Senin, Oktober 7, 2024

Kepada Yang Terhormat Pak Jokowi, Angkatlah Tongkat Komandomu

Dwiyanto Fadjaray
Dwiyanto Fadjaray
Student of Theology, Work, and Life

Bapak Presiden yang terhormat, saya menuliskan pesan ini dengan gentar. Saya adalah salah satu orang yang berkarya dan mengabdikan diri dalam salah satu rantai ekosistem kesehatan.

Sebagai lini baris kedua yang men-deliver fasilitas peralatan penunjang medis. Saya memang bukan siapa-siapa dan baru 15 tahun menjalani panggilan ini. Paling tidak saya (sedikit) mengerti dilema dan tantangan Rumah Sakit.

Dalam kasus Pandemic Covid-19 ini, bersama rekan-rekan kerja, kami turut bergulat menyiapkan dan meng-address kebutuhan pemeriksaan test untuk virus SARS-CoV-2 ini. Mendadak beban kerja kami berlipat ganda, saya bisa membayangkan RS dan pemerintah saat ini yang entah seperti apa komplikasinya.

Kemarin saya melihat data terkini kasus Covid-19 dan mendengar ulasan bapak jubir memaparkan progress-nya. Beliau memberikan analisa bahwa perkembangan kasus yang ada menggambarkan (seolah-olah) belum efektifnya social distancing dan pola mencuci tangan di masyarakat. Memang analisa ini tidak salah. Namun, apakah ini tepat dan cukup? (Ini opini saya). Sementara kepala saya tidak berhenti memproses angka dan bertanya-tanya, “Mengapa angka kematian di Indonesia hampir dua kali lipat dibandingkan yang sembuh?”

Ini anomali jika dibandingkan rata-rata dunia. Jika mortality rate kita tinggi dibandingkan rata-rata, mungkin saya bisa berkelit, akh… kan kasus-kasus positifnya mungkin banyak belum terindentifikasi. Namun, kalau kematian versus kesembuhan, ini fakta nyata kan, Pak? Di titik ini saya sungguh sedih dan khawatir, Pak! Saya yakin Bapak jauh lebih dalam dari saya merasakan kekhawatiran ini. Banyak malam saya terbangun membayangkan angka exponensial ini terus naik dan apa yang terjadi.

Dalam banyak interaksi saya dengan stakeholder yang ada, saya melihat nyata kita semua, baik lini pertama, kedua, dan selanjutnya dalam mata rantai kesehatan, kita kagok, bingung, panik, dll.

Saya orang yang selektif terhadap hoax, tetapi saya tahu ada banyak kisah nyata rakyat awam seperti saya, keluarganya, pasien, dll. yang ditolak oleh RS ketika dinyatakan suspect, di-refer kemana-mana tidak jelas eskalasinya, dan mereka bingung harus bagaimana.

Saya mengerti dilema RS menangani pasien suspect, mungkin tidak punya fasilitas isolasi sesuai rekomendasi, tidak punya cukup ventilator, tidak sesuai skema rujukan pemerintah, dll. Kalau pun ada, sedikit yang mau menerima, itu pun dengan biaya mahal. Sehingga saya berpikir ada banyak pasien berstatus PDP terlambat ditangani dan akhirnya tutup usia.

Mereka tidak dilayani dengan tepat dan cepat sehingga infeksi Covid-19 ini terus eskalasi menjadi berat. Apakah ini kemungkinan penyebab kematian kita demikian tinggi, Pak? Saya tidak mau berburuk sangka karena saya mengerti dilema RS, mereka mengelola salah satu bisnis tersulit dan kompleks. Lalu, harus bagaimana?

Apakah kita mau kehilangan asset negara begitu saja, yaitu warga negara yang tutup usia karena virus corona?

Pak Presiden, jika diperkenankan saya menyampaikan aspirasi saya, saya sungguh berharap Bapak bisa mengangkat Tongkat Perang, kerahkan seluruh armada yang ada, karena menurut saya tidak cukup sekadar memberi himbauan.

Di saat seperti ini, birokrasi menjadi basi, demokrasi menjadi tak berarti, sehingga yang diperlukan Komando Perang yang memberikan perintah jelas dan tegas. Kerahkan 2.800 RS seluruh Indonesia, dengan ratio RS swasta 60% tersebar dan mudah dijangkau warga, padahal mengandalkan RS rujukan sangat terbatas.

Lalu, ada pertanyaan lanjutan, apakah mereka siap? Saya balik bertanya, apa ada yang siap? Pak, saya usul, perintahkanlah semua barisan untuk mau melayani mereka yang dalam status ODP, PDP, atau masih suspect dengan hasil rontgen memberikan tanda pneumonia, dll. Berikan reward dan punishment kepada semua pihak.

Covid-19 bukan aib bagi pasien, sehingga ia pantas ditolak-tolak, juga bukan aib bagi RS kalau-kalau mereka takut kehilangan pasien yang berkunjung. Atau paling tidak, tidak ada pasien yang pulang dengan tangan hampa dan harus mencari pertolongannya sendiri lalu menyesal tak berarti.

Pak Presiden yang kukasihi dan hormati, panglima perang, yang saya tahu peduli hal ini. Angkatlah tongkat komandomu, kami menanti dengan pasti, di sinilah agility akan terbukti berarti. Saya meyakini, Tuhan Allah tidak pernah salah menempatkan setiap kita di titik ini seperti saat ini untuk memberi arti bagi negeri. Salam Hormat.

Dwiyanto Fadjaray
Dwiyanto Fadjaray
Student of Theology, Work, and Life
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.