Budaya Patriarki masih sangat kuat bercokol di kebudayaan masyarakat indonesia. “Jangan sekolah tinggi-tinggi. Ngapain perempuan sekolah kuliah nanti juga ujung-ujungnya menikah ngurus anak!”, itulah salah satu perkataan yang dilontarkan banyak orang. Meskipun zaman telah berubah yakni memberikan ruang bagi perempuan untuk berpendidikan namun pembatasan itu masih saja banyak terucap. Hal itu pun menjadi salah satu faktor rendahnya tingkat pendidikan perempuan.
Malangnya, pendidikan yang rendah banyak dialami oleh perempuan di wilayah-wilayah terpencil bahkan di daerah-daerah kantong pekerja migran seperti di Jawa Barat (Indramayu, Cirebon, Subang); Jawa Tengah (Cilacap, Kendal, Brebes); Jawa Timur (Ponorogo, Blitar, Malang); Lampung; Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat.
Rendahnya pendidikan adalah satu dari banyak faktor mengapa perempuan kemudian memilih untuk bekerja di Luar Negeri. Faktor rendahnya pendidikan menjadikan mereka banyak tertipu oleh calo. Iming-iming calo pun menggiurkan hati sehingga membulatkan tekad untuk bekerja ke luar negeri, “Nanti gaji kamu disana bisa sampai 8 juta! Tenang aja ini kamu melalui PT resmi.
Aman… Kamu bahkan dapat fasilitas : asrama dan makan”, begitu kata-katanya sangat memikat para calon pekerja migran. Dengan begitu, pekerja migran indonesia (PMI) tak banyak yang berpikir terlalu panjang pun tak mencari informasi terlebih dahulu meskipun akses informasi terbuka luas dan pemberitaan kasus PMI terus meningkat.
PMI didominasi oleh perempuan dengan profesi sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT). Berdasarkan data BNP2TKI tahun 2017, penempatan PMI Perempuan sebesar 70% dengan angka sebanyak 96.041 pekerja berprofesi sebagai PRT. Sedangkan tahun 2018, penempatan PMI Perempuan sebesar 68% dengan angka sebanyak 75.311 pekerja berprofesi sebagai PRT.
Di Indonesia, perempuan dianggap sebagai warga negara kelas kedua “second sex”, perlindungannya sangat terbatas. Dimanapun berada, perempuan terancam pelecehan dan kekerasan seksual. Hal itu tak luput dialami oleh PRT Migran di berbagai proses kerja : sebelum, selama dan setelah bekerja.
Sebelum bekerja, PRT Migran yang kerap kali ditampung terlebih dahulu di Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) untuk mendapatkan pelatihan dan proses-proses yang lain harus menerima pelecehan yang dilakukan oleh staf P3MI. Mereka dilecehkan dengan perkataan yang seksis atau merendahkan, dicolek, dipegam-pegang tubuhnya, dibentak, diancam dan lain seterusnya.
Selama bekerja di Luar Negeri, PRT Migran mengalami beban berlapis yakni sebagai perempuan yang selama ini dianggap lemah, diskriminasi dari negara penerima hingga minimnya perlindungan dari pemerintah Indonesia sebagai negara pengirim.
PRT Migran rentan menjadi objek eksploitasi karena kondisi kerja yang eksploitatif seperti kerja 12 – 18 jam per hari, potongan gaji berlebih, tidak ada jaminan sosial, penganiayaan, pelacuran, pemerkosaan hingga mengakibatkan kehilangan nyawa.
Kekerasan yang dihadapi PRT Migran diperparah dengan rentannya mereka terhadap perdagangan orang. Kekerasan tersebut kerap diperparah dengan kriminalisasi yang menyebabkan mereka semakin tak berdaya. Undang-Undang terkait pelindungan PMI seperti UU No 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan UU No 18 tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia tak cukup untuk melindungi PRT Migran korban kekerasan seksual.
Setelah PRT Migran bekerja dan pulang ke daerah asal, permasalahan pun tak serta merta tiada. Mereka harus mengalami permasalahan diantaranya : sulit mendapatkan gaji yang ditahan oleh Majikan, cacat permanen akibat dari kekerasan Majikan hingga meninggal dunia. Rumah tangga pun terancam gagal, PRT Migran banyak mengalami perceraian karena saat ditinggal bekerja, suami tidak bertanggungjawab. Senada dengan realita yang terjadi, 84% kasus yang diterima Migrant CARE pada tahun 2017 adalah kasus PMI perempuan meliputi; perdagangan orang, kontrak kerja, asuransi, dokumen, dan gaji.
Kekerasan seksual bagaikan momok bagi perempuan yang selama ini rentan menjadi korban. Pemerintah Indonesia harus memberikan perlindungan kepada warga negaranya, seharusnya secara cepat dan tanggap merespon permasalahan ini. Apalagi pemerintah indonesia telah meratifikasi instrumen internasional yakni Convention of Elimination of All Form of Discrimination Against Women (CEDAW) yang ditandai dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan.
Kekerasan seksual yang kian hari kian bertambah perlu segera direspon secara serius oleh pemerintah. Pada 18 Mei 2018 bertempat di Sekretariat Komnas Perempuan, organisasi yang memperjuangkan hak-hak pekerja migran, antara lain Jaringan Buruh Migran (JBM), Keluarga Besar Buruh Migran Indonesia (KABAR BUMI), LBH FAS, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Migrant CARE, dan Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) mendesak dan menuntut pemerintah untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS).
Aksi turun ke jalan pada 8 Desember 2018 juga dilakukan untuk mendesak pemerintah agar segera mengesahkan RUU P-KS. Aksi serentak memperingati Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan tersebut diikuti oleh berbagai organisasi masyarakat sipil, aktivis, aktris dan masyarakat luas.
RUU P-KS telah menjadi Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sejak 2016, bahkan Prolegnas Prioritas pada 2017 dan 2018. Tahun ini pemilu serentak semakin dekat, masa jabatan anggota DPR periode 2014-2019 akan segera berakhir. Namun, RUU P-KS tak kunjung disahkan. Padahal RUU P-KS sangat perlu dan penting untuk segera disahkan.
RUU P-KS akan menjadi dasar hukum yang bersifat khusus dibanding bersifat umum atau lex specialis derogat legi generali perlindungan perempuan terlebih PRT Migran yang rentan mengalami kekerasan di berbagai proses kerja : sebelum, selama dan setelah bekerja.
Peraturan perundang-undangan yang ada sampai saat ini belum memberikan perlindungan dan keadilan bagi korban kekerasan seksual. Dengan disahkannya RUU P-KS yang tentu dengan substansi yang menjunjung tinggi keadilan dan menjunjung tinggi martabat perempuan diharapkan dapat menjadi dasar hukum bagi korban untuk mendapatkan perlindungan berupa restitusi, rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, reintegrasi sosial dan pemenuhan hak-hak lainnya.
Sementara bagi pelaku diberikan sanksi hukum sebagai pembelajaran diantaranya hukuman penjara, hukuman denda dan kewajiban membayar restitusi.
Disahkannya RUU PKS akan menciptakan dampak positif dalam kerjasama internasional, memperkuat hubungan diplomatik serta bargaining position bagi Pemerintah Indonesia. Bahwa pemerintah Indonesia berupaya dalam pelaksanaan kesepakatan dunia untuk tujuan pembangunan berkelanjutan 2030 “Sustainable Development Goals” yang ke 5 yakni Kesetaraan Gender. Selain itu juga menunjukan bahwa pemerintah indonesia tidak hanya melindungi warga negara indonesia namun juga warga negara asing yang menjadi korban kekerasan yang terjadi di wilayah Indonesia.
Mari kita ciptakan kehidupan bernegara yang adil gender!