartu Tanda Anggota (KTA) jika partai tidak menjatuhkan rekomendasinya kepada Dedi Mulyadi.
Epik! Maka, ketika DPP Partai Golkar pada akhirnya memberikan sinyal hijau rekomendasi untuk Dedi Mulyadi, euphoria lumayan berasa. Rekomendasi untuk Dedi Mulyadi dipandang kemenangan kader.
BERPIHAK PADA KADER
Sebagai tukang kopi milenial yang tak lepas dari jeratan media sosial, saya mau tidak mau ikut terimbas euphoria tersebut. Bulat saya sepakat bahwa arahan rekomendasi DPP Partai Golkar kepada Dedi Mulyadi adalah wujud konkrit kemenangan kader.
Bagaimana tidak?! Bukankah sedari awal Partai Politik merupakan organisasi bernafas kaderisasi? Dengan begitu, maka Partai Politik tidak hanya menjadi lembaga yang menjalankan rekrutmen, melainkan pula pendidikan yang disistematisasi sedemikian rupa demi tujuan pencerdasan politik.
Hal ini tentu tidak main-main. Apalagi, untuk konteks Partai Golkar yang bukan hanya besar dari sisi kuantitas, tetapi juga kapasitas. Mampu bertahan di segala orde beserta tantangannya masing-masing merupakan bukti bahwa Partai sukses menata kader. Persoalan bahwa banyak kader yang kemudian lepas dan membuat gerbong politik sendiri adalah hal lain. Justru, menurut saya, selain mempertegas demarkasi loyalitas, fenomena tersebut makin menegaskan bahwa dari ‘rahim’ Partai Golkar-lah berlahiran pemimpin-pemimpin partai politik lain yang kelak berkolaborasi atau berseberangan.
Dedi Mulyadi adalah kader yang menghidupi dan dihidupi Partai Golkar. Terlebih, dari cuplikan sepak-terjang politik beliau yang tersebar di kanal-kanal berita, sedikit banyak bisa disimpulkan bahwa Ia bukan kader biasa. Sempat menjabat menjadi Ketua DPD Partai Golkar Purwakarta, pelan tapi pasti Dedi Mulyadi tiba di kursi Ketua DPD Partai Golkar Jawa Barat. Track record yang sudah semestinya dijadikan perhatian (concern) para elit politik di tingkat DPP Partai Golkar. Bahwa sebagai kader, Ia berkarir sekaligus menujukkan kapasitas personalnya.
Syahdan, ada urusan lain yang disebut survey. Lagi-lagi, hasil survey Dedi Mulyadi juga ngga jelek. Hasil yang dilaporkan sejumlah lembaga survey mengungkap gejala serupa, yaitu Dedi Mulyadi berada di urutan ke-tiga, setelah Ridwan Kamil dan Dedy Mizwar (De-Miz). Apa masalahnya?
Sebagai sekedar barometer, hasil survey memang bermanfaat. Tapi, apakah survey dengan sendirinya merupakan cerminan seutuhnya? Wah, ngga, dong! Sebab, bila survey adalah mutlak cuplikan gejala utuh, maka tidak-kah kita sedang mensimplifikasi demokrasi? Terlebih, artinya kita sedang menempatkan publik sebagai pribadi robotik. Enggan berdinamika. Sukar menakar kadar. Jahat betul!
Di lain sisi, ada alternatif pandangan lain. Husnudzon-nya, begini ; bagaimana jika urutan ke-tiga pada survey Dedi Mulyadi adalah murni kerja politik Ia sendiri? Patut dicatat, Ia berpengaruh dan lagi gemar bermobilitas.
Maka, kalau kerja sendiri saja sudah dapat urutan ke-tiga, apalagi bila dibantu mesin politik partai yang sudah teruji handal? Masuk akal?