Jumat, April 19, 2024

Kenormalan Baru Beragama Pasca Pegebluk

Abid Rohmanu
Abid Rohmanu
Dosen Pascasarjana IAIN Ponorogo dan Ketua PC ISNU Ponorogo

Musuh tidak nyata ini (Covid-19) telah mengambil kendali kehidupan. Tidak ada aspek kehidupan yang tidak terdampak, termasuk pola keberagamaan. Awalnya, umat Islam berharap wabah akan berakhir saat Ramadan tiba. Kenyataannya justru himbauan untuk melakukan tarawih dan ritual lainnya di rumah. Organisasi keagamaan terbesar NU dan Muhammadiyah pun sudah memfatwakan lebaran di dan dari rumah.

Ya, tak satu pun yang bisa memastikan kapan situasi ini akan berakhir saat kasus yang terkonfirmasi positif Covid-19 terus mengalami peningkatan.

Optimisme wajib terus dibangun, setiap badai akan berlalu dan setiap masalah akan ditemukan solusi. Prediksi para ahli, pola hidup sehat dan protokol kesehatan akan terus diterapkan. WHO menyatakan virus akan menguntit manusia untuk waktu yang relatif lama sepanjang vaksin belum ditemukan (health.detik.com).

Kita dituntut untuk beradaptasi dengan penerapan gaya hidup (lifestyle) baru. Adaptasi tidak saja terkait dengan aspek kesehatan dan ekonomi, tetapi juga cara bagaimana kita beragama. Kita tertuntut untuk tidak berhenti belajar sebagaimana kehidupan tidak pernah berhenti mengajar. Hasilnya, cara beragama akan mengalami modifikasi karena tuntutan penjarakan sosial/fisik dan ancaman wabah yang bersifat laten.

Siklus Perubahan

New habit dan new normal (kebiasaan dan kenormalan baru) bermula dari penolakan dan resistensi (Yuswohady, Sindo 25/4/2020). Sesuatu yang baru atau siklus perubahan biasanya bermula dari penolakan (denial) dan resistensi. Dari resistensi lambat laun berubah menjadi pengakuan dan eksperimentasi hingga memunculkan new habit dan new normal.

Media banyak memberitakan bagaimana kelompok keagamaan tertentu resisten untuk stay at home karena alasan agama. Resistensi itu kemudian mengendur untuk selanjutnya melakukan eksperimentasi keberagamaan yang responsif terhadap situasi wabah. Muncullah kemudian kebiasaan baru dalam melakukan aktivitas keberagamaan.

Ritual dan kegiatan keagamaan dilakukan dengan cara yang relatif baru. Umat Islam kemudian menunda hingga membatalkan acara dan selebrasi keagamaan yang melibatkan jamaah berskala besar.

Filantropi keagamaan, tadarus, dan pengajian diselenggarakan dengan cara daring dengan memanfaatkan berbagai platform dan media sosial online karena tuntutan physical distancing. Bukannya sebelumnya belum ada, tetapi skala dan intesitasnya semakin meluas. Ritual-ritual banyak dilakukan di rumah secara individual atau bersama keluarga inti. Populer istilah memasjidkan rumah dalam kondisi pagebluk ini.

Kebiasaan-kebiasaan ini pada tingkat tertentu akan terpelihara pasca krisis. Agama dan kegiatan keagamaan semakin tak terpisahkan dengan perkembangan teknologi. Orientasi soliter dalam beragama akan menemukan kekuatan baru sebagai penyeimbang orientasi keberagamaan yang bersifat solider-kolektif. Interaksi keluarga berbasis agama juga semakin menguat.

Poin utamanya sesungguhnya adalah munculnya kenormalan baru dalam beragama. Kenormalan baru ini disemangati oleh kesadaran bahwa agama berporos pada realisasi kemaslahatan manusia (li tahqiq masalih al-‘ibad) sebagaimana tercermin dalan konsep maqasid al-syariah (tujuan syariat).

Konsep kemaslahatan ini menuntut model keberagamaan yang kontekstual. Kontekstual dengan perkembangan teknologi, kontekstual dengan situasi dan konteks yang mengitari. Pagebluk menyadarkan dan meneguhkan bahwa beragama tidak bersifat “saklek” sebaliknya ia bersifat fleksibel dan mudah.

Yang membuat sulit dalam beragama seringkali adalah penganutnya. Fleksibilitas dalam beragama menunjukkan bahwa keberagamaan tidak sekedar entitas pengada (being) tetapi proses menjadi (becoming) untuk menjadi aktualitas baru. Kesadaran inilah inilah yang menuntut umat beragama untuk selalu belajar dari berbagai pengalaman empirik yang bersifat obyektif.

Situasi wabah korona karenanya adalah momentum untuk belajar dan menjawab ujian keagamaan dan kehidupan untuk kenaikan kelas kedewasaan dalam beragama. Kedewaasaan beragama menuntut tidak saja spiritualitas tetapi juga rasionalitas dalam beragama. Rasionalitas dalam beragama menuntut keterbukaan agama terhadap sains dan perkembangan ilmu pengetahuan.

Tanpa rasionalitas ini, agama justru akan terdegradasikan oleh pemeluknya sendiri. Mengapa? Karena konservatisme dan dogmatisme keberagamaan akan cenderung berkonflik dengan ilmu pengetahuan yang berkarakter dinamis.

Akibatnya, klaim agama yang shalih li kulli zaman wa makan serta rahmatan li al alamin akan menjadi isapan jempol belaka. dalam konteks ini, wabah covid-19 mengajarkan bagaimana agama harus bersinergi dengan ilmu pengetahuan kesehatan utamanya. Sinergi ini untuk mewujudkan kemaslahatan sebagaimana ia menjadi pesan inti agama.

Mengambil Hikmah

Alfred North Whitehead (Sudarminta, 1991) mengatakan bahwa kemerosotan agama disebabkan dua hal. Pertama, karena sikap stagnan dan defensif pemeluk agama. Sikap ini merusak citra dan kewibawaan pemuka agama karena abai terhadap perubahan-perubahan di tingkat masyarakat akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sikap ini menolak artikulasi agama secara kontekstual dan bentuk penyesuaian dan perubahan yang diperlukan kendati ajaran pokoknya bersifat tetap.

Kedua, gambaran tradisional tentang Tuhan tidak relevan lagi dengan alam pikiran masyarakat modern. Tuhan dalam perspektif tradisional dicitrakan sebagai kekuatan absolut yang wajib ditaati tanpa reserve. Kepatuhan keagamaan adalah kesetiaan terhadap tradisi dan teks secara harfiyah. Sementara alam pikiran masyarakat modern melihat Tuhan lebih sebagai kekuatan yang diliputi oleh kasih sayang. Agama yang menonjolkan kekuatan kasih-sayang (rahman dan rahim) ini memberi ruang kebebasan kepada manusia untuk memikul tanggung jawab kemanusiaan secara individual dan kolektif.

Berdasar konteks di atas, ketika keberagamaan nanti terbukti berkontribusi positif terhadap pemutusan rantai penularan covid-19, maka tesis kemerosotan agama sebagaimana dinyatakan Whitehead menjadi tidak relevan. Mengapa? Karena pada kenyataannya para pemeluk agama telah menunjukkan sikap yang progresif dalam beragama. Mereka bersedia untuk menerima new habit dan new normal karena pagebluk.

Last but not least, sejarah akan mengajarkan bagaimana agama dimaknai dan diartikulasikan secara subtantif. Beragama adalah proses menjadi dan proses belajar sebagaimana kehidupan bergerak secara dinamis yang menuntut respon agama secara bijak. Agama dan kehidupan berinteraksi secara mutual dan timbal balik, agama bukan mendikte kehidupan secara sepihak. Di sinilah sesungguhnya makna dari proses pembelajaran berlangsung. Wallah a’lam bi al-shawab.

Abid Rohmanu
Abid Rohmanu
Dosen Pascasarjana IAIN Ponorogo dan Ketua PC ISNU Ponorogo
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.