Ketahanan pangan merupakan sebuah bahasan yang selalu menjadi topik hangat di berbagai negara. Melalui berbagai pendefinisian tentang ketahanan pangan (food security), mempunyai perubahan dalam setiap konteks, waktu, dan tempat. Sebanyak 200 definisi yang tercetus berdasarkan FAO dan Maxwell, terpecah sebanyak 450 indikator ketahanan pangan.
Ketahanan pangan ketika adanya konferensi pangan dunia di tahun 1974 sampai pertengahan dekade 90an. Perubahannya selalu terjadi pada tingkat global, nasional, skala rumah tangga, dan individu. Dari berbagai perspektif pangan sebagai landasan awal dalam kebutuhan dasar (food first perspective), hingga pada aspek perspektif penghidupan (livelihood perspective) dan berbagai indikator objektif hingga persepsi subjektif.
Eksekusi keberlanjutan produksi pangan lokal, harus terus diupayakan secara merata terhadap seluruh masyarakat yang berada di Indonesia, agar catatan keberhasilan swasembada pangan dapat dijadikan sebagai indikator kesuksesan dalam pemenuhan pangan keseharian.
Berbagai metode dan pengadopsian strategi telah dilakukan, termasuk kepada aspek pemenuhan kebutuhan pangan dengan memenuhi adanya penyediaan lahan untuk petani mudah akses, peningkatan produksi pangan yang selalu dijalankan, serta melakukan sistem diversifikasi dan pengolahan pangan.
Maka, hal ini akan melibatkan sektor swasta, dan memperhatikan ketentuan khusus terhadap sebuah kelompok yang rentan. Dengan menerapkan sistem kebijakan yang berlanjut, diperlukannya pemerhatian lebih dalam aspek kesetaraan dan kesehatan. Penyediaan dalam sektor makanan yang mudah diakses serta terjangkau, adalah alat dalam mendukung adanya memainkan peran sistem pangan agar perwujudan makanan sehat dapat dirasakan dan mudah diakses, dengan maksud agar meningkatkan kualitas gizi masyarakat.
Keberadaan konsep swasembada ekonomi ketahanan pangan, dapat dilakukan pengaplikasiannya pada lingkungan kecil, seperti dari keluarga. Dalam meningkatkan pengelolaan produksi pangan lokal, dengan tujuan agar menciptakan keberlanjutan serta akses yang mudah diterapkan. Strategi pemanfaatan pekarangan, budidaya tanaman dalam sebuah media, diversifikasi dan pengolahan, merupakan cara untuk tetap bisa memudahkan dalam memenuhi akses pangan dalam tatanan tingkat rumah tangga.
Permasalahan pada sektor pembangunan merupakan kasus yang belum dapat teratasi hingga saat ini, termasuk kepada aspek kemiskinan. Kemiskinan yang menjadi terikat dengan Indonesia, merupakan cerminan dalam aspek ketahanan pangan yang ada. Dengan skala 26,58 juta atau 10,12% dari penduduk total di Indonesia, masih terbilang dalam tatanan tingkat tidak mampu.
Tercatat pada riwayat Global Food Security Indeks (GFSI) pada tahun 2017 di negara Indonesia, termasuk kedalam posisi 69 ketahanan pangan. Dilihat dari publikasi yang dilakukan oleh World Food Programme (WFP), sebanyak 398 kabupaten, dan terdapat 58 kabupaten atau dipresentasikan (15%), mempunyai tingkat rentan terhadap ketahanan pangan. Termasuk kepada 136 kabupaten atau interpretasinya (34%), dengan tingkat kerentanan yang sedan dan terkahir pada 204 kabupaten atau interprestasinya (51%), dinyatakan pada ketahanan pangan yang stabil.
Sebagai contoh di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang merupakan provinsi di Indonesia dengan tingkat ketahanan pangan dengan tatanan rendah. Kasus ini telah dikonfirmasi oleh Badan Ketahanan Pangan, dengan menyatakan sebanyak 12 kabupaten atau interprestasinya (60%), diwilayah NTT memiliki kategori dengan daerah yang tidak tahan pangan. ‘
Penduduk NTT dengan tingkat kecukupan gizi kurang dari 70% masih dianggap sangat tinggi, karena pada tahun 2007 – 2014 rata – rata sebesar 22,49% mempunyai tren yang terus meningkat selama tiga tahun terakhir. Selain itu, ketahanan pangan dalam tingkat rumah tangga dapat diukur dengan cara melakukan adanya pengukuran dengan indikator pengeluaran pangan dan non pangan.
‘Faktor yang menjadi kesejahteraan ketahanan pangan dalam rumah tangga, dapat dilihat dari pendidikan kepala rumah tangga, pendidikan ibu, pekerjaan kepala rumah tangga, pekerjaan ibu, pengetahuan ibu perihal gizi, pendapatan, dan jumlah anggota rumah tangga. Dapat dikatakan sejahtera apabila pendapatan, pemenuhan, akses kemudahan pangan, telah dicapai dengan mudah.
Namun begitu, ketahanan pangan akan selalu terikat dengan beberapa aspeknya, dan termasuk kepada kesejahteraan rumah tangga, dengan melalui adanya pembuktian pendapatan. Dengan begitu, perekonomian suatu keluarga menjadi salah satu penentu dalam kesejahteraan keluarga dan terjaganya aspek gizi yang dikonsumsi oleh anggota keluarga. Kestabilan pendapatan, akan tetapi tidak adanya dukungan pengetahuan, akan tetap menjadi sumbu pengaruh dalam keberhasilan kesejahteraan keluarga.
Tingkat pendidikan serta pengetahuan yang rendah, menjadi tolak ukur dalam menentukan kesejahteraan keluarga, ketika anggota keluarga dengan tingkat pendidikan yang baik dapat memberikan pengurangan pada aspek penganggaran, menabung, dan pengelolaan sumber daya dengan daya guna untuk memajukan ketahanan pangan keluarga. Sebagai contoh kepada pedagang sayur, merupakan kelompok masyarakat dengan memiliki pekerjaan pada sektor informal dan umumnya pendapatannya hanya mencapai tatanan rendah saja.
Sektor informal ini umumnya memiliki modal kecil, dengan skala usahanya kecil, dan tidak mementingkan pendidikan, fokusnya kepada pengalaman dan dibantu oleh keluarga saja. Kuantitas dan kualitas ini menjadi persoalan dalam pengaruhnya pendapatan rumah tangga, terhadap ketahanan pangan dalam rumah tangga. Apabila rumah tangga dengan pendapatan besar mampu memenuhi kebutuhan non pangan, dan kebutuhan pangan dalam keluarga, maka akan dikatakan sejahtera. Sebuah rumah tangga dikatakan tahan pangan, ketika pengeluaran pangan rumah tangga <60%. Semakin besar pengeluaran pangan suatu rumah tangga, maka rumah tangga tersebut memiliki ketahanan pangan yang rendah.
Pendapatan tinggi tidak selalu menjamin ketahanan pangan keluarga, dengan 50% rumah tangga berpendapatan tinggi tetap tidak tahan pangan. Pertanian berkelanjutan menjadi solusi untuk meningkatkan kesejahteraan pangan di tengah tantangan populasi, kemiskinan, dan perubahan iklim.
Program seperti wakaf sawah yang terintegrasi dengan Rice Market Center (RMC) mendukung keberlanjutan lahan pertanian dan kesejahteraan petani melalui distribusi hasil tani. Di Jawa Tengah, pendekatan bio-siklus yang mengurangi limbah dan mendaur ulang biomassa menjadi model yang sukses dan relevan untuk petani kecil. Strategi ini berpotensi diterapkan di berbagai daerah untuk meningkatkan pendapatan dan ketahanan pangan masyarakat bawah hingga menengah.