Rabu, Oktober 16, 2024

Kepentingan Publik dalam Transportasi Umum

Bagus Nuari Harmawan
Bagus Nuari Harmawan
Mahasiswa Magister Manajemen dan Kebijakan Publik, FISIPOL Universitas Gadjah Mada.

Masyarakat Jogja yang sering melewati beberapa titik pemberhentian bus seperti di wilayah Janti dan  terminal besar Giwangan pasti akan melihat spanduk-spanduk yang menuliskan “Ojek online boleh mengambil penumpang 500 meter dari pangkalan ojek atau terminal”. Fenomena serupa juga terlihat di stasiun Lempuyangan ketika penulis mendengar secara langsung kegeraman pengemudi ojek konvensional kepada ojek online yang mengambil penumpang di stasiun. Bahkan, konflik sempat memuncak ketika seorang pengemudi taxi online mendapatkan perlakuan tidak patut di bandara Adi Sucipto. Konflik yang ada dalam moda transportasi umum kita sebenarnya tidak hanya terjadi di Jogja. Mayoritas kota-kota besar mengalami persoalan yang sama terkait munculnya persaingan antar penyedia layanan transportasi ini.

Untuk meredamkan tensi panas di sektor ini, pemerintah pusat sempat menerbitkan Permenhub No. 26 Tahun 2017. Akan tetapi dalam waktu sekejab peraturan tersebut dicabut oleh Mahkamah Agung. Pencabutan peraturan ini menurut pihak Kemenhub menekankan pada dua aspek substansial yaitu kuota hingga tarif angkutan online. Pencabutan peraturan menghadirkan ambiguitas bagi publik ketika muncul kesan seolah-olah pemerintah tergesa-gesah mengesahkan peraturan tersebut.

Menengok Kepentingan Publik

            Konflik yang melibatkan penyedia layanan di tingkat akar rumput hingga terbitnya Permenhub seolah melupakan subtansi bahwa hadirnya moda transportasi adalah untuk memfasilitasi masyarakat sebagai pengguna. Opini yang berkembang pada ranah publik hanya terfokus pada penyelesaikan eliminasi konflik dan membuat peraturan yang menaungi persaingan usaha yang setara.

            Jika kita renungkan kembali, salah satu aspek penting yang harus diperhatikan dalam membuat kebijakan transportasi ini adalah perspektif masyarakat. Pemerintah sebagai pemegang otoritas harus menempatkan masyarakat sebagai subjek karena posisi dasarnya yang menjadi bagian dari “kepentingan publik”.

“Kepentingan publik” mengacu pada pengertian Bozeman (2007) adalah “kepentingan yang melayani kelangsungan hidup dan kehidupan jangka panjang secara kolektif sosial atau publik.” Karena itu dalam mekanisme perumusan kebijakan, masyarakat harus diberi ruang partisipatif untuk bersuara terkait dengan standar pemasangan tarif, sarana angkutan dan SOP pekerja transportasi yang ingin mereka nikmati ketika memakai fasilitas tersebut.

Ini berbeda dengan penentuan pemasangan tarif yang hanya melibatkan stakeholder seperti organda, komunitas taksi online, dan operator perusahaan aplikasi. Pemerintah dengan mengacu pada data dilapangan (evidence based policy), harus melihat sejauh mana masyarakat menilai standar sarana dan tarif rata-rata yang diinginkan bagi moda transportasi umum yang mereka gunakan.

Selain itu, pemerintah ketika mengadopsi kebijakan harus berani menjamin keamanan bagi masyarakat sebagai pengguna dengan menghilangkan resiko represi yang dilakukan oleh “oknum” yang tidak bertanggung jawab. Karena tidak bisa dipungkiri bahwa konflik yang sebelumnya ada bisa muncul kembali ketika tidak ada jaring pengaman dalam regulasi. Pemerintah harus berani menindak secara tegas para pelaku yang melakukan main hakim sendiri.

Dengan lapang dada, pemerintah harus mengakui bahwa penyedia layanan transportaasi online adalah organisasi publik yang mampu memenuhi barang publik (public goods) dan collective goods yang dibutuhkan masyarakat di tengah terpuruknya layanan transportasi umum. Pekerjaan rumah yang harus diperhatikan pemerintah hari ini adalah meningkatkan kapasitas provider transportasi  konvensional sehingga mampu bersaing.

Jaring Pengaman

            Dalam persaingan yang semakin mengarah pada orientasi pasar, pemerintah memiliki kewajiban untuk menaungi pihak yang lemah dalam persaingan. Mau tidak mau pemerintah harus mendorong agar taksi konvensional maupun ojek tradisional meningkatkan kualitas pelayanan hingga memberikan pengetahuan agar transparan dalam menentukan tarif layanan.      

            Khsusus untuk komunitas ojek tradisional yang ada di kota, kementrian perhubungan perlu berkordinasi dengan pemerintah di daerah untuk memfasilitasi peningkatan kapasitas. Salah satu metodenya adalah dengan memberikan pengetahuan teknologi informasi dan  meningkatkan soliditas komunitas ojek sehingga bisa mengadopsi sistem yang lebih modern ataupun memasukan ojek konvensional kedalam provider online seperti yang telah dilakukan oleh taxi. Jika dibiarkan dan hanya mengacu pada pengaturan tarif dan kuota, bukan tidak mungkin akan muncul konflik yang sama hingga tergerusnya ojek konvensional ditengah persaingan usaha.

Bagus Nuari Harmawan
Bagus Nuari Harmawan
Mahasiswa Magister Manajemen dan Kebijakan Publik, FISIPOL Universitas Gadjah Mada.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.