Pada 13 November 2017 lalu, saya bertemu seorang turis asal Italia yang batal masuk ke Candi Borobudur. Alasannya klasik, ia merasa harga tiket yang diberlakukan untuk wisatawan mancanegara (wisman) seperti dirinya terlalu mahal.
Singkat cerita, hari itu, ketika bule kere (demikian adanya) itu tak jadi masuk, harga tiket berada di angka Rp 333.000 (sesuai kurs dolar yang berlaku di hari itu).
Seperti diketahui, terhitung sejak 1 Mei 2017, harga tiket masuk Candi Borobudur untuk wisman naik dari US$ 20 menjadi US$ 25; sedangkan untuk wisatawan domestik, naik menjadi Rp 40.000 dari sebelumnya Rp 30.000.
“Saya tidak jadi masuk. Harga tiket terlalu mahal,” kata Nicolo Marmiroli, turis asal Italia yang saya maksud itu, dengan bahasa Indonesia yang terbata-bata.
Nico, sapaan Nicolo, adalah seorang backpacker. Ia bukan bule yang berlibur dengan banyak uang. Ia datang seorang diri ke Indonesia dengan uang secukupnya, layaknya backpacker pada umumnya. Selama di sini, ia banyak menghabiskan waktu di Tulungagung. Di sana, ia belajar banyak tentang kebiasaan penduduk desa dan sedikit tentang kebudayaan Jawa.
“Saya numpang di rumah kepala desa. Saya kemari nebeng mobil orang,” ujarnya, seraya memamerkan beberapa kosa kata informal yang baru ia kumpulkan selama di Indonesia.
Apa yang dialami Nico itu membuat hati saya miris. Sudah jauh-jauh datang untuk melihat salah satu ikon paling membanggakan Indonesia itu, eh, dia malah terpaksa mengurungkan niatnya. Apes sekali. Celakanya, penyebabnya cuma gara-gara harga tiket.
Kasus serupa sebelumnya pernah terjadi di tahun 2013. Waktu itu, seorang bule asal Prancis bernama William Masson, yang datang bersama istrinya, terkejut dengan perbedaan harga tiket yang begitu jauh antara turis lokal dengan turis asing untuk masuk ke Borobudur. Mereka sangat kecewa, terutama karena di negara-negara lain, termasuk di kawasan Asia Tenggara seperti Thailand dan Malaysia, tidak ada perbedaan harga tiket seperti itu.
Masalah perbedaan harga tiket ini sebelumnya pernah ditanggapi oleh Direktur Utama PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko (perusahaan yang mengelola wisata Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko), Edy Setijono saat itu. Namun sayang, alasan yang dikemukakan Edy terkesan hanya berupa pembenaran yang justru meninggalkan tanda tanya.
Alasan pertama yang menyebut bahwa wajar jika harga tiket masuk Candi Borobudur mahal karena di negara-negara lain juga seperti itu, barangkali masih bisa diterima. Namun, alasan lainnya yang menyebut bahwa harga tiket untuk wisatawan lokal menjadi murah lantaran ada subsidi dari pemerintah, sungguh sangat kabur dan mengundang tanya.
Benarkah pemerintah menyediakan subsidi untuk seluruh rakyatnya untuk berkunjung ke tempat wisata internasional seperti Candi Borobudur (dan Candi Prambanan dan Candi Ratu Boko)? Kalau memang benar, berapa jumlahnya?
Khusus untuk Candi Borobudur berapa persen? Lantas, setelah dikalkulasikan, apakah sudah tepat perhitungan harga tiketnya menjadi Rp 40.000 ribu per orang itu? Apakah tidak ada jumlah rupiah yang justru masuk ke kantong oknum pengelola atau pejabat yang menyalurkan?
Merendahkan Diri Sendiri
Borobudur baru satu. Di tempat-tempat wisata lainnya di Indonesia, saya yakin, kasus seperti ini juga banyak terjadi. Saya misalkan di Danau Toba, Sumatera Utara, yang tak jauh dari kampung halaman saya, Perbaungan, Kabupaten Serdangbedagai. Beberapa kali saya mendapati turis asing yang sewot karena masalah seperti ini ketika saya berkunjung ke sana.
Tentu saja ini persoalan serius bagi Indonesia. Tidak hanya dalam hal pariwisata, ini juga bisa berdampak pada citra Indonesia sebagai negara. Nico dan William barangkali memang hanya dua orang, tapi mereka akan pulang dengan membawa kekecewaan yang mungkin akan mereka bagikan kepada kerabat dan kenalan mereka di sana.
Boleh jadi sebenarnya mereka tidak mempersoalkan harga. Tapi bagaimana dengan pelayanan? Belum lagi dengan kejujuran orang-orang kita, yang acapkali sering memahalkan harga dagangan ketika yang membeli adalah bule. Mereka tentu tetap merasakan adanya perlakuan diskriminatif (eufemisme dari culas dan aji mumpung) dari perbedaan harga seperti itu.
Kita mungkin bisa menampik bahwa kita tidak ada maksud untuk diskriminatif terhadap mereka. Bahwa kita berbuat demikian, itu semata hanya karena kita menganggap mereka punya kemampuan ekonomi rata-rata di atas kita. Tapi, apakah itu bijaksana? Bukankah itu sama dengan kita merendahkan diri kita sendiri di hadapan mereka?
Saya jadi teringat pengalaman membeli salak pondoh di Kecamatan Turi, Sleman. Waktu itu, pertama kali saya datang ke sana naik sepeda motor, harganya Rp 2.000 per kilogram. Tapi berselang dua hari kemudian, ketika saya datang dengan mobil (padahal mobilnya rentalan) bersama keluarga dan kembali membeli di tempat yang sama, harganya berubah menjadi Rp 5.000 per kilogram. Selagi yang membeli adalah “orang kaya”, maka itu akan dimanfaatkan untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Demikian kira-kira asumsi yang bisa kita pahami.
Ya, selagi yang berkunjung adalah “orang luar”, “orang asing” yang dianggap berduit banyak (padahal tak semua dan tak selamanya pendatang berduit banyak), maka tak mengapalah memahal-mahalkan harga durian, salak, tiket wisata, hotel, dan lain sebagainya.
Tapi, eh, ngomong-ngomong, soal pemberlakuan harga tiket yang lebih mahal bagi wisman ini ada lucunya juga sebenarnya. Ternyata itu tidak benar-benar berlaku untuk semua wisman. Wisman yang berasal dari Asia Tenggara, yang punya tampang dan warna kulit persis orang kita Indonesia, sangat memungkinkan lolos dari jalur pintu masuk domestik. Apalagi kalau mereka datang didampingi temannya yang orang lokal asli. Dan, belum lagi kalau mereka bisa berbahasa Indonesia.
Sial bener memang nasib orang bule (Eropa dan Amerika pada umumnya). Ya, mereka yang berambut pirang, berhidung mancung, dan berkulit putih…