Minggu, Oktober 6, 2024

Ketahuilah Aditya N, Transportasi Online Itu Keniscayaan

Mimpi Ujian

Ahmad Fedullah
Ahmad Fedullah
Penulis Lepas

Akhir-akhir ini di beberapa daerah terjadi penolakan yang berujung pada pelarangan transportasi online. Diantaranya Banyumas, Yogyakarta, Batam, Malang, Pekanbaru dan Jawa Barat. Beberapa pemerintah daerah ini melarang operasional transportasi online setelah adanya desakan dari Organisasi Angkutan Darat (Organda).  Organda menentang transportasi online dianggap mengancam mata pencaharian para sopir angkutan konvensional.

Pada tanggal 18 Oktober 2017, ada tulisan menarik oleh Aditya N yang dimuat di Geotimes dengan judul “Kaum Luddites dan Para Penentang Transportasi Online”. Pada intinya, tulisan ini ingin meneguhkan bahwa penolakan serta pelarangan terhadap transportasi online adalah sebuah kewajaran. Dalam tulisan ini, ada dua hal yang ingin saya komentari terkait argumen Aditya N bahwa penolakan Organda terhadap transportasi online yang berujung pada pelarangan pemerintah daerah seperti Pemda Jawa Barat adalah sebuah hal yang bisa dimaklumi.

Pertama, pendapat Aditya N bahwa penolakan terhadap transportasi online tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di negara-negara lain. Ia mencontohkan di London. Betul, pada Jumat (22/9/2017) regulator transportasi London (TfL) resmi mencabut izin operasional transportasi online Uber. Bahkan keputusan tersebut mendapat dukungan dari Walikota London Sadiq Khan. Tetapi, Aditya N lupa menjelaskan bahwa dicabutnya lisensi Uber di London karena tersandung berbagai persoalan seperti mengabaikan keselamatan penumpang dan kasus pelecehan seksual yang berujung keluarnya CEO sekaligus pendiri Uber, Travis Kalanick.

Persoalannya, mengapa Uber di London dilarang, sedangkan di negara-negara lain seperti Singapura, Malaysia, Amerika Serikat, Filipina dan Jepang menerimanya? Hal ini menunjukan tinggal bagaimana pihak perusahaan transportasi online, transportasi konvensional serta pemerintah setempat menemukan win-win solution, dari persoalan tersebut.

Di Indonesia sendiri, transportasi online bukan hanya Uber, ada Go-Jek dan Grab. Apakah perusahaan-perusahaan itu, khususnya Uber di Indonesia tidak memperhatikan keselamatan penumpang? Kalau memang mau tegas, pemerintah akan lebih bijak melarang operasional perusahaan transportasi online yang terbukti mengabaikan keselamatan penumpang serta melakukan berbagai kecurangan tanpa mengebiri semuanya? Saya kira itu perlu menjadi pertimbangan.

Pertimbangan itu penting, pasalnya di Indonesia transportasi online telah menjadi primadona masyarakat. Banyak hal positif yang didapat masyarakat dari hadirnya moda transportasi ini. Kenyamanan serta harga yang terjangkau menjadi alasan masyarakat mulai beralih menggunakan transportasi online.

Melarang transportasi online dengan alasan tidak memperhatikan memperhatikan keselamatan penumpang, justru bisa menjadi kritik tajam untuk pelayanan angkutan umum. Pasalnya, kekerasan seksual yang dilakukan oleh para sopir angkot misalnya, jauh lebih nyaring dibanding oleh pengemudi transportasi online. Yang terbaru contohnya, kasus pemerkosaan sopir angkot bernama Rudi Hartono (23) warga Gang Mekar Sari Cijerah, Cimahi Selatan terhadap EN (15) di dalam angkotnya. Bahkan ia tega meninggalkan korban di Tol Pasteur Bandung, Selasa (12/9/2017).

Poin kedua yang ingin saya kritik dari Aditya N adalah tuduhan niat jahat transportasi online yang dianggap ingin membunuh transportasi umum yang sudah ada dengan memberikan tarif serendah-rendahnya. Lagi-lagi, Aditya N membaca fenomena ini hanya dari kacamata Organda, sama sekali tidak melihat apa yang dibutuhkan masyarakat. Tak perlu diragukan lagi, masyarakat jelas menginginkan tarif kendaraan lebih murah, nyaman dan efisien.

Masyarakat memilih ojek online atau taksi online karena tarif yang lebih terjangkau dibanding dengan taksi konvensional atau ojek pangkalan. Sebagai perbandingan, naik ojek online dari Ciputat-Pondok Ranji cukup bayar 6 ribu. Tapi naik ojek pangkalan dengan jarak yang sama tak mau dibayar 15 ribu. Naik angkot memang cukup 5 ribu, tapi harus mengorbankan waktu berkali-kali lipat, karena terlalu lama dan sering berhenti. Disnilah nilai efisiensi menjadi pilihan.

Kemudian, Aditya juga lupa bahwa moda transportasi konvensional semacam taksi Blue Bird juga awal kehadirannya mendapat penolakan dari sopir transportasi yang lebih dulu ada. Wakil Presiden Jusuf Kalla, pada 2016 lalu pernah mengatakan bahwa pertama kali hadir di Indonesia, Taksi Blue Bird mendapat penolakan diberbagai daerah. Di Bali, Surabaya dan Makassar ada aksi penolakan Taksi Blue Bird.

Jadi, melarang transportasi online dengan alasan bakal membunuh transportasi konvensional jelas bukan sebuah langkah yang bijak dilakukan pemerintah. Pemerintah daerah yang hingga saat ini masih melarang transportasi online lebih baik belajar dari masa lalu, bagaimana transportasi konvensional pada akhirnya bisa diterima, bahkan dalam waktu yang lama menjadi primadona masyarakat.

Angkutan Umum Harus Berbenah

Dibanding mendemo-menolak kehadiran transportasi online yang sudah jelas digandrungi masyarakat, angkutan umum lebih baik mengkoreksi diri dan melakukan pembenahan. Perkembangan teknologi digital bagaimanapun tak bisa dihindari. Presiden Jokowi sendiri berulang kali menyampaikan hal ini, keberadaan transportasi online merupakan sebuah industri kreatif. Untuk itu meski dibutuhkan sebuah aturan, Jokowi menginginkan aturan yang dibuat tidak membebani masyarakat, seperti harga yang tinggi.

 

Ahmad Fedullah
Ahmad Fedullah
Penulis Lepas
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.