Ketika musim kemarau melanda dan sumur-sumur mulai mengering di pelosok negeri, suara jeriken beradu di antrean air menjadi gambaran nyata dari krisis yang kita hadapi: air bersih, yang dulu tampak tak terbatas, kini menjadi barang langka di banyak wilayah Indonesia. Dalam situasi seperti ini, pertanyaan yang muncul bukan lagi sekadar “apa solusinya?”, tetapi “siapa yang bisa bertindak cepat?”
Di sinilah nama Tentara Nasional Indonesia (TNI) kerap disebut. Bukan tanpa alasan. Dalam beberapa tahun terakhir, tentara tidak hanya berdiri di garis depan pertahanan negara, tetapi juga turun tangan dalam berbagai urusan sipil—dari membuka jalan desa hingga mengawal distribusi pangan. Maka, tidak heran bila kini muncul gagasan untuk melibatkan mereka dalam program ketahanan air nasional.
TNI memang memiliki kekuatan logistik dan kapasitas mobilisasi yang luar biasa. Di wilayah-wilayah yang sulit dijangkau, di mana pemerintah daerah terkadang lamban atau kekurangan sumber daya, kehadiran tentara mampu mengubah peta keterjangkauan pembangunan.
Kita telah melihat bagaimana satuan zeni konstruksi TNI membangun embung, memperbaiki irigasi, hingga membantu menyediakan sumber air bersih untuk warga desa dalam program-program seperti TNI Manunggal Membangun Desa (TMMD). Ketika institusi sipil mengalami kelumpuhan birokrasi atau kekurangan tenaga teknis, TNI datang membawa efisiensi dan kedisiplinan.
Namun, di balik ketangguhan itu, terselip satu persoalan mendasar yang perlu kita soroti: apakah keterlibatan TNI dalam urusan air menandakan kekuatan institusi militer, atau justru mengungkap kelemahan institusi sipil?
Di sinilah letak paradoksnya. Ketahanan air seharusnya menjadi bagian dari kerja teknokratik yang berkelanjutan, berbasis riset, tata kelola sumber daya alam, dan partisipasi masyarakat. Tapi ketika lembaga-lembaga yang memiliki mandat itu—seperti Kementerian PUPR, Badan Nasional Penanggulangan Bencana, hingga dinas-dinas lingkungan hidup di daerah—tidak berjalan sebagaimana mestinya, maka solusi tercepat adalah mengandalkan aktor yang paling siap secara fisik dan logistik: TNI.
Namun, mengandalkan TNI untuk urusan sipil secara terus-menerus bukanlah hal yang tanpa risiko. Ketika peran-peran nonmiliter terus diambil alih oleh institusi militer, ruang sipil perlahan menyusut. Ini bukan sekadar persoalan tugas dan fungsi, tetapi juga arah demokrasi kita sebagai bangsa.
Dalam jangka panjang, dominasi militer di ranah-ranah sipil bisa menumpulkan kemampuan birokrasi sipil dan menurunkan kualitas partisipasi publik. Negara menjadi terlalu bergantung pada satu entitas, sementara keberagaman aktor dalam tata kelola hilang perlahan-lahan.
Tentu saja, ini bukan berarti tentara tidak boleh terlibat sama sekali. Dalam kondisi darurat atau di wilayah yang sangat tertinggal, kehadiran TNI adalah aset besar yang tak tergantikan. Tapi keterlibatan itu seharusnya bersifat pelengkap, bukan pengganti. Mereka bisa hadir sebagai mitra, bukan sebagai pemimpin proyek. Dalam skema ideal, tentara membantu mempercepat pelaksanaan teknis di lapangan, sementara perencanaan, pengawasan, dan pemberdayaan masyarakat tetap berada di tangan lembaga sipil.
Masalah ketahanan air sendiri sejatinya tidak bisa diselesaikan hanya dengan pembangunan fisik. Kita butuh sistem pengelolaan yang terintegrasi, edukasi masyarakat tentang konservasi air, serta pembenahan tata kelola yang menyeluruh—sesuatu yang tidak bisa dicapai hanya lewat pendekatan militeristik. Air bukan hanya soal akses, tapi juga keberlanjutan.
Maka, bila pemerintah ingin melibatkan TNI dalam ketahanan air, pertanyaan yang harus dijawab lebih dulu adalah: apa rencana jangka panjangnya? Apakah ini solusi sementara sambil memperkuat kapasitas sipil, atau justru bentuk ketergantungan struktural yang tidak sehat? Di tengah ancaman krisis air yang semakin nyata, kita memang butuh kecepatan dan efisiensi. Tapi kita juga harus tetap menjaga prinsip-prinsip tata kelola yang adil, partisipatif, dan berorientasi pada masa depan.
Tentara bisa menggali sumur dan membangun embung, tapi menjaga aliran air tetap bersih dan lestari adalah tugas bersama—yang tidak bisa diserahkan hanya pada kekuatan fisik. Diperlukan kebijakan yang cerdas, institusi yang kuat, dan masyarakat yang terlibat penuh. Tanpa itu, ketahanan air hanyalah mimpi di tengah kegersangan sistem yang tak kunjung berubah.