Selasa, Desember 3, 2024

Ketidakpastian Hukum Menjadikan Kekerasan Seksual Marak Terjadi

Naufal Asyiri Banuarli
Naufal Asyiri Banuarli
Seorang mahasiswa jurusan Ilmu Politik di Universitas Hasanuddin, Makassar.
- Advertisement -

Apa yang ada dibenak kita ketika mendengar kata kekerasan, tentu akan berfikiran mengenai sesuatu tindakan yang melanggar norma dan juga bersifat merugikan bagi korbannya.  Memang tindak kekerasan yang terjadi di Indonesia saat ini sangatlah marak, baik itu pencurian yang dibarengi tindak kekerasan dan juga yang sedang hangat saat ini dibicarakan publik yaitu kekerasan seksual.

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat bahwa terdapat setidaknya 348.446 jumlah pelapor atas aduan tindak kekerasan seksual (2017). Jumlah ini tentu tidak bisa ditoleransi lagi, mengingat jumlahnya yang sangat banyak dan otomatis resiko timbulnya korban akan semakin banyak.

Hal yang lebih miris justru banyak dari korban yang memilih untuk bungkam karena beberapa hal, seperti takut diancam dan dilaporkan balik atas dalih pencemaran nama baik. Dari jumlah pelapor tersebut, diketahui bahwa justru banyak perempuan yang menjadi korban tindak kekerasan seksual. Bisa dikatakan bahwa kekerasan seksual seolah dijadikan ajang untuk melakukan penindasan terhadap perempuan dengan cara mengeksploitasi dan mengambil hak meeka.

Dalam permasalahan tindak kekerasan seksual, terkadang status gender selalu memiliki peran yang mendominasi. Status “dia perempuan” dan “dia laki- laki” terkadang menjadi pembeda dasar dalam tindak kekerasan yang marak terjadi. Hal ini dapat diasumsikan melalui teori gender di mana perempuan selalu memiliki sifat yang lemah gemulai, halus dan memiliki ketahanan pertahanan diri yang lebih lemah dari laki- laki.

Paradigma tersebutlah yang akhirnya menjadikan mengapa kekerasan seksual banyak terjadi pada perempuan, walaupun terkadang kekerasan seksual terjadi juga pada laki- laki, akan tetapi apabila kita lihat pada kacamata kriminal saat ini, kasus kekerasan seksual justru banyak dialami oleh perempuan.

Dampak yang ditimbulkan dari kekerasan seksual tentu beragam, mulai dari fisik ataupun psikis. Dalam hal fisik dimungkinkan timbulnya korban jiwa atas tindakan tersebut, sedangkan secara psikis yaitu timbulnya gejala traumatik paska kejadian yang tentu tidak dapat disembuhkan dalam waktu yang sebentar. Secara falsafah, memang setiap kekerasan akan menimbulkan dampak (impact), tidak ada satupun kekerasan yang tidak memiliki dampak/ resiko.

Mungkin kita tidak lupa dengan kasus kekerasan seksual yang dialami oleh Baiq Nuril, seorang pegawai honorer yang alih- alih bekerja untuk mendapatkan rezeki justru diperlakukan tidak adil dan dilecehkan oleh kepala sekolah di tempat ia bekerja dulu.

Mirisnya, Baiq Nuril bukan hanya sekali mengalami tindak seperti ini, tapi SAFENet selaku lembaga pendamping Baiq Nuril mengatakan bahwa ia telah mengalami tindak pelecehan seksual beberapa kali.

Bukannya alih- alih mendapat hak perlindungan, justru Baiq harus menerima kenyataan dirinya dijatuhi pidana penjara selama enam bulan dan denda sebesar 500 juta rupiah karena dianggap melakukan pelanggaran UU ITE yang dilakukannya melalui penyebaran rekaman pembicaraannya dengan kepala sekolahnya. Apa yang bisa diambil dari kasus ini? yaitu ketidakpastian sistem hukum.

Hukum yang seharusnya lebih adil kepada korban, justru hukum memandang perbuatan Baiq Nuril sebagai sesuatu yang salah. Padahal upaya tersebut ia lakukan agar ia mampu terbebas dari penindasan seksual yang selalu dilakukan oleh kepala sekolahnya. Dalam hal ini Baiq Nuril tentu memperjuangkan haknya agar tidak mendapat perlakuan seperti itu, apalagi ia mengatakan tindakan tersebut dilakukan oleh kepala sekolahnya beberapa kali. Jika Baiq Nuril bungkam, tentu ia akan selalu menjadi objek yang dieksploitasi oleh kepala sekolahnya.

- Advertisement -

Kenapa hal demikian bisa terjadi, apakah dengan belum disahkannya RUU penghapusan kekerasan seksual menjadi problematika utama maraknya kasus ini? tentu saja ia, karena semakin lama RUU ini disahkan maka proses peradilan pada korban pun akan berjalan dengan lama dan imbasnya yaitu kepada pelaku yang akan melakukan tindakan tersebut secara berulang kali mengingat status hukum yang belum pasti.

Alotnya proses pengesahan RUU penghapusan kekerasan seksual dilatar belakangi oleh jenis dan bentuk kekerasan seksual yang ditangani, di mana DPR yang berada di komisi ini hanya menganggap bahwa dikatakan kekerasan seksual apabila dilakukan secara langsung, sehingga mereka menganggap bahwa kekerasan non fisik/ melalui media bukan dikatakan sebagai sebuah kekerasan seksual.

Padahal apabila ditelaah lebih lanjut, tentu kejahatan seksual verbal seperti itupun dapat dikatakan sebagai bentuk penyimpangan seksual karena upaya tersebut dilakukan oleh pelaku seolah- olah untuk mengintimidasi dan menjatuhkan martabat Baiq Nuril.

Harapannya tentu untuk segera disahkannya RUU penghapusan kekerasan seksual yang memuat seluruh jenis kekerasan seksual, tidak hanya kekerasan seksual yang dilakukan langsung, akan tetapi dilakukan juga secara verbal (tidak langsung).

Akar persoalan dari maraknya tindak kekerasan seksual yaitu salah satunya RUU yang tidak kunjung difinalisasi. Padahal apabila meliihat maraknya kasus yang telah terjadi, maka  upaya terbaik yang dapat dilakukan yaitu dengan mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) ini.

Para pembuat kebijakan tentu (policy maker) tentu tidak bisa berdiam diri lagi dengan maraknya kasus kekerasan seksual yang terjadi, maka dari itu pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tentu akan menjadi jawaban untuk mengatasi kasus kekerasan seksual yang marak terjadi. Dengan disahkannya RUU ini, maka masyarakat telah mendapatkan perlindungan hukum dan kepastian hukum.

Oleh karena itu, sangat diharapkan RUU ini sangat pro terhadap korban. Maksudnya yaitu diharapkan RUU ini mampu memberikan perlindungan yang maksimal kepada korban dan juga memberikan efek jera kepada pelaku dengan memberikan hukuman berat atas tindakan kekerasan seksual yang dilakukan.

Apabila kita mengacu pada perspektif Hak Asasi Manusia  (HAM) pelaku jelas bersalah karena menodai hak- hak yang dimiliki masyarakat lainnya seperti hak rasa aman dan hak hisup, oleh karena itu wajarlah jika hukuman kurungan penjara menjadi solusi agar dikemudian hari kasus semacam ini tidak terjadi lagi.

Dengan disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, maka masyarakat tidak perlu khawatir lagi akan terkena tindak kekerasan seksual. Status hukum yang jelas tentu akan membawa keadilan sebaik- baiknya untuk masyarakat banyak. Selain itu dengan pengesahan RUU ini, maka pemerintah telah menjamin terciptanya tatanan sosial yang baik dan juga kesetaraan gender. RUU ini tentu dapat menjadi tonggak awal perjuangan perempuan menuju kesetaraan.

Naufal Asyiri Banuarli
Naufal Asyiri Banuarli
Seorang mahasiswa jurusan Ilmu Politik di Universitas Hasanuddin, Makassar.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.