Jumat, April 26, 2024

Kesedihan dalam Perspektif Al-Kindi

Iip Rifai
Iip Rifai
Penulis Buku "Persoalan Kita Belum Selesai, 2021"| Alumnus : ICAS Paramadina University, SPK VI CRCS UGM Yogyakarta, Pascasarjana UIN SMH Banten, Sekolah Demokrasi Serang 2014.

“Al-Huznu huwa faqd al-mahbub wa faut al-mathlub”. Kesedihan adalah hilangnya yang dicinta dan luputnya yang didamba. Demikian Filosof Al-Kindi (w. 866) mendefinisikan kesedihan dalam bukunya yang berjudul Al-Hilah Li Daf Al-Ahzan (Seni Menepis Kesedihan)

Terus terang, sejak pertama lahir hingga kini, saya tak pernah “mencicipi” kursi pesawat sedikitpun. Mulai dari pesawat termahal, mahal hingga pesawat murah dan paling murah sekalipun.

Pasalnya, bukan saya tak mampu membeli tiketnya. Namun saya bukan termasuk orang yang berkegiatan ‘mobile’ ke luar daerah atau tempat-tempat yang jauh, yang melintasi pulau atau negara, yang harus memakai jasa pesawat karena butuh waktu yang cepat (efisien) dan efektif.

Atau saya juga bukan juga seorang pelancong (traveller) yang kecanduan berpetualangan untuk mengelilingi dan menaklukkan dunia. Selama ini saya hanya pengguna jasa motor; grab atau gojek untuk kepentingan tugas atau lainnya.

Menyoal pesawat, beberapa hari terakhir ini, kita disuguhi berita jatuhnya pesawat Lion Air JT-610 (29/10/2018) di perairan Tanjung Karawang, Jawa Barat. Sejumlah orang meninggal tanpa satu orang pun yang selamat termasuk pilot dan awak kapal pun meninggal, tak ada yang terselamatkan.

Warga masyarakat Indonesia pun ikut bersedih atas musibah di atas, termasuk saya. Mereka menuangkan serta menampakkan rasa empati dengan mengirim doa kepada Yang Mahakuasa bagi para korban dan keluarga yang ditinggalkannya. Innaa lillahi wa inaa ilaihi raji’un.  “Semua milik Allah SWT dan akan kembali kepada-Nya”, begitu kira-kira kalimat mujarab yang representatif untuk menghadapi musibah ini.

Bagi seorang yang beriman, ia akan menyikapi musibah sebagai sebuah kepastian dan ketentuan (takdir) Allah SWT terhadap hamba-Nya, yang tak bisa ditunda atau ditolak dengan alasan dan argumen apapun. Ia akan bersikap pasrah serta ikhlas menerima kepastian tersebut. Kesedihan memang manusiawi, ia tak bisa dipisahkan dari perasaan sang manusia. Tapi musibah juga tak membuat dirinya bersedih berkepanjangan kemudian larut dalam kesedihan tersebut.

Allah juga berfirman dalam QS. Al-Baqarah:155 yang isinya mengenai pentingnya kesabaran dalam menghadapi musibah. Pula ditambah dengan firman Allah yang lain: “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu musibah (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu. Mereka ditimpa oleh mala petaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan dengan bermacam-macam cobaan (gempa bumi dan sebagainya) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang beriman yang bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan Allah.” Ingatlah sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat” (QS. Al-Baqarah: 214)

Dengan demikian persepsi kita tentang musibah harus kembali pada al-Qur’an, bagaimana al-Qur’an menjelaskannya dengan kalimat yang singkat dan jelas ”Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya”. Ayat ini mempertegas bahwa musibah berupa pesawat jatuh, kapal tenggelam, gempa bumi, dan lain-lain adalah kehendak-Nya. Mahakuasa Allah atas segala ciptaan-Nya.

Move on atau bangun kembali dari keterpurukan setelah mendapatkan musibah adalah cara paling jitu mengahadapi realitas kehidupan agar tak tejebak dalam ruang kesedihan. Menyoal kesedihan, Al-Kindi (w. 866), seorang filosof muslim, mendefinisikan kesedihan sebagai penyakit jiwa yang terjadi karena dua hal, yaitu hilangnya yang dicinta dan luputnya yang didamba (Mulyadhi Kartanagara, Nalar Religius, 2009).

Untuk sebab pertama, yaitu “hilangnya yang dicinta”, Al-Kindi menganjurkan agar kita memahami sifat dasar dunia yang sementara, tidak kekal (fana). Segala yang kita cintai di dunia ini, baik harta, benda, keluarga yang terdiri dari anak, ayah, ibu, saudara kakak, adik dan seterusnya pasti akan punah. Dengan demikian jangan sesekali mengharapkannya akan menjadi kekal abadi. Jika kita menganggap semua hal di atas adalah sesuatu yang abadi, maka akan timbulah kesedihan karena semua yang ada di dunia ini akan hancur.

Seluruh korban pesawat Lion Air JT-610 merupakan orang yang paling dicintai dan disayangi oleh keluarganya. Hari tersebut merupakan hari nahas bagi para korban dan saat paling berat bagi keluarga yang ditinggalkan untuk berpisah dengan orang-orang yang mereka cintai dan sayangi selama ini. Musibah tak bisa ditolak, mustahil bisa diundur. Berpisah adalah sebuah keniscayaan yang harus diterima apapun dan bagaimanapun keadaanya. Kesedihan yang membuncah adalah sebuah rasa yang harus dipikul oleh mereka.

Sedangkan penyebab kedua “luputnya yang didamba” menurut Al-Kindi bisa diselesaikan dengan mengembangkan sikap hidup sederhana dan siap menerima (qana’ah). Sikap qana’ah adalah sebuah sikap terpuji (akhlak karimah) karena bisa menyesuaikan keinginan dengan kemampuan dan kemungkinan yang dimiliki. Dalam konteks ini adalah kemampuan untuk menerima kehilangan yang dicintai dan membatasi keinginan pada hal-hal yang mungkin dapat dicapai saja.

Apa yang kita terima dan nikmati setelah kita berdoa dan berusaha secara maksimal, itulah yang disebut dengan qana’ah. Ia tidak rakus dan buta mata terhadap apa yang ia inginkan, sebab keinginan selamanya tak akan terpenuhi selama nafsu manusia mendominasi. Oleh karena itu akal menjadi pengatur strategis untuk mengontrol atau menata hawa nafsu. Jika hawa nafsu sudah bisa diatur atau dikontrol maka ia secara otomatis akan memperoleh kebahagiaan.

Hawa nafsu yang tidak dapat dikontrol akan menghantarkan kepada kemadharatan, yang berarti menjauhkan dari kebahagiaan. Kebahagiaan atau kesempurnaan menurut Al-Razi, seorang filosof muslim (864-925 M), bisa dirasakan ketika terjadi keseimbangan (equilibrium) di antara al-nafs alsyahwiyah (nafsu syahwat), al-nafs al-ghadlabiyah (nafsu kemarahan), dan al-nafs al-nuthqiyah (nafsu rasional). Sebuah tugas yang amat berat namun kita berusaha sekuat tenaga agar ketiga nafsu di atas bisa berdiri seimbang serta kokoh.

Dua strategi jitu yang ditawarkan Al-Kindi untuk mengahadapi musibah di atas, apapun jenis musibahnya, merupakan obat mujarab untuk menepis kesedihan agar kita tak berlarut-larut terpenjara dalam kesedihan. Larut dalam kesedihan adalah penyakit jiwa yang harus segera disembuhkan. Ia sangat berbahaya bagi perkembangan jiwa seseorang di masa yang akan datang.

Seseorang yang ditimpa musibah, kemudian ia bersedih, kemudian ia bangkit dari kesedihan tersebut adalah tahapan yang mesti dilewati dengan sabar dan legowo. Kesedihan tak bisa disembunyikan juga tak bisa dinafikkan. Setiap insan pasti akan merasakannya, dan itu wajar serta manusiawi.

Bersabar dan menerima musibah atas insiden jatuhnya pesawat Lion Air dengan tulus ikhlas adalah bagian dari seni menepis kesedihan yang diajarkan Al-Kindi. Mengumbar amarah, mendiskreditkan keadaan serta berani menyalahkan Tuhan dalam menyikapi musibah  justru akan menambah sekaligus menumpuk penyakit jiwa. Wallahu a’lamu bi alshawwab.

Iip Rifai
Iip Rifai
Penulis Buku "Persoalan Kita Belum Selesai, 2021"| Alumnus : ICAS Paramadina University, SPK VI CRCS UGM Yogyakarta, Pascasarjana UIN SMH Banten, Sekolah Demokrasi Serang 2014.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.