Nampaknya manusia memang diberi anugerah berupa rasa penasaran. Semenjak masih kanak–kanak, sampai tua manusia hidup dengan banyak rasa penasaran yang datang dan pergi. Itulah alasan yang agaknya bisa kita terima atas kemajuan-kemajuan yang dialami manusia.
Kalau mengambil hasil buah pikir Yuval Noah Harari, penulis buku Sapiens yang konon sering cetak ulang itu, paling tidak manusia mengalami tiga kali tahapan perubahan yang berdampak besar bagi peradaban. Revolusi kognitif, revolusi pertanian dan revolusi sains.
Sudah seharusnya di setiap tahapan perubahan manusia mempersiapkan diri. Paling tidak jika perubahan tahap selanjutnya datang manusia tidak kaget. Dalam dua tahap perubahan, revolusi kognitif dan revolusi sains, wajar jika manusia tidak mempersiapkan apa pun.
Masih berada pada masa awal peradaban. Belum mencapai titik di mana pikiran dapat difungsikan lebih canggih daripada sekadar hidup sebagai pemburu pengumpul atau pun bertani. Ketika perubahan terjadi manusia menjalani begitu saja. Seleksi alam dibiarkan memfilter secara natural apa yang harus dilanjutkan dan apa yang tidak.
Seharusnya setelah revolusi sains berbeda. Revolusi ini adalah tahapan termutakhir dan lebih canggih dari revolusi – revolusi sebelumnya.
Setelah revolusi ini manusia mencapai titik yang cukup untuk mendayagunakan pikirannya bukan hanya untuk menjalani keseharian sebagai pemburu-pengumpul dan petani. Tetapi juga melakukan analisis, prediksi-prediksi dan antisipasi atas perubahan – perubahan yang terjadi berikutnya.
Ternyata, itu pun tak sesempurna yang kita bayangkan. Revolusi informasi (ini istilah ngawur dari saya) tak sepenuhnya bisa diterima dengan baik.
Manusia yang seharusnya sudah mencapai tahapan dewasa dalam ukuran peradaban, jika dihitung sejak awal peradaban manusia di bangun, di tengah kemajuan teknologi informasi manusia seperti kembali menjadi anak kecil. Tak bisa bersikap bijaksana atas mudahnya informasi yang di dapat dan berlalu lalang.
Zaman menjadi begitu berisik. Bukan dalam rangka menggunakan informasi sebagaimana mestinya, tetapi dalam rangka menebarkan kebohongan, kebencian untuk kepentingan pribadi atau kelompok.
Sedikit banyak hal tersebut bersifat destruktif terhadap peradaban yang sudah terbentuk. Perdamaian, persaudaraan bisa rusak begitu saja hanya karena informasi yang mungkin tidak lebih dari 20 kata yang tersebar melalui media sosial. Pelanggaran moral sangat mungkin terjadi hanya karena tulisan, gambar atau video melalui media – media online.
Saya tidak tahu apakah itu semacam paradoks. Sebagaimana sifat paradoksal pada oksigen. Di satu sisi digunakan manusia untuk bernafas. Di sisi lain mematikan kulit. Menunjang proses penuaan manusia.
Kalau iya, sebenarnya manusia bisa menghitung-hitung. Berapa takaran yang tepat di sisi positif dan negatifnya. Sisi negatif adalah sebuah keniscayaan. Tinggal bagaimana menakar sisi positif supaya bisa menangkal sifat destruktif yang berlebihan dari sisi negatif.
Hal tersebut bisa diwujudkan dengan membentuk pagar – pagar, berupa aturan – aturan yang benar – benar ditegakkan. Bukan pseudo peraturan. Yang bisa jadi mudah dilanggar, atau justru dimanfaatkan untuk menambah destruksi.
Kalau tidak, bisa jadi ini adalah kegagalan manusia. Salah dalam membangun dan memelihara sistem. Atau sistemnya tidak salah, tetapi manusia yang tidak bisa mengelolanya.
Jika kita berpandangan bahwa, kerusakan adalah kehendak Tuhan dan kita hanya bisa pasrah, apa yang saya utarakan tersebut tidak berlaku. Takdir, nasib memang ada. Kenyataan bahwa manusia tinggal menjalani suratan takdir atau nasib yang sudah digariskan Tuhan tidak salah. Tetapi, apakah usaha untuk menjalani suratan takdir atau garis nasib secara lebih berkualitas salah?
Saya kira usaha – usaha semacam itu adalah sesuatu yang lumrah. Dalam hal bencana alam kita punya BMKG. Yang selanjutnya BMKG melakukan upaya – upaya, entah itu dengan membuat alat seperti pendeteksi tsunami, atau membuat kiat – kiat yang dilakukan saat bencana terjadi, supaya bisa mengurangi buruknya akibat yang diterima. Dalam menghadapi perubahan sosial, zaman, atau apa pun yang berkaitan dengan peradaban lembaga semacam BMKG belum ada.
Kita memang punya banyak kementrian yang secara hierarkis terlihat rapi dari atas ke bawah. Tetapi, nyatanya lembaga – lembaga itu lebih terkesan “yaudah jalani dulu aja.” Seperti seorang laki – laki yang menjalin hubungan status dengan seorang perempuan. Tanpa visi yang jelas, sangat mungkin punya kecenderungan untuk putus daripada melanjutkan hubungan dengan visi yang jelas ke jenjang berikutnya.
Apakah kita, sebagai rakyat tahu apa program jangka pendek yang harus segera dijalankan, program jangka menengah yang harus dijalankan sekitar 2 – 3 tahun semenjak mulai awal masa pemerintahan, juga program jangka panjang yang dalam waktu lima tahun hanya sebagai masa awal rintisan ?
Seringkali yang terjadi, keputusan yang muncul tak mengindahkan hal – hal semacam itu. Segalanya hanya bersikap incidental. Karena pengelola setelahnya merasa harus berbeda dan lebih baik dari pengelola sebelumnya dan setelahnya.
Padahal cara pandangnya seharusnya tidak seperti itu. Setiap pengelolaan berkesinambungan. Dan pengelola sebelumnya harus legowo jika pengelola setelahnya terkesan lebih baik karena program rintisan yang diawali oleh pengelola sebelumnya baru terlaksana pada masa pengelola setelahnya.
Jika persaingan – persaingan semacam itu terus dilestarikan, saya kira kita selamanya akan gagap, kaget dan selalu tidak siap atas perubahan – perubahan pada masa selanjutnya yang sudah niscaya akan terjadi.