Sebelum ditetapkan dengan nama “Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa”, istilah “kepercayaan” atau “kebatinan” tampaknya lebih populer di tengah masyarakat. Dalam sejarah legalitas konstitusionalnya, penggunaan istilah “kepercayaan” lebih dahulu daripada istilah-istilah lain. Sebutan itu diusulkan pertama kali oleh KRMT Wongsonegoro dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tanggal 13 Juli 1945. Sedangkan pihak pemerintah (Departemen Agama) lebih mengintroduksi sebutan “aliran kepercayaan” ketika merintis Biro PAKEM (Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat). Karakteristik menonjol kepercayaan adalah bahwa kalangan penghayat Kepercayaan senantiasa berusaha mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, bersifat akomodatif terhadap anasir dari kebudayaan spiritual lain, dan mengutamakan prinsip kerukunan. Dalam konteks perbedaan agama dan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, maka para penghayat Kepercayaan menjunjung tinggi Pancasila yang dinilai sebagai the agreed values and principles (prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang disepakati).
Secara umum, kebijakan pemerintah yang berkenaan dengan para penghayat Kepercayaan menekankan pada legalitas formal eksistensi Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa di Indonesia. Pemerintah pada masa sebelum reformasi mengeluarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia nomor: IV/MPR/1973 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara. Dalam Ketetapan MPR tersebut dinyatakan bahwa di antara modal dasar pembangunan nasional ialah modal rohaniah dan mental, yaitu kepercayaan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Setelah berjalan lima tahun, kebijakan pemerintah tersebut diperkuat dengan keluarnya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia nomor: IV/MPR/1978 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara. Hal yang berbeda terletak pada pernyataan bahwa Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tidak merupakan agama, serta pembinaan terhadap kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dilakukan agar tidak mengarah pada pembentukan agama baru. Selanjutnya, GBHN 1999 menyebutkan bahwa arah kebijakan pembangunan nasional di bidang agama ialah peningkatan kerukunan hidup antar umat beragama.
Selain penerbitan GBHN itu, pemerintah mengesahkan Undang-Undang Republik Indonesia nomor: 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam hubungannya dengan agama dan kepercayaan, pasal 4 menyebutkan bahwa hak beragama merupakan hak asasi manusia. Jaminan kebebasan menganut agama dan kepercayaan ditegaskan lagi dalam pasal 22. Kebijakan tersebut diperkuat dengan penerbitan Undang-Undang Republik Indonesia nomor: 12 tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik tanggal 28 Oktober 2005. Pasal 18 menetapkan hak setiap orang dalam kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama, serta perlindungan atas hak-hak tersebut. Selanjutnya diterbitkan Undang-Undang nomor: 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan tanggal 29 Desember 2006. Bagi penghayat Kepercayaan, pasal 4 menjelaskan bahwa persyaratan dan tata cara pencatatan peristiwa penting bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan atau bagi penghayat Kepercayaan berpedoman pada peraturan perundang-undangan. Pasal 61 menjamin penghayat Kepercayaan untuk memperoleh Kartu Keluarga. KK memuat keterangan mengenai kolom nomor KK, nama lengkap kepala keluarga dan anggota keluarga, NIK, jenis kelamin, alamat, tempat lahir, tanggal lahir, agama, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, status hubungan dalam keluarga, kewarganegaraan, dokumen imigrasi, dan nama orang tua. Keterangan mengenai kolom agama bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan atau bagi penghayat Kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan.
Kemudian pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah nomor: 37 tahun 2007 tentang Pelaksanaan Undang-Undang nomor: 23 tahun 2006 tanggal 28 Juni 2007. Peraturan pemerintah itu diperkuat dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor: 25 tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil tanggal 4 April 2008. Perpres itu kemudian dipertegas dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor: 12 tahun 2010 tentang Pedoman Pencatatan Perkawinan dan Pelaporan Akta yang Diterbitkan oleh Negara Lain tanggal 26 Januari 2010 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor: 25 tahun 2011 tentang Pedoman Pengkajian, Pengembangan, dan Pengelolaan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan tanggal 21 Juni 2011. Secara sangat spesifik, pemerintah menerbitkan peraturan bagi penghayat Kepercayaan, yakni Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan Pariwisata nomor: 43 tahun 2009 / nomor: 41 tahun 2009 tentang Pedoman Pelayanan kepada Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tanggal 16 September 2009. Peraturan itu diterbitkan dengan pertimbangan bahwa Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan salah satu modal sosial dalam pengembangan perilaku yang meyakini nilai-nilai budaya yang lahir dan tumbuh dari leluhur bangsa Indonesia. Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan warga negara Republik Indonesia, berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, harta benda, dan kebebasan meyakini kepercayaannya.
Berdasarkan penelitian penulis di Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur pada 2014, dijumpai bahwa sebagian penghayat Kepercayaan mengisi kolom agama dengan salah satu agama resmi yang diakui oleh pemerintah (Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu) dikarenakan pertimbangan pragmatis dalam kehidupan sehari-hari, misalnya ketika harus berhadapan dengan keperluan-keperluan administrasi atau berhubungan dengan status mereka sebagai pegawai negeri sipil (PNS), meskipun pemerintah sebenarnya juga telah memberikan kebebasan bagi mereka untuk tidak mengisi kolom agama di dokumen kependudukan mereka. Selain itu, kelompok ini berpandangan bahwa pelaksanaan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebenarnya dapat disandingkan dengan agama resmi yang mereka anut. Sedangkan sebagian lainnya menunjukkan identitas mereka sebagai penghayat Kepercayaan dengan tidak mengisi kolom agama di dokumen kependudukan. Mereka memilih sikap demikian disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang memberikan kebebasan kepada penghayat Kepercayaan untuk tidak mengisi kolom agama. Dalam pelaksanaan di lapangan, sebenarnya tidak ditemui masalah administratif ketika mereka tidak mengisi kolom agama di kartu identitas mereka karena aparat pemerintah sudah mengetahui kebijakan pemerintah yang mengizinkan penghayat Kepercayaan untuk tidak mengisi kolom agama.
Setelah Mahkamah Konstitusi pada 7 November 2017 mengabulkan permohonan uji materi yang diajukan penghayat kepercayaan terkait dengan aturan pengosongan kolom agama pada Kartu Keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP), maka penghayat Kepercayaan mendapatkan hak yang sama seperti penganut agama-agama resmi lainnya. Dengan demikian, pemerintah telah menunjukkan keramahannya kepada penghayat Kepercayaan di Indonesia.
AHMAD CHOIRUL ROFIQ