Jumat, April 26, 2024

Kenapa Selalu Kurt Cobain?

Fadli Santosa
Fadli Santosa
Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Brawijaya // Suka membaca segala macam buku, menonton film dan bepergian jauh hingga lupa pulang.

Pernahkah kamu bertanya, kenapa dalam setiap kaos, dalam setiap poster dan berbagai spanduk kamu sering melihat foto-foto dari Kurt Cobain, Ozzy Osbourne, Bob Dylan hingga seperti Coldplay dan Foo Fighters? Kenapa tidak ada foto dari Laney Staley dari scene musik Grunge atau musisi musisi lain yang memiliki kualitas musik yang engga kalah bagus dan menarik ketimbang tokoh-tokoh tadi?

Dalam hal ini muncul sebuah penyakit yang sudah lama ada dan sudah berusaha disembuhkan oleh dokter-dokter ternama seperti Karl Marx, Mikhail Bakunin, hingga macam-macam seperti Baudrillard dan lainnya. Ya, nama penyakit itu adalah kapitalisme, sebuah penyakit yang lebih kronis daripada Kanker, Tumor, Alzheimer dan lainnya.

Kapitalisme dalam bentuk industry telah berhasil membangun sebuah Idolisasi dan Fetisisime. Idolisasi merujuk kepada pengidolaan suatu objek yang berlebihan hingga mencapai tahap Fetisisme. Fetisisme itu sendiri merujuk kepada cara pemujaan yang terlalu berlebihan terhadap segala sesuatu sehingga seolah-olah hal tersebutlah yang suci dan yang lainnya penuh dosa.

Fenomena seperti ini seringkali kita temukan tidak hanya dalam scene Musik saja tapi dalam berbagai scene juga dapat kita temui entah itu didalam Film, Televisi, bahkan hingga sosial media sekalipun. Kalau kamu adalah tipe orang yang suka bermain sosial media, coba lihat kolom komentar dalam berbagai postingan yang dikeluarkan oleh tokoh-tokoh tertentu entah Politik, Musik, atau selebriti.

Di sana saya dapat jamin bahwa anda akan menemukan tipe orang-orang yang akan membela mati-mati an idola mereka hingga mereka lupa siapa mereka ? berada dimana mereka? Atau apa yang mereka bicarakan sebenarnya. Coba lihat instagram milik Keluarga Kardashian atau tokoh politik seperti Prabowo Subianto atau Jokowi sekalipun, akan sangat mudah untuk kita menemukan pemujaan atau idolisasi yang berlebihan hingga kamu akan berpikir bahwa orang-orang ini pada dasarnya seperti hidup di kebun binatang.

Ada Zebra, ada Kuda Nil, ada Singa dan sebagainya dan mereka saling berteriak dengan suara asal mereka yang sudah terkonstruksikan oleh tetek bengek kehidupan hingga membuat mereka lupa siapa mereka dan apa yang mereka omongkan. Pada dasarnya hanya sebuah kecoroan yang terdistorsi.

Jangan lupa, itu semua berkat kapitalisme kawan. Kenapa dan mengapa selalu kapitalisme? Ibarat kamu mau bermain gitar dan kamu butuh tambahan alat untuk membuatnya agar lebih terdengar gahar maka kamu butuh amplifier untuk distorsi. Kapitalisme, berbicara tentang berapa duit yang aku akan dapat ketika aku membuat “itu” mu laku.

Seperti itu, dengan segala kepintarannya, kapitalisme muncul dalam sebuah wadah bernama pasar dan komoditas sehingga membuat segala-galanya terlihat dan terdengar lebih manis dan lebih enak dikonsumsi.

Semisal, kenapa hingga saat ini kamu masih suka untuk membeli lipstik produk Kylie atau saudaranya itu yang berbujet jutaan rupiah dan terbilang ngga masuk akal agar seolah-olah kamu terlihat seperti mereka, secantik mereka atau kenapa kamu hingga saat ini masih lebih memilih produk seperti Converse, Adidas atau Nike yang harganya gendeng.

Padahal secara nilai guna ya sama saja dengan lipstik-lipstik atau sepatu-sepatu lain. Pada dasarnya kamu sudah termistifikasi kalau kata Baudrillard hingga mengikuti trend yang diciptakan oleh kapitalisme agar mereka makin kaya dan kamu miskin.

Begitupun juga dalam musik. Tidak lelah kah kamu melihat foto-foto Kurt Cobain atau kaosnya dan orang-orang dengan segala ketidak tahuanya mempost foto nya di sosial media dan mengujarkan bahwasanya dia adalah musisi paling ngehe sedunia akhirat. Kurt Cobain memang merupakan seorang musisi yang sangat hebat dan mati muda. Sebuah kehidupan yang diidolakan oleh Soe Hok Gie.

Tapi ingat, apakah musik Grunge cuma hasil dari kerja keras Kurt Cobain dan bandnya Nirvana? Oh tidak sama sekali, sebelum Nirvana muncul, kita sudah dijejali dengan scene musik Seattle sudah ada band-band hebat seperti Soundgraden yang sudah dulu ada dan berbagai musik-musik Underground lainnya.

Hingga munculnya album Nevermind yang kata orang adalah album terbaik sepanjang sejarah dan bahkan berhasil membawa scene musik Grunge ke tatanan Komersial. Setelah itu pun kita tahu muncul juga album tandingan dari Pearl Jam yang berjudul Ten yang katanya (juga) merupakan album saingan terkuat Nevermind pada masa itu.

Namun, permasalahannya sebenarnya bukan disana. Tapi, lebih kepada apa yang akan terjadi ketika komersialisasi masuk dalam scene itu? Nah disitulah berbahayanya. Saya jadi teringat akan buku karya Charles Cross yang membahas Kurt Cobain berjudul Heavier than Heaven.

Berbagai pemikiran Kurt Cobain tentang kehidupan dan mengapa ia bermusik ia jelaskan dengan sangat baik disana dan bahkan ketika baca buku itu saya seperti menemukan tokoh Nihilis gila yang muncul. Apesnya, itu semua justru merupakan cara kapitalisme untuk membuat produk mereka laku dan diidolakan oleh orang-orang. Orang-orang dengan ke ngehe-annya mengikuti berbagai idolisasi itu dan seolah-olah menjadikan mereka sebagai artis idola mereka.

Dengan aku pakai kaos Kurt Cobain maka seolah-olah dengan titah yang maha kuasa Odin aku menjadi seorang Grunge dan paling tahu terhadap segalanya tentang Grunge. Ya seenggaknya kan keliatan ngehe kan daripada kere.

Fadli Santosa
Fadli Santosa
Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Brawijaya // Suka membaca segala macam buku, menonton film dan bepergian jauh hingga lupa pulang.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.