Minggu, November 24, 2024

Kenapa Takut Berpikir Tentang Tuhan? (Membela Mun’im)

Dani Ismantoko
Dani Ismantoko
Penulis. Tinggal di Bantul.
- Advertisement -

Setiap kali Mun’im Sirry menulis tentang dinamika pemikiran ketuhanan, atau apa pun yang berkaitan dengan Tuhan sering muncul komentar yang bersifat kontra dalam artian negatif. Entah itu mengatakan kafir, atau memberikan komentar yang bertendensi untuk melarang menulis hal–hal semacam itu karena akan berakibat tidak baik di kalangan awam.

Saya menulis ini karena merasa gemes saja dengan komentar–komentar semacam itu. Dan saya kira yang berbahaya bukan tulisan dari Mun’im Sirry tetapi komentar–komentar kontra produktif yang hobinya menyala–nyalahkan dan melarang–larang. Bukankah menjadi berbahaya jika manusia tidak mau terbuka pikirannya, tidak mau berdiskusi?

Bukankah di dalam kehidupan nyata sudah sangat jelas, apalagi dalam hal yang berkaitan dengan agama, seringkali yang menimbulkan masalah adalah orang–orang dengan pikiran tertutup, menganggap dirinya paling benar dan dengan mudah menganggap orang lain salah?

Seperti yang sudah dijelaskan di paragraf pertama, dalih yang dipakai seseorang untuk menyatakan bahwa tulisan itu berbahaya biasanya adalah “berakibat buruk bagi kalangan awam”. Apa yang ditakutkan bagi kalangan awam? Jangan–jangan itu hanya sebatas baper saja karena pikiran tidak mau terbuka. Lagi pula, siapakah kalangan awam? Bukankah dalam hal yang berhubungan dengan Tuhan pada dasarnya semuanya awam.

Tuhan tidak bisa dibuktikan secara empiris. Tidak bisa dilihat, diraba, diterawang. Kalaupun para teolog secara turun temurun mengembangkan konsep ketuhanan yang terasa semakin logis, tentu saja itu adalah hasil olah pikir dan tafsir mereka. Bukan karena pengetahuan empiris tentang Tuhan. Artinya sampai kapan pun kita hanya bisa meraba–raba Tuhan.

Lalu bagaimana dengan pengalaman sufistik? Sejauh ini pengalaman sufistik bersifat subyektif. Hanya bisa dirasakan dan dipahami oleh orang yang mengalami. Agaknya hal yang begitu subyektif semacam itu tak bisa dijadikan landasan untuk membuktikan Tuhan secara empiris dalam lingkup yang bersifat universal.

Oleh karenanya hal utama yang kita pakai untuk mengerti tentang Tuhan adalah iman. Keyakinan dan kepercayaan. Dengan dasar berupa gejala–gejala yang bisa dikatakan berkaitan dengan satu–satunya kekuatan adikuasa yang merupakan asal–muasal dari semua ke-ada-an.

Dan perihal iman ini, tak perlu adanya pembuktian empiris. Kalau kita sudah percaya sama orang untuk dititipi suatu barang untuk orang lain, tak perlu melihatnya kita yakin pasti barang tersebut akan diberikan kepada orang yang kita tuju. Tak perlu pakai perjanjian tertulis, tak perlu ada bukti foto.

Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa banyak yang takut berpikir tentang Tuhan, ketuhanan atau apa saja yang berkaitan dengan Tuhan? Bukankah dengan berpikir tentang Tuhan dan Ketuhanan akan lebih mendewasakan kita dalam ber-Tuha ?

Mungkin sebagaian ada yang mengatakan, Tuhan itu tak terjangkau maka tak perlu dipikirkan. Kalau dipikirkan nanti bisa murtad, atheis atau bahkan menjadi musyrik. Jika memang berakibat seperti itu. Apa yang salah dengan keadaan itu. Dinamika pemikiran bisa membawa siapapun kepada keadaan yang apapun. Hal semacam itu adalah hal yang wajar dalam sebuah proses pencarian dan pendewasaan berpikir.

- Advertisement -

Coba kita urai satu persatu istilah-istilah yang ditakutkan terjadi karena berpikir tentang Tuhan itu.

Murtad indikatornya adalah keluar dari agama yang dianut sebelumnya. Tetapi keadaan itu belum tentu menandakan bahwa orang yang keluar dari agama itu musyrik atau menyekutukan Tuhan.

Secara detail musyrik hanya bisa diketahui oleh Tuhan saja. Tetapi secara gejala saya kira yang lebih tepat, tercermin dalam perilaku. Misalnya, ada dua orang. Yang pertama terkenal sebagai pelaku ritual ibadah yang taat, tetapi korupsi uang rakyat. Kedua tidak rajin melakukan ritual ibadah, tetapi tidak pernah korupsi.

Bahkan lebih sering berjuang untuk rakyat. Jika dilihat dari kacamata manusia mana yang lebih bisa dikatakan sebagai musyrik? kalau dipikirkan dari tingkat destruksi sosialnya jelas orang pertama lebih masuk dalam kriteria musyrik daripada orang kedua.

Untuk atheis saya kira lebih sering karena menolak implementasi agama mainstream di lingkungan sekitarnya karena suatu alasan. Biasanya adalah karena implementasi yang dilaksanakan orang–orang di lingkungan sekitarnya baginya terasa masyghul. Orang tersebut menjadi atheis karena sedang melakukan protes keras terhadap implementasi agama di lingkungannya. Belum tentu karena ia benci Tuhan.

Maka jelas, keadaan–keadaan yang ditakutkan karena belajar tentang dinamika pemikiran ketuhanan, atau mungkin tentang Tuhan itu sendiri adalah sesuatu yang sebenarnya tak perlu terjadi.

Dalam agama Islam ada istilah “dzikrullah” yang artinya mengingat Allah. “Dzikrullah” yang merupakan suatu keadaan secara sadar mengingat Allah adalah hal yang begitu dianjurkan dalam agama Islam. Bukankah berpikir, menelaah dinamika pemikiran ketuhanan, tentang Tuhan itu sendiri, sama dengan “dzikrullah”, mengingat Allah.

Buku “Sejarah Tuhan” karya Karen Armstrong menjelaskan dengan begitu terperinci tentang perkembangan pemikiran tentang Tuhan, ketuhanan, asumsi tentang Tuhan semenjak awal peradaban manusia sampai peradaban termutakhir.

Hal tersebut menunjukkan bahwa dinamika pemikiran tentang Tuhan, gradasi asumsi tentang Tuhan, energi adi kuasa yang meng-ada-kan semua cerita kehidupan yang kita jalani ini adalah sebuah keniscayaan. Bahkan, sampai sekarang Tuhan tak pernah surut diperbincangkan. Tentu saja, karena Dia sampai kapan pun adalah misteri.

Tidak jarang seseorang yang beranjak dewasa menanyakan hal yang aneh – aneh tentang Tuhan. Salah satu yang sering dipertanyakan seperti ini, “Kalau Tuhan Maha Segala, bisa atau tidak Dia menciptakan Tuhan selain diri-Nya.”

Sampai detik ini tak ada yang menjawab. Karena memang tak perlu dijawab. Keadaan di mana seseorang bertanya seperti itu adalah tingkatan tertentu dalam dinamika pemikiran ketuhanan seseorang. Nanti seiring bertambahnya umur orang tersebut akan paham sendiri jawaban dari apa yang ditanyakannya.

Maka, tak usahlah berkomentar negatif, apalagi menyalah–nyalahkan. Agaknya akan lebih baik jika membangun suasana diskusi yang hangat namun tetap kritis. Kalau tulisan ya dibalas tentang tulisan. Biar lebih elegan. Jangan hanya dibalas dengan status–status nyinyir yang kontraproduktif.

Dani Ismantoko
Dani Ismantoko
Penulis. Tinggal di Bantul.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.