Berawal dari debat capres pada tanggal 30 Maret 2019 lalu, “perang” menjadi salah satu kata yang eksotis beberapa hari ini di ruang publik. Seperti yang ditemukan dalam tulisan singkat dari Andreas Anangguru Yewangoe. Intinya, beliau menyimpulkan bahwa perang adalah sebuah ketidakmungkinan. Prakondisinya ialah stabilitas domestik dan persahabatan internasional.
Selain itu, menurut beliau, manusia saat ini sangat memperhitungkan cost and benefit. Daripada berperang yang akan membuang biaya besar, manusia atau negara cenderung untuk saling bekerja sama sambil mengupayakan keuntungan.
Yewangoe juga menyitir Yuval Noah Harari. Menurutnya, Harari, dalam buku berjudul Homo Deus, mengatakan bahwa mustahil perang terjadi (the impossibility of war) di masa kini. Dari antara ketiga persoalan utama umat manusia, perang sudah berhasil diselesaikan.
Dalam tulisan itu sebenarnya Yewangoe sudah menyatakan bahwa “perang” itu masih ada tetapi berbeda sifat. Di abad pertengahan berupa invasi, sedangkan di abad ini bersifat transnasional. Dikenal dengan istilah “proxy war”. Sederhananya, aktor di sebuah negara menyerang negara lain dengan memanfaatkan anasir di dalam negara lain tersebut.
Jadi, pertanyaan yang relevan adalah apa sebenarnya yang dimaksudkan dengan perang (war) itu? Apakah benar Harari bermaksud demikian? Apakah sekarang perang merupakan suatu kemustahilan dan kita sedang menuju atau berada di dunia tanpa perang?
Menurut kamus Merriam-Webster, perang memiliki dua arti. Pertama, perang adalah konflik terbuka dan bersenjata yang berlangsung antar-negara atau bangsa. Arti yang pertama ini memperlihatkan bahwa perang itu berlangsung khusus di dalam unit politik yaitu negara atau bangsa.
Kedua, perang dipahami sebagai situasi konflik, permusuhan, dan antagonistik. Konsepsi ini menunjukkan bahwa perang tidak hanya berlangsung dalam unit politik. Akan tetapi, juga bisa terjadi di level individu dan komunitas sekaligus bersentuhan dengan domain psikis, sosial, ekonomi, dan lainnya. Di sini, perang tidak hanya berarti konflik bersenjata.
Harari melihat perang sebagai salah satu dari tiga musuh besar umat manusia (Yoval Noah Harari, 2017). Dua yang lain ialah kelaparan (famine) dan penyakit (plague). Perang dilihat dalam pengertian yang pertama yakni kekerasan bersenjata yang dilangsungkan oleh unit politik.
Tiga problem tersebut, lanjut Harari, sebelumnya dianggap sebagai hukum semesta. Maksudnya hal yang berada di luar otoritas manusia. Oleh karena itu, hanya “Tuhan” yang mampu melepaskan manusia dari ketiganya.
Manusia berdoa kepada Tuhan agar diselamatkan dari kelaparan, kesakitan, dan kekerasan. Hasilnya? Negatif. Ketiganya terus menghabisi manusia.
Sampai akhirnya, menjemput abad ke-21, manusia menemukan bahwa ketiganya bisa diatasi. Bukan dalam arti meniadakan secara total, tetapi mengontrol agar tidak terjadi.
Terkait kelaparan, manusia telah berhasil meminimalisir. Bahkan, bukan lagi sekedar kurang makan yang menjadi soal sekarang, tetapi obesitas. Dari dunia kesehatan, inovasi bioteknologi telah berhasil menangani ancaman virus dan bakteri. Akan tetapi, secara simultan, juga mendorong terciptanya senjata biologis yang mematikan.
Tentang perang, manusia sudah lebih rasional. Perang adalah hal yang mahal di setiap sisinya dan ternyata dapat dikendalikan.
Rasionalitas membuat manusia bukan saja berhasil mematahkan hukum rimba yang menandaskan bahwa perang tetap merupakan salah satu opsi. Tetapi, juga hukum Chekov yang mengatakan bahwa senjata yang telah diciptakan suatu saat pasti digunakan.
Di masa dewasa ini, definisi perdamaian bukan lagi sekedar ketiadaan perang, tetapi ketidak-masuk akalan perang (the implausibility of war).
Berbeda dengan Yewangoe yang memilih term impossibility, Harari menggunakan implausibility. Aksentuasi kedua istilah ini berbeda. Yang terakhir merujuk pada hubungan kausal, sedangkan yang pertama menekankan kemampuan eksistensial.
Sederhananya, perang itu mungkin (possible), tetapi sulit dipercaya (implausible) untuk bisa terjadi dalam konteks tertentu. Kendati manusia sudah rasional, bukan tidak mungkin (impossible) perang itu terjadi.
Dicontohkan oleh Harari, meskipun Jerman dan Perancis berdamai pada tahun 1913, tetapi semua tahu bahwa tahun berikutnya mereka akan berperang. Namun sekarang, ketika berlangsung perdamaian antara Jerman dan Perancis, hal itu dimaksudkan bahwa tidak ada situasi dan kondisi yang masuk akal untuk memicu keduanya berperang.
Dalam konteks Indonesia, sulit menemukan alasan untuk Indonesia berperang dengan Filipina atau negara-negara tetangga lainnya. Walaupun demikian, mungkin saja suatu waktu Indonesia akan berperang. Sehingga, pertahanan dalam bentuk apapun harus dimaksimalkan. Bersamaan dengan itu, jalur diplomasi (soft approach) tetap diprioritaskan.
Kata Harari, “if the laws ever do catch up with us, it will be our own fault –not our inescapable destiny.” Artinya, jika perang kontemporer tetap terjadi, maka itu bukan merupakan nasib yang tak dapat ditolak. Sesungguhnya, itu adalah kesalahan manusia.
Harari ingin mengatakan bahwa rasionalitas manusia itu relatif. Manusia tidak selalu digerakkan oleh akal sehat. Irrasionalitasnya dapat berujung pada kekerasan. Dengan demikian, penyebab perang ada pada diri manusia itu sendiri.
Lalu bagaimana dengan negara? Negara juga demikian. Contohnya, Jepang yang sebelumnya mengisolasi diri akhirnya terlibat perang berkelanjutan demi sebuah pengakuan. Faktor ekonomi menjadi sekunder.
Harus kita sadari bahwa ada banyak dalil untuk berperang. Tetapi, lebih banyak alasan untuk berdamai. Perang adalah mungkin. Jadi, tetaplah giat membangun perdamaian.
Referensi
Yoval Noah Harari. 2017. Homo Deus: A Brief History of Tomorrow. London: HarperCollins Publisher Ltd.